Festival Jerami dan Pesan Penting untuk Para Petani

Jerami-jerami itu dibuat dengan beragam bentuk. Mulai replika alutsista berupa tank dan meriam, hingga hantu sawah raksasa.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 28 Agu 2017, 10:00 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2017, 10:00 WIB
Festival Jerami
Hantu sawah berupa burung menjadi idola untuk berswafoto. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).

Liputan6.com, Banjarnegara - Karang Taruna Pelita Mas, Desa Gentansari, Kecamatan Pagedongan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, menggelar festival jerami. Cara ini digunakan untuk mengungkapkan keprihatinan terhadap tingginya pencemaran lingkungan.  

Jerami-jerami itu dibuat dengan beragam bentuk. Mulai replika alutsista berupa tank dan meriam, hingga hantu sawah raksasa. Seluruhnya dipajang di sepanjang Jalan Baru Pucang Banjarnegara. Warga lantas berduyun-duyun menyaksikan beragam kreasi berbahan jerami ini. Tak lupa pula, mereka berswafoto dengan latar replika-replika itu.

Ketua Karang Taruna Pelita Mas, Pawit Wahono mengatakan, ide pembuatan beragam rupa replika dari jerami itu berawal dari keprihatinan pemuda Desa Gentansari terhadap semakin maraknya limbah pabrik. Limbah pabrik itu mencemari perairan dan persawahan penduduk.

Di sisi lain, rupanya petani tak sadar kebiasaan membakar jerami seusai panen merupakan bentuk pencemaran udara.

"Padahal jerami itu kalau mau bisa diolah lagi sehingga berguna. Bisa untuk pakan ternak. Kalaupun didiamkan di sawah, akan menjadi pupuk kompos," kata Pawit, Sabtu, 26 Agustus 2017. 

Itu sebabnya, selain membuat replika tank baja, meriam dan hantu sawah, tangan-tangan kreatif pemuda Gentansari membentuk jerami menjadi burung, kupu-kupu, capung, dan ulat bulu. Hewan-hewan itu, kata Pawit, berhabitat di sawah. Mereka terancam oleh pestisida dari tangki semprot petani.

"Sekarang petani juga semakin banyak menggunakan pestisida. Beras yang dihasilkan pun sudah tidak alami," ucapnya. 

Media jerami itu, ujar Pawit, sekaligus mengingatkan petani untuk memanfaatkan limbah sisa panen itu untuk menjadi pupuk kompos. Jika ditambah bahan lain, seperti kotoran ternak, sawah pun sudah siap menjadi lahan pertanian organik. Itu sangat mungkin lantaran hampir semua petani di desanya memiliki hewan ternak, mulai yang terkecil ayam, kambing, hingga sapi.

"Kami juga ingin mengajak petani untuk bertanam padi secara sehat. Kalau pun tidak organik 100 persen, ya mulai dengan mengembalikan kesuburan tanah dengan menaruh pupuk kompos di sawahnya," dia menerangkan.

Untuk menggelar festival itu, Karang Taruna hanya merogoh kocek Rp 500 ribu. Anggaran itu diperoleh dengan cara swadaya. Selain itu, penduduk diajak turut serta mengumpulkan jerami sebanyak tiga pikap. 

"Ke depan, kami ingin mengajak seluruh warga untuk mencintai lingkungan. Caranya dimulai dari diri sendiri," ucap Pawit.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya