Liputan6.com, Timika - Tondok Rante Pakiding (49) dan Ari Kartono (35) merupakan dua di antara 344 warga warga non-Papua yang dievakuasi aparat TNI dan Polri dari Kampung Banti, Distrik Tembagapura ke Timika, pada Jumat, 17 November 2017.
Kedua warga yang berasal dari etnis Toraja dan Jawa itu selama 10 tahun berdagang barang kebutuhan pokok dan barang campuran di Kampung Banti.
Tondok Rante Pakiding mengaku sudah 20 tahun berdagang di Banti sejak 1997, sementara Ari Kartono baru 9 tahun membuka usaha sejenis di perkampungan warga Suku Amungme, Papua, yang tak jauh dari kota tambang PT Freeport Indonesia, Tembagapura.
Advertisement
Tondok Rante Pakiding mengaku awalnya tidak sengaja beralih profesi sebagai pedagang. Mula-mula dia masuk ke area PT Freeport sebagai pekerja di perusahaan subkontraktor PT Osato Seike.
Baca Juga
Entah karena alasan apa, dia memilih meninggalkan pekerjaannya itu dan beralih menjadi pembeli emas dari para pendulang emas di sepanjang Kali Kabur, dekat Kampung Banti.
"Setelah tidak lagi menjadi karyawan, saya tinggal-tinggal saja di Banti, lalu membeli emas dari para pendulang. Setelah itu, lama-lama saya membuka kios dagangan selama 7 tahun terakhir," tutur Tondok Rante Pakiding, seperti dilansir Antara, Jumat (24/11/2017).
Barang-barang yang dijual Tondok Rante Pakiding maupun pedagang lainnya di kawasan itu bermacam-macam jenisnya, mulai dari bahan pokok, seperti beras, minyak goreng, gula pasir, kopi, mi instan, rokok, ayam beku, hingga pakaian, sepatu, dan sandal.
Melihat Peluang Usaha
Menurut pengakuan Tondok Rante Pakiding, semua barang yang dijual para pedagang dibeli dari oknum anggota, kemudian dari Timika dibawa ke Banti. Adakalanya Tondok Rante Pakiding bersama oknum anggota sama-sama turun belanja di Timika, lalu dibawa naik ke Banti dengan mobil oknum tersebut.
Dengan makin banyaknya jumlah pendulang emas tradisional di wilayah Banti, Kimbeli, area longsoran, dan batu besar dekat Kali Kabur, aktivitas ekonomi atau bisnis ilegal di wilayah itu kian marak dalam beberapa tahun terakhir.
Di Kampung Banti saja, terdapat delapan pengusaha kios, enam orang berasal dari Suku Toraja, dua lainnya berasal dari Suku Batak dan Suku Jawa.
Sementara itu, di Kimbeli hingga area longsoran, dekat Kantor Polsek Tembagapura, jumlah pengusaha kios malah jauh lebih banyak.
Kalau di Kimbeli sampai area longsoran, jumlah pedagang banyak sekali, dirinya tidak bisa hitung. Ada juga yang khusus buka usaha bakar emas, ada juga pembeli emas. Semuanya ada di situ.
Keberadaan para pengusaha kios, pendulang emas tradisional dan warga non-Papua lainnya di lokasi itu diterima secara baik oleh warga asli.
Apalagi, warga non-Papua yang membuka usaha di lokasi itu memberikan manfaat ekonomi bagi warga lokal dari usaha sewa tempat atau lokasi, baik untuk lokasi pendulangan maupun lokasi membuka usaha kios.
"Setiap bulan kami bayar sewa tempat Rp3,5 juta kepada pemilik lahan dari marga Omaleng. Kalau yang buat kamp pendulang di pinggir Kali Kabur, mereka juga harus bayar sewa tempat ke kepala suku. Kami tidak tahu persis berapa biaya sewa lokasi dulang yang mereka bayar," katanya.
Meski biaya sewa lokasi usaha di Banti, Kimbeli, dan sekitarnya itu cukup mahal di tengah situasi keamanan yang kurang kondusif lantaran sering terjadinya kasus penembakan. Namun, para pengusaha ini tetap memilih bertahan.
Alasan mereka karena prospek usaha mereka sangat menjanjikan di wilayah itu.
Dalam sebulan, Tondok Rante mengaku meraup keuntungan bersih minimal Rp 7 juta.
Semua jenis barang di sana sangat laris. Setiap hari masyarakat belanja di kios. Mereka tidak pikir esok mau makan apa? Kalau ada uang hari itu juga dihabiskan untuk belanja. Esoknya baru cari lagi. Mereka juga turun mendulang emas di Kali Kabur, ujarnya.
Adapun para pendulang emas tradisional di Kali Kabur datang dari berbagai daerah, termasuk warga lokal.
Advertisement
Ancaman Kelompok Kriminal Bersenjata
Kalau pendulang yang berasal dari suku-suku luar Papua jumlahnya sekitar 200 sampa dengan 300-an orang. Sisanya orang asli. Di situ juga sudah ada penadah atau pembeli emas. Rata-rata pembeli emas itu orang Toraja, Bugis, dan Buton. Kalau Jawa kebanyakan pendulang, mereka buka kamp di sana.
Aktivitas bisnis ilegal yang semarak di sepanjang daerah aliran Kali Kabur yang mengalirkan material tailing PT Freeport dari wilayah dataran tinggi ke wilayah dataran rendah Kabupaten Mimika itu mulai goyang seiring dengan terjadi sejumlah kasus penembakan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) di sekitar wilayah Tembagapura pada pertengahan Oktober 2017.
Pada minggu-minggu terakhir Oktober, KKB sudah mulai menguasai kampung-kampung sekitar Tembagapura, seperti Utikini Lama, area longsoran, batu besar, Kimbeli, Banti, hingga Opitawak.
Anggota KKB itu dilaporkan masuk ke kios-kios milik warga non-Papua dan mengambil sesuka hati barang-barang yang mereka inginkan, uang, emas, termasuk telepon genggam.
Beberapa orang di antara mereka terlihat menenteng senjata api. Namun, sebagian besar mempersenjatai diri dengan parang, kapak, busur panah, dan lainnya.
Mereka masuk ke kios-kios lalu mengambil barang-barang apa saja yang mereka mau. Ada yang bawa uang, ponsel, emas, dan lain-lain. Tidak ada yang bisa mencegah mereka karena jumlahnya sangat banyak, kata Tondok Rante.
Beberapa warga non-Papua itu dilaporkan mengalami perlakuan kasar, bahkan mengalami kekerasan. Ada warga yang mengalami pelecehan seksual, ada yang dianiaya, ada yang dirampas harta bendanya oleh KKB. Namun, tidak ada yang ditembak.
"Saya sempat disuruh telanjang, lepas semua baju dan celana, lalu berjalan jongkok karena dicurigai sebagai intel. Ada sekitar 30 orang masuk ke kios saya malam itu. Mereka geledah semua barang dalam kios, lalu mengambil uang sekitar Rp30 juta dan handphone saya," tutur Ari Kartono.
Lantaran merasa takut dengan KKB, sebagian besar warga non-Papua dari Kampung Banti, Kimbeli, area longsoran dan batu besar akhirnya memilih mengungsi ke rumah milik Kepala Suku Dani di Kampung Kimbeli bernama Kamaniel Waker.
Warga non-Papua yang berprofesi sebagai pedagang maupun pendulang emas di Banti dan Kimbeli mengaku tidak bisa keluar dari lokasi itu karena dilarang oleh KKB.
KKB hanya mengizinkan guru-guru TK, SD, SMP Negeri Banti, dan petugas Rumah Sakit Waa-Banti meninggalkan lokasi itu menggunakan bus dan beberapa mobil ambulans, Jumat (27/10).
"Kami tidak diperbolehkan keluar dari situ oleh KKB. Ada teman-teman kami di area longsoran sempat mau melarikan diri ke Tembagapura pada malam hari. Namun, begitu sampai di sekitar Utikini Lama, anggota kelompok bersenjata yang ada di situ menyuruh mereka kembali. Semua 'handphone'-nya disita," ujar Tondok Rante.
Menghirup Udara Bebas
Ratusan warga non-Papua itu baru bisa menghirup napas segar setelah aparat TNI dan Polri yang tergabung dalam Satuan Tugas Terpadu merangsek masuk ke Kimbeli dan Banti, Jumat (17/7) pagi, untuk menumpas KKB.
Saat itu juga sebanyak 344 warga non-Papua dievakuasi ke Tembagapura, selanjutnya ke Timika dengan belasan bus karyawan PT Freeport.
Tondok Rante maupun Ari Kartono mengaku sebagian barang jualan mereka masih tertinggal di kios di Kampung Banti.
"Barang yang tersisa masih cukup banyak. Kalau diperkirakan nilainya tidak sampai Rp100 juta. Akan tetapi, kami sudah tidak perdulikan itu lagi, yang terpenting saya selamat," tutur Ari Kartono.
Sementara itu, Tondok Rante mengaku mengalami kerugian hampir Rp200 juta lantaran barang dagangannya masih tertinggal di kios di Banti.
"Waktu dievakuasi ke Timika, saya hanya bawa baju di badan saja. Barang-barang semua tinggal. Kami sudah beri tahukan kepada aparat, biar kios-kios itu dibakar saja daripada menjadi tempat persembunyian kelompok bersenjata," ucap Tondok Rante.
Kini, dia mulai merintis usaha baru dengan membuka usaha jualan pakaian dan sepatu di Jalan Budi Utomo Timika.
Ia berharap situasi keamanan di kampung-kampung sekitar Tembagapura itu kondusif kembali. Jika diizinkan, para pedagang akan kembali ke Banti untuk berjualan.
"Kalau diizinkan, kami akan kembali ke sana. Akan tetapi, kami masih pikir-pikir dahulu," ujarnya.
Pengakuan serupa juga disampaikan Ari Kartono.
"Saya mau pulang kampung dahulu ke Toraja karena anak saya ada di sana. Kalau ada jalan kembali ke Banti, kami akan kembali ke sana," tutur Ari.
Ia menambahkan bahwa putranya hingga kini masih merasakan trauma dan ketakutan jika mendengar ada suara orang banyak yang datang ke rumahnya.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement