Menyambut Pagi di Sekolah Alam Tepi Hutan Gunung Slamet

Sekolah itu memberi kesempatan kepada anak-anak tepi hutan Gunung Slamet untuk menantang nasib dengan pendidikan.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 30 Agu 2017, 06:00 WIB
Diterbitkan 30 Agu 2017, 06:00 WIB
Salam Pagi
Sejumlah Siswa MTs Pakis merawat tanaman cabai di kebun yang dikelola bersama-sama oleh siswa . (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas - Suhu pagi dasarian kedua Agustus di tepi Gunung Slamet benar benar rendah. Jaket dan sweater tak kuasa menahan dingin yang menyelinap lewat lubang-lubang kancing baju. Di kemarau ini, udara kering dan seolah menusuk-nusuk kulit.

Tetapi, lihatlah itu, puluhan siswa-siswi MTs Pakis telah memulai harinya. Bagi mereka, tiap hari di sekolah adalah petualangan. Mereka, berburu foto burung, meniup-niup embun di kelopak-kelopak bunga, menghitung ulat-ulat di kebun cabai, dan bercanda dengan hutan lindung di tepian Gunung Slamet. Tak nampak sedikitpun tanda kedinginan atau malas.

"Konsep besar sekolah ini adalah bagaimana agar anak-anak tidak tercerabut dari akarnya sebagai anak petani dan anak-anak yang terlahir di tepian hutan. Sekolah ini memadukan pelajaran sesuai kurikulum dan pembelajaran dari alam," kata Kepala MTs Pakis, Isrodin, Sabtu, 19 Agustus 2017.

Memulai harinya, anak-anak berdoa. Tak lupa mereka meneriakkan yel-yel kebanggaan sekolah, yang dipimpin oleh pengajar dan disahut lantang oleh siswa. Siapa pun akan bergetar melihat semangat mereka.

"Mana pemimpin? Saya pemimpin. Setiap pemimpin harus mau dan mampu menjadi pemikir. Mana pemikir? Saya pemikir, setiap pemikir harus mau dan mampu menjadi petani. Siapa petani? Saya petani, setiap petani harus mau dan mampu menjadi pemimpin," jawab para siswa lantang.

Dipandu pengajar yang dalam bahasa MTs Pakis disebut pendamping, mereka berbagi tugas. Sebagian siswa membuat media tanam, sedangkan lainnya merawat tanaman cabai. Setelah dipersilahkan, mereka bersemburat ke arah yang dituju. Sebagian ke arah bawah yang berbatasan dengan danau, sebagian lainnya menuju kebun cabai kecil yang mereka tanam tiga bulan lampau.

Siswa MTs Pakis kelas VII, Yuli kelihatannya sudah terbiasa mencari ulat yang bersembunyi di daun-daun cabai yang menggulung. Tak canggung, dia kumpulkan ulat itu di tangan kirinya. Di waktu bersamaan, tangan kanannya dengan lincah mencabut rumput di sela tanaman.

"Semuanya ada lima ekor. Ulat ini kalau banyak bisa membuat cabai kurus dan mati," lapor Yuli.

Sementara, kawan lainnya telah bermandi peluh di pagi yang dingin ini. Mereka tampak gembira betul memasukkan tanah kompos ke polybag-polybag yang telah dipersiapkan. Mereka hendak mendeder bibit palem hutan yang didapatkan hari sebelumnya.

"Kemarin mencari di hutan. Sambil belajar keragaman hayati," kata Syahroni, siswa kelas 7.

Asal Muasal Kelompok Belajar

Salam Pagi
Siswa SD melintas di gubuk literasi MTs Pakis. Anak-anak usia SD Kampung Pesawahan Desa Gununglurah menempuh perjalanan 2,5 kilometer melintasi hutan pinus untuk menuju sekolahnya. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo

Isrodin menjelaskan, konsep awal sekolah ini tak lepas dari muasal kegiatan sanggar belajar Paket C di Grumbul Pasawahan, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Di kampung itu, sejak awal 2010-an lalu, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Argowilis membuka Paket C untuk masyarakat setempat.

Tingkat pendidikan kampung ini memang mengenaskan. Dari 111 kepala keluarga, waktu itu hanya ada satu orang yang lulus SMA, empat lulus SLTP. Sementara, lainnya hanya lulusan sekolah dasar. Tak aneh jika di kampung ini banyak yang masih buta huruf.

"Alhamdulillah, sejak dibuka tahun 2013 lalu, siswa bertambah banyak. Sekarang sudah ada 21 siswa. Semoga ini bukan hanya sekadar karena alasan kemiskinan, tetapi pertanda meningkatnya kepercayaan masyarakat," ujar Isrodin.

Dia menjelaskan, sekolah terdekat adalah SD di desa tetangga, Sambirata yang berjarak 2,5 kilometer. Medannya naik turun bukit dengan jalan masih tanah dilapisi batu koral. Di musim hujan anak-anak usia 7 sampai 12 tahun-an itu harus melewati medan licin yang dikepung perkebunan pinus. Untuk anak seusia mereka, seperti tantangan itu terlalu berat.

"Tapi kalau kami membuat SD di sini, kami juga kasihan dengan SD 03 Sambirata. Sebab, sebagian siswanya dari Grumbul Pesawahan. Ya sudah, kami MTs dan Paket C-nya saja," Isrodin menerangkan.

Meski jauh dari perkotaan, MTs Pakis tegak berdiri. Memberikan pendidikan alternatif untuk anak-anak miskin yang jauh dari fasilitas pendidikan yang memadai.

Seperti namanya, MTs Pakis yang berarti piety atau kesalehan, achievement berarti prestasi, knowlegde atau ilmu pengetahuan, integrity atau integritas, dan sincerity atau keikhlasan. Sekolah ini, memberi kesempatan kepada anak-anak tepi hutan Gunung Slamet untuk menantang nasib dengan dengan pendidikan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya