Kisah Pertemuan Nenek Pengemis dan 'Cucu' Berujung Eksploitasi

Usai eksploitasi si 'cucu' terungkap, sang nenek pengemis kini diberi tongkat baru.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 07 Mar 2017, 08:32 WIB
Diterbitkan 07 Mar 2017, 08:32 WIB
Nenek Pengemis
Mbah Supini dengan tongkat "sakti" pemberian Wakil Wali Kota Semarang, Hevearita. (foto : Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige

Liputan6.com, Semarang - Nenek dipaksa mengemis? Adegan itu bukan cerita di sinetron kejar tayang, tapi benar-benar terjadi di Semarang.

Nama nenek pengemis itu Supini. Usianya sudah 93 tahun. Ia berasal dari kaki Gunung Andong, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. Dalam tiga hari terakhir, nama nenek Supini melambung karena menjadi korban eksploitasi.

Oleh Suwarno, warga Sragen, Mbah Supini dipaksa menjadi pengemis di Kota Semarang. Ya, Mbah Supini adalah nenek yang dipaksa mengemis.

Senin kliwon, 6 Maret 2017 menjadi hari keramat baginya. Pada hari itu, ia mendapatkan sebuah tongkat aluminium dari Wakil Wali Kota Semarang, Hevearita G Rahayu.

Entah benar entah tidak, hari Senin Kliwon adalah weton dari Mbah Supini. Ia menyampaikan hal itu di tengah penjelasan yang berubah-ubah dan ingatan yang sudah mulai menghilang.

Weton adalah hari yang sama dengan hari lahir, yakni gabungan penanggalan Masehi dan penanggalan Jawa. Siklusnya 35 hari sekali. Pada hari itulah ia mendapat sebuah tongkat aluminium seharga Rp 225 ribu, menggantikan batang bambu yang selama ini dijadikan tongkat.

"Entuk tongkat seko pejabat. Mugo-mugo mberkahi. (Dapat tongkat dari pejabat, semoga berkah). Amien," kata Mbah Supini, mengungkapkan perasaannya.

"Wis suwe banget, lali. Awit cilik kelas siji, pas jaman Jepang. (Sudah lama sekali, lupa. Sejak kecil kelas 1, saat pendudukan Jepang)," kata Supini kepada Ita, sapaan akrab Wakil Wali Kota Semarang, saat ditanyakan sejak kapan ia tinggal di Semarang, Senin, 6 Maret 2017.

Tak banyak kisah yang bisa digali pada saat ia kecil. Yang diingat, saat itu Mbah Supini masih berumur delapan tahun. Ia ke Semarang setelah keluarganya di Grabag tercerai berai akibat perang.

Mbah Supini ngobrol seru dengan Wakil Wali Kota Semarang, Hevearita. (foto : Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Ita memberi apresiasi mengenai kesehatan Mbah Supini. Meski usia sudah 93 tahun dan daya ingat sudah berkurang, serta penjelasan yang tidak konsisten, Mbah Supini masih lantang jika berbicara. Ia juga cukup sigap melahap pertanyaan dari Wakil Wali Kota Semarang ini.

"Gak duwe anak bojo, mati kabeh (Tidak punya anak suami, meninggal semua)," kata Supini dengan suara keras.

Mbah Supini juga menolak tawaran Ita untuk dimasukkan ke panti jompo. Ia ingin pulang ke Grabag saja.

Ita tak bisa memaksa. Namun hatinya bertanya-tanya, barangkali karena panti wreda yang dimaksud bernama resmi Panti Rehabilitasi Among Jiwo. Artinya kurang lebih, panti rehabilitasi perawatan jiwa.

Panti tersebut milik Pemerintah Kota Semarang, yang selama ini digunakan untuk menampung Gelandangan, pengemis, dan juga orang terlantar.

"Saya sudah menugasi beberapa staf dan juga Dinas Sosial untuk menelusuri keberadaan keluarganya. Jangan sampai kita turuti untuk memulangkan ke Grabag, ternyata di sana enggak ada family maupun tempat tinggal. Sama saja hanya memindahkan masalah," kata Ita kepada Liputan6.com.

Tongkat Harapan

Nenek Pengemis
Mbah Supini dengan tongkat "sakti" pemberian Wakil Wali Kota Semarang, Hevearita. (foto : Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige

Mbah Supini menganggap tongkat alumunium pemberian Ita sebagai tongkat sakti. Ia memiliki harapan, dengan tongkat barunya akan bisa pulang ke Grabag dan tak lagi menjalani kehidupan jalanan seperti dialami puluhan tahun ini.

Entah sejak kapan, Mbah Supini setiap harinya tidur di kawaan Pasar Johar. Ketika pasar terbesar di Semarang itu terbakar, Mbah Supini termasuk yang sibuk mengungsi. Ketika itu, ia tidur di lantai dua, emperan sebuah kios.

Kehidupan semacam itu dijalaninya berpuluh-puluh tahun. Hingga, ia ditemukan Suwarno yang kemudian mengeksploitasinya dan menjadikannya pengemis. Setiap hari, ia harus bangun pagi, mematut diri, kemudian menunggu jemputan Suwarno.

"Mbiyen jarene ngaku dadi putuku. Aku yo manut. Aku urip dewe. Ora sanak ora kadang. (Dulu bilangnya sebagai cucu saya. Saya nurut saja. Saya kan sebatang kara, tak ada saudara satu pun)," kata Mbah Supini.

Kemesraan hubungan cucu-nenek itu hanya berlangsung beberapa hari saja. Suwarno mulai meminta setoran atas jasa antar jemput. Bahka, ia yang menentukan berapa rupiah yang boleh dibawa pulang Mbah Supini.

Puncaknya, mereka terekam dalam sebuah video yang menjadi viral di media sosial. Dalam video itu, tertangkap perlakuan kasar Suwarno kepada Mbah Supini. Atas hal ini, Mbah Supini berkata singkat.

"Aku sing penting iso mangan sedino kuwi wis cukup. Ben wae. (Saya itu yang penting untuk makan sehari saja sudah cukup. Biar saja)," kata Mbah Supini mengomentari perilaku Suwarno yang memanfaatkannya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya