Kisah Kuswati, Sang Penenun Bulu Mata Palsu dengan Jari Kaki

Dalam sebulan, jari terampil Kuswati yang menenun bulu mata palsu hanya bisa menghasilkan Rp 120 ribu.

oleh Galoeh Widura diperbarui 03 Mei 2018, 07:00 WIB
Diterbitkan 03 Mei 2018, 07:00 WIB
Kisah Kuswati, Sang Penenun Bulu Mata dengan Jari Kaki
Dalam sebulan, jari terampil Kuswati yang menenun bulu mata palsu hanya bisa menghasilkan Rp 120 ribu. (Liputan6.com/Galoeh Widura)

Liputan6.com, Purbalingga – Di balik lentiknya bulu mata perempuan-perempuan di banyak negara di dunia, ada keringat puluhan ribu tenaga kerja di Purbalingga, Jawa Tengah.

Demikian postingan Presiden Joko Widodo di laman Facebooknya usai mengunjungi salah satu pabrik bulu mata dan rambut palsu di Purbalingga, Senin, 23 April 2018.

Jokowi mengungkapkan, industri bulu mata di kota kelahiran Soedirman merupakan yang kedua terbesar di dunia. Industri kecantikan tersebut menyerap lebih dari 60 ribu pekerja lokal dan telah mengekspornya ke Jepang, Korea Selatan, hingga Amerika Serikat.

Kedatangannya yang tidak terjadwal disambut meriah ribuan karyawan yang mayoritas perempuan. Beragam gawai pun dikeluarkan untuk merekam aksi dan berswafoto dengan sang Presiden.

Sementara itu, sekitar 32 km arah timur laut dari hingar bingar tempat Jokowi berdiri, seorang buruh mitra plasma perusahan bulu mata palsu juga tengah menenun helai demi helai rambut sintetis. Di halaman rumah yang dikelilingi rimbun pepohonan, perempuan itu, Kuswati (24), duduk tekun melengkungkan punggungnya.

Berbeda dengan para tetangganya yang mayoritas pengidep (pembuat bulu mata), Kuswati terlahir tunadaksa. Ia tidak memiliki kedua lengan dan semata mengandalkan kedua kakinya untuk beraktivitas.

Duduk di kursi kayu, gadis asal RT 5 RW 3, Desa Panusupan, Kecamatan Rembang itu menjepit jarum idep di sela ibu jari dan telunjuk kaki kanannya. Sedangkan, jemari kaki kiri mengambil helai rambut dan menyimpulnya di seutas senar.

Seringkali, bulu mata buatannya tidak rapi karena sangat sulit baginya meluruskan simpul-simpul rambut. Ibunya, Purwati (48) yang kemudian turun tangan merapikan jerih payahnya. Hasilnya pun tidak seberapa, sedari pagi hingga sore hari, paling banyak dia mencetak 20 bulu mata.

Kerja jeli dan ketekunannya selama sehari penuh hanya dihargai Rp 4.000. Bagaimana lagi, seorang buruh mitra plasma perusahaan rambut palsu dibayar seperti pengrajin borongan. Tidak ada konrak kerja maupun seragam layaknya para karyawan yang berswafoto dengan Jokowi.

Meski garapannya nanti mengalir ke perusahaan induk dan barangkali dipakai oleh artis papan atas, tetapi gadis tuna daksa itu tetaplah mendapat upah paling banyak Rp 120 ribu per bulan. Dia melakoni pekerjaan itu semenjak remaja.

"Ngga papa dapatnya segitu untuk memenuhi kebutuhan khusus perempuan, dan yang penting bisa bantu keluarga," ucapnya, Senin, 30 April 2018.

 

 

 

 

Harapan Baru Kuswati

Kisah Kuswati, Sang Penenun Bulu Mata dengan Jari Kaki
Dalam sebulan, jari terampil Kuswati yang menenun bulu mata palsu hanya bisa menghasilkan Rp 120 ribu. (Liputan6.com/Galoeh Widura)

Tak kunjung mendapat harapan cerah dari ngidep, agaknya Kuswati mulai lelah. Sebenarnya, sosoknya merupakan gambaran para buruh mitra plasma lainnya, seperti ibunya yang rata-rata membuat 40 bulu mata per hari.

Harga Rp 200 per bulu mata masih sangat jauh untuk mencapai upah minimum kabupaten (UMK) Rp 1.655.200. Tetapi, sedikitnya pilihan pekerjaan memaksa mereka tetap terjun dalam rutinitas mengidep sehari-hari.

Apalagi dengan status putus sekolah, pilihan pekerjaan bagi Kuswati semakin sempit. Dia putus sekolah saat kelas 3 Sekolah Dasar. Cibiran dari teman-temannya saat kecil membuatnya mogok sekolah.

Terbatasnya kondisi fisik dan tidak adanya program jitu pemerintah bagi para difabel membuatnya mengambil keputusan untuk membantu ibunya ngidep. Perjuangannya sejak remaja mulai pupus, ia mengutarakan ingin mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

"Tidak mungkin aku ngidep terus. Pinginnya punya toko kelontong," kata Kuswati menahan nafas sambil menyapu pandangan jauh ke depan.

Niat Kuswati urung dilakukan, lantaran Purwati maupun suaminya, Slamet Sukimin (54), belum memiliki modal untuk anaknya. Entah kapan mereka bisa mewujudkan keinginan anaknya, namun sedikit-demi sedikit uang dikumpulkan agar cita-cita dapat terlaksana.

Di tengah rutinitas Kuswati, satu harapan lain mulai tersemai. Seorang laki-laki menghubunginya dari jauh, komunikasi pun intensif dilakukan keduanya.

Saat membicarakan itu, pipinya merah merona. Nampaknya, perih jerih payah Kuswati saat ngidep gugur seketika. Posisi duduk yang sebelumnya membungkuk pun mendadak tegak.

"Doakan saja ya. Kita ikhtiar, nanti hasilnya, jodoh, biar Tuhan yang menentukan," ucapnya sembari tersenyum.

Unjuk Rasa Tolak Upah Murah

Kisah Kuswati, Sang Penenun Bulu Mata dengan Jari Kaki
Demonstrasi Hari Buruh Internasional di Banyumas menuntut praktik alih daya dihilangkan. (Liputan6.com/Galoeh Widura)

Kisah kerja Kuswati mau tidak mau menjadi bagian sisi kelam pertumbuhan industri di Purbalingga. Meski Pemerintah Kabupaten menjadi percontohan dalam investasi low skill, tidak adanya payung hukum untuk plasma dan buruh mitra plasma menjadi catatan merah bagi pemerintah.

Saat peringatan Hari Buruh Internasional di Pendopo Kabupaten Purbalingga, hal itu pun tidak disinggung. Bupati Purbalingga, Tasdi melalui rilis resmi Dinkominfo Purbalingga menyoroti masalah pengupahan yang harus sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015.

"Alhamdulilah di Kabupaten Purbalingga komitmen antara pimpinan perusahaan dengan pekerja semakin lama semakin baik," ujarnya saat membuka Peringatan Hari Buruh Internasional di Pendapa Dipokusumo, Selasa, 1 Mei 2018.

Dinas Tenaga Kerja (Dinnaker) Purbalingga mengklaim 95 persen pekerja telah mendapatkan upah sesuai UMK. Kepala Disnaker Purbalingga, Gunarto mengaku belum bisa mengakomodasi semua kepentingan buruh demi menjaga iklim investasi di Purbalingga.

"Takutnya jika UMK semakin tinggi dan dilakukan secara tiba-tiba akan membuat pengusaha lari dari Purbalingga karena biaya produksi yang semakin tinggi," ujarnya.

Pada waktu yang sama, di alun-alun Purbalingga sejumlah masa dari Komite Maraton May Day 2018 menggelar aksi unjuk rasa. Mereka justru menolak PP Nomor 78 Tahun 2015 yang dibahas di Pendopo Kabupaten.

Sebagaimana penghasilan para buruh mitra plasma, para buruh pabrik reguler pun terancam mendapatkan gaji rendah. Sebab, menurut mereka, PP sangat memihak perusahaan untuk melegalkan upah murah.

Lebih lagi, masih berlakunya kontrak kerja berupa outsourcing semakin menekan hak para pekerja untuk bekerja dengan aman dan nyaman. Perwakilan Komite, Indro Lesmono mengatakan jika terjadi permasalahan pada buruh, perusahaan dan pihak outsourcing bisa saling lempar tanggung jawab.

Mereka meminta Pemerintah untuk memerhatikan kesejahteraan buruh lebih baik lagi. Baik dari segi upah, kesehatan, maupun keselamatan kerja.

"Semua tanggung jawab kesejahteraan buruh harus ditanggung pabrik dan negara," Indro menegaskan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya