Liputan6.com, Manado - Dia seorang pahlawan nasional dengan karya-karyanya yang besar, namun seolah hilang dari lembaran sejarah. Beruntung peninggalan berupa organisasi PIKAT dan asrama putri masih beroperasi, selain makamnya berada di lokasi yang strategis. Jika tidak, mungkin Maria Walanda Maramis benar-benar dilupakan.
Letak makam berada di jalur utama Jalan Raya Maumbi, Kabupaten Minahasa Utara atau jalan raya lintasan Manado - Bitung, Sulawesi Utara. Jaraknya Sekitar 10 Km dari kota Manado. Pada bagian depan, berdiri sebuah monumen tepat di tengah lokasi makam berbentuk segi lima dan berdiameter 3 x 3 m persegi.
Sepintas terlihat monumen itulah sebagai makamnya. Ternyata jika kita masuk jauh lagi ke lokasi makam, tepatnya di belakang monumen ini, akan terlihat ada dua kuburan di belakang monumen itu.
Advertisement
"Ini kuburan Marian Walanda Maramis dan suaminya," ungkap Nova Sondakh, perempuan yang sehari-harinya bekerja mengurus kompleks pemakaman itu.
Nova mengungkapkan, awalnya letak makam Maria Walanda Maramis berada di pekuburan keluarga yang tak jauh dari lokasi makam sekarang. Pada masa Gubernur Sulut dijabat CJ Rantung, usulan pemindahan makam Maria Walanda Maramis ke tempat yang lebih layak sebagai seorang pahlawan akhirnya disetujui.
"Ini untuk menghormati jasa-jasa Ibu Maria," kata Nova.
Masih dalam kompleks pemakaman itu, masih berdiri sebuah rumah tua yang dimakan usia. Rumah panggung dengan dua kamar yang sudah tak terurus itu ternyata punya nilai sejarah.
Baca Juga
"Rumah ini dulu ditempati Maria Walanda Maramis, dan di sini pula dia mendidik kaum perempuan dengan berbagai keterampilan," ujar Nova.
Maria lahir di desa Kema, Kabupaten Minahasa Utara, Minggu, 1 Desember 1872. Meski lahir dari keluarga sederhana namun bersama organisasi yang dia dirikan bernana Perkumpulan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT), Maria berjuang untuk pendidikan kaum perempuan. Dia juga menolak bahkan melawan diskriminasi terhadap kaum perempuan.
"Banyak perempuan di Sulut ini yang lahir dari sekolah-sekolah dan lembaga ketrampilan yang didirikan oleh Marian Walanda Maramis," ujar Nova.
Atas kerja keras yang konsisten dan jasa-jasanya itu, Maria dianugerahi gelar pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 12/K/1969 tanggal 20 Mei 1969. Dalam surat yang ditandatangani Presiden Soeharto itu, Maria bersama dua tokoh lainnya yakni Arie F Lasut dan Christina Martha Tiahahu dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Meski menyandang gelar pahlawan nasional atas kiprahnya, Maria nyaris dilupakan dan hilang dari sejarah. Sejarawan dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Ivan RB Kaunang ikut mempertanyakan minimya apresiasi dan penghargaan terhadap seorang Maria.
"Apakah mungkin pemerintah kurang mensosialisasikan tokoh-tokoh, pahlawan dari daerah ini? Ataukah pendidikan kewarganegaraan kita di berbagai jenjang pendidikan yang belum banyak menyentuh penghargaan terhadap pahlawan nasional kita," papar Ivan.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Maria di Jalan Sunyi
Ivan mengungkapkan, kealpaan bangsa dan daerah Sulut terhadap nama tokoh dan pahlawannya terkesan dari tidak adanya kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan ingatan tentang sosok tokoh atau pahlawan khususnya Maria Maramis.
"Misalnya kegiatan formal seperti diskusi, seminar, dialog kebangsaan kepahlawanan maupun informal atau seremonial terkait Marian Walanda Maramis," papar akademisi dari Fakultas Ilmu Budaya Unsrat Manado ini.
Ivan menambahkan, jika dibanding dengan pahlawan nasional lainnya, sosok pahlawan Maria Walanda Maramis sering terpinggirkan. "Sesekali kegiatan untuk peringatan hanya dilakukan dalam skala terbatas oleh ibu-ibu yang tergabung dalam organisasi PIKAT," kata dia.
Nama pahlawan yang cukup dikenal di dearah Sulut, dan yang sering disebutkan adalah seperti Sam Ratulangi, AA. Maramis, Arnold Mononutu, BW Lapian, Mayor John Lie, hingga Robert Wolter Mongisidi.
"Nama Maria Walanda Maramis sebagai pahlawan nasional Indonesia hampir tidak tersentuh dalam wacana akademik. Nama Maria Walanda Maramis seakan tertutup dengan nama pahlawan wanita dari daerah lain," papar Ivan yang juga penulis buku “Maria Walanda Maramis, Jangan Lupakan PIKAT Anak Bungsuku”.
Ivan mengatakan, di tingkat akademik kaitannya dengan historiografi kepahlawanan, dapat disimpulkan bahwa tulisan dan karya yang terkait dengan Maria Maramis sangat langka. "Itu sangat saya rasakan saat akan melakukan penelitian dan penulisan biografi Maria Maramis," ujar dia.
Tak ada dalam literatur akademik, maupun diskusi-diskusi ilmiah, tapi karya-karya peninggalan Maria Walanda Maramis masih bisa ditemukan. Salah satunyanya adalah eksistensi organisasi PIKAT dengan sekolah-sekolahnya di berbagai daerah di Indonesia, serta asrama putri yang masih berdiri di pusat kota Manado.
Dalam sambutannya pada buku karya Ivan tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Yohana Yembise mengatakan, diperlakukan secara diskriminatif karena terlahir sebagai seorang perempuan, tidak hanya dirasakan oleh Raden Ajeng Kartini maupun Raden Dewi Sartika saja.
"Hal ini juga dialami oleh Maria Walanda Maramis. Pada saat itu, perempuan diharapkan hanya untuk menikah dan mengurus rumah tangga. Terkungkung oleh kenyataan yang membuatnya tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sebagaimana yang didapatkan kaum pria," ujar Yohana.
Dia menambahkan, meski dalam situasi seperti itu Maria bercita-cita amat tinggi untuk memajukan kaumnya. "Tidak hanya bercita-cita, namun mampu mewujudkan dalam aksi nyata," ujar Yohana.
Advertisement