Kue Bagea, Camilan Tradisional Papua Kaya Rasa Hingga Sejarah Budaya

Tekstur bagea yang keras di luar namun lembut di dalam ketika dimakan bersama teh atau kopi panas menjadikannya unik dan berbeda dari kue kering pada umumnya

oleh Panji Prayitno Diperbarui 23 Apr 2025, 02:00 WIB
Diterbitkan 23 Apr 2025, 02:00 WIB
Kue Bagea, Camilan Tradisional Papua Kaya Rasa Hingga Sejarah Budaya
Masyarakat Indonesia Timur populer dengan makanan berbahan dasar sagu, makanan pokok ini biasa dikonsumsi... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Kue bagea adalah salah satu camilan tradisional khas Indonesia Timur yang menyimpan kekayaan rasa, sejarah, dan budaya yang luar biasa. Camilan ini secara umum dikenal sebagai makanan khas Papua, namun popularitasnya juga sangat kental di daerah Maluku, khususnya di wilayah Ambon dan sekitarnya.

Hal ini disebabkan karena latar belakang sejarah dan budaya antara Papua dan Maluku yang saling terkait dan memiliki banyak kesamaan dalam tradisi kuliner. Bagea dibuat dari bahan dasar sagu, yang merupakan makanan pokok bagi masyarakat di wilayah timur Indonesia.

Sagu tidak hanya menjadi sumber karbohidrat utama, tetapi juga menjadi simbol kehidupan dan identitas budaya masyarakat lokal. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Papua dan Maluku, sagu hadir dalam berbagai bentuk olahan, mulai dari papeda hingga camilan-camilan kering seperti kue bagea.

Tekstur bagea yang keras di luar namun lembut di dalam ketika dimakan bersama teh atau kopi panas menjadikannya unik dan berbeda dari kue kering pada umumnya.

Rasa khas dari rempah-rempah seperti cengkeh, kayu manis, dan terkadang jahe memberikan aroma yang kuat dan kehangatan tersendiri saat dinikmati, menjadikannya pilihan camilan yang ideal terutama saat cuaca dingin atau sore hari yang santai bersama keluarga.

Bagea bukan hanya sekadar camilan biasa, melainkan bagian dari warisan budaya kuliner yang mencerminkan cara hidup dan nilai-nilai masyarakat Papua dan Maluku.

Proses pembuatannya pun sarat akan filosofi dan kearifan lokal, dimulai dari pemilihan bahan baku sagu yang berkualitas, pengolahan rempah-rempah tradisional, hingga cara pemanggangan yang masih banyak dilakukan secara tradisional dengan tungku api.

Seringkali, bagea dibuat secara gotong royong dalam keluarga atau komunitas kecil, terutama saat ada perayaan adat atau hari besar keagamaan seperti Natal di Maluku atau pertemuan suku di Papua. Dalam konteks ini, bagea memiliki makna sosial yang sangat mendalam karena menjadi simbol kebersamaan dan identitas kelompok.

Selain itu, penyajian bagea kepada tamu dianggap sebagai bentuk penghormatan, karena camilan ini dianggap sebagai makanan bernilai tinggi yang dibuat dengan usaha dan perhatian yang besar.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Eksistensi Bagea

Dalam berbagai cerita rakyat dan kebiasaan turun-temurun, bagea bahkan dipercaya memiliki makna spiritual karena bahan-bahannya yang alami dan dekat dengan alam, sesuatu yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya lokal timur Indonesia.

Dari segi penyebaran, kue bagea kini tidak hanya dikenal di Papua dan Maluku saja, melainkan telah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia bahkan sampai ke luar negeri, terutama di komunitas perantauan asal Indonesia Timur.

Popularitasnya juga semakin meningkat seiring dengan banyaknya pelaku UMKM dan pengusaha kuliner yang mulai mengemas bagea dalam bentuk yang lebih modern, baik dari segi rasa maupun tampilan kemasan. Kini, kita bisa menemukan variasi bagea dengan tambahan rasa modern seperti cokelat, keju, atau pandan, yang dibuat tanpa menghilangkan ciri khas rasa rempah dan sagu sebagai identitas utama.

Hal ini membuktikan bahwa bagea adalah camilan tradisional yang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan akar budayanya. Pemerintah daerah dan berbagai komunitas budaya pun turut aktif mempromosikan bagea sebagai bagian dari upaya pelestarian warisan kuliner Nusantara, melalui festival makanan tradisional, pameran UMKM, hingga pelatihan kepada generasi muda agar resep dan teknik membuat bagea tidak punah di tengah arus modernisasi yang begitu deras.

Setiap gigitan dari kue ini adalah perjalanan rasa yang membawa kita pada suasana hutan sagu yang teduh, aroma rempah-rempah yang menyelimuti dapur-dapur tradisional, serta kehangatan komunitas yang menjaga tradisi leluhur dengan penuh cinta.

Dengan menjaga eksistensi bagea di tengah masyarakat modern, kita bukan hanya menikmati sebuah camilan, tetapi juga turut melestarikan identitas dan warisan budaya bangsa yang patut dibanggakan. Maka dari itu, mengenal dan mencintai bagea bukan hanya soal selera, tapi juga sebuah langkah kecil dalam menjaga kekayaan kearifan lokal Indonesia yang sangat berharga.

Penulis: Belvana Fasya Saad

 
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya