Pengadilan Sebut Lahan Cigugur Bukan Cagar Budaya Sunda Wiwitan

Eksekusi berlangsung di lahan Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan.

oleh Panji Prayitno diperbarui 24 Agu 2017, 16:00 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2017, 16:00 WIB
Tolak Eksekusi Cagar Budaya, Kaum Sunda Wiwitan Tidur di Jalan
Kesaksian dari para sesepuh Sunda Wiwitan di Kuningan disebut tidak dicatat dalam pengadilan karena agama mereka tak diakui negara. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Liputan6.com, Kuningan - Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menyatakan bahwa keputusan menggelar eksekusi lahan yang ditentang kaum Sunda Wiwitan tersebut karena proses gugatan hukum yang dilayangkan Djaka Rumantaka sudah inkrah.

Eksekusi berlangsung di lahan Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Namun, eksekusi tersebut menunggu pengajuan pemohon.

Panitera PN Kuningan, Andi Lukmana mengatakan, proses gugatan sudah sampai ke Mahkamah Agung. Meski ada gugatan balik dari pihak AKUR, gugatan tersebut gagal.

Dari kacamatan hukum, menurut dia, status lahan adat seluas 224 meter persegi tersebut sah milik ahli waris Djaka Rumantaka. Tanah tersebut tepatnya berada di Blok Mayasih, RT 29 RW 10, Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan.

Berdasarkan informasi dan dari gambar situasi tempat, tanah tersebut bukanlah tanah adat atau cagar budaya Sunda Wiwitan, melainkan dahulunya satu hamparan lahan. "Sehingga lahan yang akan dieksekusi ini bukan cagar budaya (Sunda Wiwitan), karena ada di bagian belakang," ucap dia, Kamis (24/8/2017).

Tanah tersebut diklaim penggugat merupakan warisan dari sang ibunda, Ratu Siti Djenar Alibassa, yang kini ditempati oleh keluarga almarhum E. Kusnadi.

Sebelumnya, PN Kuningan menggagalkan rencana eksekusi lahan Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan di Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Penggagalan tersebut lantaran PN Kuningan khawatir akan terjadi korban jiwa. Panitera PN Kuningan Andi Lukmana mengatakan, pihaknya bersama kepolisian sepakat menggagalkan rencana eksekusi tersebut agar tidak menimbulkan korban.

"Jadi amar putusan perkara nomor 07 tahun 2009 yang dimenangkan Djaka Rumantaka digagalkan karena kondisi tidak memungkinkan," kata Andi, Kamis ini.

Dia menegaskan, jika ada korban, permasalahan akan lebih panjang. Namun demikian, dia memastikan bukan eksekusi lahan digagalkan, melainkan ditunda. Namun, hal itu tergantung pengajuan pemohon Djaka Rumantaka untuk menggelar lagi eksekusi di lahan yang dianggap kaum Sunda Wiwitan sebagai cagar budaya.

Aksi Tolak Eksekusi

Tolak Eksekusi Cagar Budaya, Kaum Sunda Wiwitan Tidur di Jalan
Kesaksian dari para sesepuh Sunda Wiwitan di Kuningan disebut tidak dicatat dalam pengadilan karena agama mereka tak diakui negara. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Sementara itu, saat eksekusi, Polwan dan ibu-ibu masyarakat Adat Karuhun Urang saling berhadapan. Sempat terjadi saling dorong antara ibu-ibu Sunda Wiwitan dan Polwan. Masyarakat adat pun membuat rantai manusia agar tidak terjadi pembobolan pertahanan.

Saat ibu-ibu dan Polwan sudah bergeser, para bapak dan polisi laki-laki menggantikan posisi mereka.

"Beberapa ormas seperti GMBI, Gempur, sepakat bertahan sampai titik darah penghabisan. Dan sampai kapan pun kami akan jaga tanah leluhur kami," kata Girang Pangaping Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR), Oki Satria.

Dia mengaku akan terus berupaya melakukan langkah hukum untuk mempertahankan warisan tanah leluhur mereka. Dia menyebut eksekusi tersebut sudah tiga kali digagalkan.

Dalam upaya menempuh jalur hukum tersebut, masyarakat adat juga pernah berkonsultasi dengan ahli hukum adat dari UI dan Universitas Sriwijaya.

"Hasilnya tetap pengadilan tidak bisa melihat dari perspektif ahli waris, tapi harus melihat dari perspektif masyarakat adat," ujar dia.

Dia mengatakan, sebelumnya masyarakat adat pernah mengajukan gugatan perlawanan oleh penggugat Djaka Rumantaka, tapi kalah.

"Kami semua cucu Pangeran Tedja Buana, tapi dari tahun 1964 sesepuh pernah bilang lahan ini tidak boleh dibagi waris dan harus dijadikan tanah milik rakyat Sunda. Tiba-tiba salah seorang cucu melakukan gugatan dengan perspektif waris dikabulkan oleh pengadilan. Kami melawan," ia menjelaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya