Anyaman Caping Ponorogo dan Sebuah Warisan Para Leluhur

Warga Ponorogo yakin tradisi menganyam caping ini tak akan hilang dimakan zaman.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 08 Des 2017, 08:31 WIB
Diterbitkan 08 Des 2017, 08:31 WIB
Perajin Caping di Ponorogo
Mbah Landep saat memproduksi caping setengah jadi di kediamannya. (Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Ponorogo - Siapa sangka, caping yang biasanya dipakai petani sebagai topi saat tengah sibuk bekerja di ladang ternyata proses pembuatannya terbilang rumit. Bahkan, untuk membuat satu topi caping ini membutuhkan kerja sama beberapa orang.

Gambaran inilah yang terlihat di Desa Karanggebang, Kecamatan Jetis, Ponorogo, Jawa Timur. Lokasi ini merupakan sentra pembuatan caping di Ponorogo. Di sana, setiap warga mempunyai tugas masing-masing saat membuat caping.

Ada yang memilah bambu hingga berbentuk lembaran tipis, ada pula yang bertugas menganyam caping setengah jadi. Ada yang meneruskan menganyam hingga menjadi caping, ada pula yang membuat blengker atau pinggiran caping. Semua dikerjakan secara bergotong royong.

Kepala Dusun, Agus Wiyono menuturkan, kegiatan seperti ini memang menjadi tradisi sejak zaman dahulu. Tepatnya, sejak dekade 60-an, ketika warga yang berusia lanjut memilih tetap bekerja, tetapi sebagai perajin caping.

"Warga ingin tetap beraktivitas meski berada di rumah, tentunya aktivitas yang menghasilkan uang," tutur dia kepada Liputan6.com, Selasa, 5 Desember 2017.

Menurut Agus, dengan sistem seperti ini, warisan leluhur berupa kerajinan caping akan terus terjaga meski kerajinan modern mulai banyak masuk ke Ponorogo.

"Saya yakin ini tidak akan punah, pasti ada penerusnya, karena warga selalu ada yang membuat caping," ujar Agus optimistis.

Cerita Perajin Caping

Perajin Caping di Ponorogo
Mbah Jemiah saat menganyam caping. (Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Salah satu perajin caping, Mutiani, bertugas memilah batang bambu hingga berbentuk menjadi lembaran tipis, ia menjual satu batang bambu dengan harga Rp 35 ribu. Dalam satu hari ia mampu memotong satu batang bambu.

"Satu hari satu batang bambu biasanya, nanti langsung saya jual ke warga yang menganyam," kata dia.

Sementara itu, Mbah Landep (84), bertugas menganyam caping setengah jadi. Ia membuat ujung caping dengan anyaman setengah jadi. "Satu hari saya bisa membuat 10 caping, satu caping dijual dengan harga Rp 4 ribu," dia bercerita.

Tugas pembuatan caping dilanjutkan Mbah Jemiah. Dia bertugas membuat blengker atau pinggiran caping agar caping lebih tahan lama dan kuat. Sekaligus meneruskan anyaman caping setengah jadi.

"Satu hari saya bisa membuat satu caping ukuran kecil, kalau ukuran besar bisa sampai lima hari baru selesai," ujar dia.

Caping yang dibuat oleh warga Karanggebang ada lima jenis, mulai dari topi, plentis, buyuk, caping kecil, dan caping besar. Untuk harga topi dijual Rp 3.000, plentis Rp 3.000, buyuk Rp 10 ribu, dan caping kecil harganya Rp 15 ribu.

"Kami dari 25 perajin bisa menghasilkan 500 caping, nantinya dijual ke pengepul," Mbah Jemiah menambahkan.

Sedangkan untuk pemasaran sendiri, karena pangsa pasar Ponorogo kurang baik, akhirnya dijual ke wilayah Blitar dan Tulungagung.

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya