Sambut Pagi Penuh Cinta dengan Anyaman Jerami di Sawah

Jerami menjadi media untuk menyebarkan pesan cinta lingkungan. Kok bisa?

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 03 Sep 2017, 06:00 WIB
Diterbitkan 03 Sep 2017, 06:00 WIB
Sambut Pagi Penuh Cinta dengan Anyaman Jerami di Sawah
Jerami menjadi media untuk menyebarkan pesan cinta lingkungan. Kok bisa? (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banjarnegara – Jerami-jerami yang menumpuk ternyata bisa menjadi karya istimewa di tangan para pemuda Karang Taruna Pelita Mas, Desa Gentansari, Kecamatan Pagedongan, Kabupaten Banjarnegara. Beragam bentuk dianyam mulai dari replika alutsista, berupa tank dan meriam, hingga dhemit-dhemitan sawah raksasa.

Seluruh anyaman jerami itu kemudian dipajang di sepanjang Jalan Baru Pucang, Banjarnegara. Warga pun lantas berduyun-duyun menyaksikan beragam kreasi berbahan jerami ini. Tak lupa pula, mereka berswafoto dengan latar replika-replika itu.

Ketua Karang Taruna Pelita Mas, Pawit Wahono mengatakan ide pembuatan beragam rupa replika dari jerami itu berawal dari keprihatinan pemuda Desa Gentansari atas maraknya limbah pabrik. Limbah pabrik itu mencemari perairan dan persawahan penduduk.

Di sisi lain, rupanya petani pun tak sadar jika kebiasaan membakar jerami seusai panen pun merupakan bentuk pencemaran udara. "Padahal, jerami itu kalau mau bisa diolah lagi sehingga berguna. Bisa untuk pakan ternak. Kalau pun didiamkan di sawah, akan menjadi pupuk kompos," kata Pawit, Sabtu, 26 Agustus 2017.

Itu sebabnya, selain membuat replika tank baja, meriam dan dhemit-dhemitan sawah, tangan-tangan kreatif pemuda Gentansari membentuk jerami menjadi burung, kupu-kupu, capung, dan ulat bulu. Hewan-hewan itu, kata Pawit, berhabitat di sawah. Mereka terancam oleh pestisida dari tangki semprot petani.

Hantu sawah berupa burung menjadi idola untuk berswafoto. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).

"Sekarang petani juga semakin banyak menggunakan pestisida. Beras yang dihasilkan pun sudah tidak alami," ucapnya.

Media jerami itu, ujar Pawit, sekaligus mengingatkan petani untuk memanfaatkan limbah sisa panen itu untuk menjadi pupuk kompos. Jika ditambah bahan lain, seperti kotoran ternak, sawah pun sudah siap menjadi lahan pertanian organik.

Pertanian ramah lingkungan itu sangat mungkin dijalankan lantaran hampir semua petani di desanya memiliki hewan ternak, mulai yang terkecil ayam, kambing, hingga sapi.

"Kami juga ingin mengajak petani untuk bertanam padi secara sehat. Kalau pun tidak organik 100 persen, ya mulai dengan mengembalikan kesuburan tanah dengan menaruh pupuk kompos di sawahnya," tutur dia.

Untuk menggelar festival itu, Karang Taruna hanya merogoh kocek Rp 500 ribu. Anggaran itu diperoleh dengan cara swadaya. Selain itu, penduduk pun diajak turut serta mengumpulkan jerami sebanyak tiga pikap.

"Ke depan, kami ingin mengajak seluruh warga untuk mencintai lingkungan. Caranya dimulai dari diri sendiri," ucap Pawit.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya