Liputan6.com, Jambi - Ada yang bilang, setia itu mudah diungkapkan, tapi sulit diwujudkan. Mulai dari pasangan muda sampai tua tak jarang memilih berpisah. Alasannya, karena salah satu atau bahkan dua-duanya sudah tak setia.
Bicara soal kesetiaan, ternyata ada yang lebih hebat dibanding manusia. Dia adalah Owa Jawa, di Sumatera disebut Siamang. Oleh peneliti, mamalia satu ini disebut memiliki kesetiaan paling tinggi terhadap pasangannya dibanding satwa lainnya. Bahkan manusia sekalipun.
Salah satu peneliti yang sudah 20 tahun mendedikasikan diri dalam upaya pelestarian Owa Jawa adalah Anton Ario. Sehari-hari ia bekerja sebagai Program Manager Javan Gibbon Center (JGC) yang berlokasi di komplek taman rekreasi Lido, Jalan Raya Bogor-Sukabumi, KM 21 Cigombong, Lido, Bogor.
Advertisement
Baca Juga
JGC merupakan lembaga yang didirikan pada 2003 atas kerja sama antara PHKA-Kementrian Kehutanan dan Yayasan Owa Jawa yang didukung oleh Convervation International Indonesia, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Universitas Indonesia dan Silvery Gibbon Project (SGP).
"JGC merawat Owa Jawa dari hasil sitaan dan penyerahan sukarela dari masyarakat," ujar Anton saat mengisi workshop bertema Biodiversity (Keanekaragaman Hayati), yang dihadiri 18 jurnalis dari berbagai media di Indonesia di salah satu hotel di kawasan Lido, Sukabumi, Jawa Barat, Kamis, 27 Juli 2017.
Menurut Anton, Owa Jawa (Hylobates Moloch) merupakan jenis primata arboreal yang tinggal di hutan tropis. Makanannya berupa buah, daun dan serangga. Satu keluarga Owa Jawa umumnya terdiri dari sepasang induk dan beberapa anak yang tinggal dalam teritori mereka. Owa jawa merupakan satwa endemik Pulau Jawa.
Dalam daftar satwa terancam, Owa Jawa termasuk kategori kritis (IUCN, 2004). Ancaman bagi mereka di dalam adalah kehilangan habitat, perburuan dan perdagangan untuk dijadikan satwa peliharaan. Beberapa hasil survei memperkirakan, populasi mereka di alam tersisa lebih kurang 4.000 individu. Populasi kecil yang tersisa di alam dan terisolasi membuka peluang bagi mereka mengalami kepunahan.
Anton menjelaskan, dari pengamatannya selama puluhan tahun, pola hidup Owa Jawa memang unik, jauh berbeda dari mamalia pada umumnya. Seperti halnya manusia, Owa Jawa hidup berkeluarga, tinggal dalam suatu rumah atau teritorial. Satu teritorial keluarga Owa Jawa memiliki luas antara 10-17 hektare.
Setiap keluarga Owa Jawa juga bertetangga dengan keluarga lain yang mendiami teritorial lainnya. Uniknya, sesama keluarga, mereka tidak saling mengganggu. Bahkan antar keluarga, mereka memiliki kawasan khusus non-teritorial. Kawasan khusus ini bisa digunakan bersama secara bergantian antar keluarga. Kawasan ini biasanya berisi berbagai bahan makanan yang dibutuhkan keluarga Owa Jawa.
Hal unik lainnya adalah kesetiaan Owa Jawa terhadap pasangannya. Bisa dibilang, hanya kematian yang bisa memisahkan pasangan Owa. Ini diketahui dari hasil pengamatan Anton yang belum pernah sekali pun mendapati Owa Jawa yang bisa berjodoh kembali setelah pasangannya hilang, meninggal atau terbunuh.
Yang terjadi justru Owa Jawa akan stres, sakit dan berujung pada kematian apabila ada pasangan atau anak-anaknya yang hilang. Selain karena perburuan dan perdagangan liar, sifat monogami itu cukup menyulitkan proses pelepasliaran dan upaya peningkatan populasi Owa Jawa.
"Makanya tak berlebihan saya katakan, mengambil satu Owa Jawa itu sama saja dengan membunuh empat individu. Mereka saling berpengaruh, tingkat stres tinggi mereka bisa mudah mati," ujar Anton menjelaskan.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Adopsi Owa Jawa
Menurut Anton, hal paling penting dalam peningkatan populasi Owa Jawa adalah pemasangan atau perjodohan. Sebelum dilepasliarkan, Owa Jawa terlebih dahulu harus mendapatkan pasangan. Namun, upaya tersebut bukanlah proses yang mudah. Butuh waktu beberapa tahun agar Owa Jawa bisa hidup berpasangan untuk kemudian bisa dilepasliarkan di alam bebas.
"Memasangkan Owa Jawa rata-rata butuh waktu hingga tiga tahun, karena mereka sangat selektif dalam memilih pasangan," ucap pria berkacamata ini.
Karena proses pemasangan yang sulit, sejak dibentuk 2003, JGC baru bisa melepasliarkan pasangan Owa Jawa pertamakali pada 2013 lalu.
Populasi Owa Jawa tersebar di hutan-hutan di Jawa Barat dan sejumlah kecil di Jawa Tengah. Khusus di Jawa Barat, habitat asli Owa Jawa terbesar ada di Taman Nasional Ujung Kulon, Halimun-Salak dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
Maraknya perburuan dan rusaknya habitat membuat populasi Owa Jawa kian terancam. Tak hanya itu, dalam upaya peningkatan populasi juga membutuhkan biaya tak sedikit. Biaya operasional termasuk kebutuhan pakan dan kesehatan untuk satu individu Owa Jawa sekitar Rp 1. 250.000 per bulan.
Untuk itu, JGC mengajak masyarakat untuk ikut mendukung upaya peningkatan populasi Owa Jawa melalui program adopsi Owa Jawa. Di mana setiap orang, baik individu maupun kelompok, dapat mengadopsi satu atau lebih individu Owa Jawa.
Program adopsi ini bukan berarti memiliki atau memelihara Owa Jawa di rumah, melainkan berkontribusi langsung melalui bantuan keuangan untuk kebutuhan mereka selama masa rehabilitasi, yakni dalam jangka waktu minimal enam bulan, satu tahun atau lebih.
Advertisement
Dampak Ekspansi Donald Trump
Selain karena perburuan dan perdagangan liar, keberadaan Owa Jawa juga terancam akan modernisasi pembangunan yang lokasinya berbatasan langsung dengan habitat Owa Jawa. Salah satunya di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
Mengutip laman MNC Land (mncland.com), di kawasan Lido, Bogor saat ini tengah dibangun megaproyek seluas 3.000 hektare dengan nama MNC Lido City. Kawasan yang berbatasan dengan TNGGP ini disebut bakal menjadi destinasi hiburan dan gaya hidup premium yang belum pernah ada sebelumnya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pihak MNC Land menggandeng Trump Hotel Collection yang tak lain adalah jaringan hotel bintang enam milik konglomerat sekaligus Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Melalui komunitas Trump, sebagian kawasan Lido akan disulap menjadi resor bintang enam. Di dalamnya bakal dibuka area golf kelas dunia yang dirancang salah satu desainer golf ternama, Ernie Els. Tidak itu saja, sejumlah vila, mansion dan kondominium eksklusif super mewah bakal menghiasi kawasan ini.
Atas rencana pembangunan resor yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGGP itu, Anton Ario mengaku pernah diundang dalam pembahasan terkait pembangunan resor tersebut.
"Sekecil apa pun pembangunan pasti akan ada dampak. Tinggal bagaimana kita meminimalisir-nya," ucap Anton.
Ia mengusulkan agar dibangun garis atau kawasan pembatas antara kawasan resor dengan kawasan TNGGP. Ini untuk meminimalisasi agar satwa di taman nasional tidak terganggu oleh aktivitas yang ada di kawasan resor.
"Selain aktivitas manusia, satwa sangat peka terhadap aktivitas suara, kendaraan maupun lampu. Ini perlu diperhatikan," ucapnya.
Asep (45), salah seorang warga di kawasan Lido mengatakan, mega proyek MNC Land sudah dimulai hampir dua tahun terakhir. Salah satu titik batas terdekat TNGGP adalah dari Danau Lido yang ada di Desa Bedogol.
"Di sana ada tembok pembatas proyek berdiri berhadapan dengan kawasan konservasi. Jaraknya tidak terlalu jauh," ujar Asep.
Sekilas Tentang TNGGP
Mengutip laman www.gedepangrango.org, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) adalah salah satu taman nasional yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Ditetapkan pada tahun 1980, taman nasional ini merupakan salah satu yang tertua di Indonesia. Luasnya mencapai 152 kilometer persegi atau 22.851,03 hektare.
Secara administratif, kawasan TNGGP berada di tiga kabupaten, yakni Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Sementara lokasi kantor pengelola yakni Balai Besar TNGGP berada di daerah Cibodas.
Kawasan ini ditutupi oleh hutan hujan tropis pegunungan. Lokasinya cukup mudah dijangkau. Dalam kondisi normal, TNGGP hanya berjarak dua jam perjalanan darat atau sekitar 100 kilometer dari ibu kota Jakarta.
Di dalamnya, kawasan hutan TNGGP banyak ditemukan berbagai flora dan fauna. Mulai dari 'Si Pohon Raksasa' Rasamala, 'Si Pemburu Serangga' atau kantong semar (Nephentes spp). Berbagai jenis anggrek hutan, dan bahkan ada beberapa jenis tumbuhan yang belum dikenal namanya secara ilmiah, seperti jamur yang bercahaya.
Di samping keunikan tumbuhannya, kawasan TNGGP juga merupakan habitat dari berbagai jenis satwa liar. Ada kepik raksasa, sejenis kumbang, lebih dari 100 jenis mamalia seperti Kijang, Pelanduk, Anjing hutan, Macan Tutul, Sigung dan lainnya. Selain itu ada 250 jenis burung.
Kawasan ini juga merupakan habitat Owa Jawa, Surili dan Lutung serta Elang Jawa yang populasinya hampir mendekati punah.
Advertisement