Cindy Adams Ungkap Pesan Penting Bung Karno ke Rakyat Indonesia, Apa Itu?

Pesan penting itu digali oleh Cindy Adams saat wawancara dengan Bung Karno yang kemudian dituangkan dalam buku bertajuk Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Jun 2018, 01:06 WIB
Diterbitkan 01 Jun 2018, 01:06 WIB
20150820-6 Cerita Tersembunyi Seputar Soekarno-Jakarta
Sukarno atau Bung Karno saat diwawancara oleh Cindy Adams. (Foto repro sampul belakang buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams)

Liputan6.com, Ende - Ende hanyalah kota kecil di lereng perbukitan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Namun, dari sanalah Sukarno atau Bung Karno membingkai Pancasila, yang kini menjadi dasar negara Indonesia.

Hampir semua referensi menyebut bahwa Pancasila itu lahir di Ende, buah permenungan Bung Karno saat masa pembuangannya selama empat tahun (14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938) di kota kecil itu.

Selama masa pembuangan, Sukarno bergumul dalam proses kristalisasi nilai-nilai Pancasila setelah berinteraksi dengan masyarakat jelata di tempat yang dilukiskan paling terbelakang jika dibandingkan dengan beberapa tempat pembuangan Sukarno yang lain.

"Dalam segala hal maka Ende, di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Pulau Muting, Banda atau tempat yang jelek seperti itu, ke tempat-tempat mana rakyat kita diasingkan, tidak akan lebih baik daripada ini," ucap Bung Karno sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams.

Dilansir Antara, Kamis, 31 Mei 2018, jurnalis asal Amerika Serikat itu merupakan orang pertama dan bisa dibilang satu-satunya wartawati yang berhasil mewawancarai seorang Sukarno dengan sangat detail.

Tak hanya soal kenegaraan dan juga tetek bengek, tetapi juga menyerempet ke masalah pribadi salah satu founding fathers atau tokoh pendiri bangsa Indonesia tersebut.

Pada masa jayanya, Bung Karno adalah sosok yang membuat para jurnalis geregetan ingin menulis riwayat hidupnya. Namun, tak ada satu pun jurnalis yang diizinkan untuk mewawancarainya. Hanya Cindy Adams yang mampu memikat hati Sang Putra Fajar.

Tak ada alasan khusus kenapa Sukarno bisa dengan lempengnya mengizinkan jurnalis asal Amerika Serikat itu untuk mewawancarainya ketika orang lain begitu susah. Bung Karno hanya mengatakan, "Cindy adalah sosok yang baik dan tulisannya sangat jujur."

Cindy tidak menduga jika ia bisa dengan gampangnya meminta secara langsung untuk mewawancarai sosok Bapak Bangsa, Sukarno. Bahkan, Bung Karno sendiri tak terkesan menolak atau enggan untuk diwawancara.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Kenakan Peci agar Terlihat Lebih Tampan

Patung Sukarno di Kota Tua
Salah satu patung Presiden pertama RI Sukarno yang dipajang di depan Museum Fatahillah, kawasan Kota Tua, Jakarta, Rabu (15/11). Sebanyak 10 Sukarno disajikan dalam rangka Jakarta Biennale 2017. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Cindy mengawali wawancara dengan pertanyaan yang sangat ringan dan menyenangkan. Bahkan sampai bikin Bung Karno tersipu. "Kenapa Anda mengenakan peci? Apakah agar terlihat lebih tampan?" begitu tanya Cindy.

Sambil sedikit tersenyum lalu tertawa, Sukarno mengatakan, "Ya, Anda benar. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya?" kata Sukarno kepada Cindy waktu itu.

Cindy butuh waktu selama sekitar tiga tahun untuk proses penulisan buku tersebut. Ketika proses akhir hendak rampung, Bung Karno malah melarangnya untuk mencetaknya.

Alasan Bung Karno melarang Cindy untuk mencetak buku tersebut sebenarnya sangat simpel, karena Cindy hanya menulis Sukarno dari sudut pandang orang pertama, seolah-olah Sukarno sedang menuturkan ceritanya lewat buku itu.

Namun, Sang Putra Fajar akhirnya menandatangani persetujuan kepada wanita bernama lengkap Cindy Heller Adams itu untuk mencetak buku berjudul Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams (versi bahasa Indonesia, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat).

 

Pesan Penting kepada Rakyat Indonesia

Bung Karno
Patung Bung Karno di Ende (Liputan6.com/Ola Keda)

Cindy Adams pernah menanyakan sebuah pertanyaan penting kepada Bung Karno, "Apa pesan Anda kepada rakyat Indonesia?" Sukarno pun menjawab dengan jawaban yang sangat patriotik dan menggugah semangat kebangsaan.

"Menjadi negara Indonesia. Ini adalah negeri yang begitu hebat, 17 ribu pulau, dikelilingi lautan, membentang begitu luas. Tanpa semangat untuk membangun negara, mustahil Indonesia bisa berdiri hingga sekarang," ujar Bung Karno.

Cindy kemudian melukiskan jawaban Bung Karno itu adalah salah satu hal termanis yang pernah didapatkannya selama melakukan pekerjaan tersebut.

Ketika diasingkan di Ende oleh penjajah kolonial pada masa itu, Bung Karno menulis Ende sebagai sebuah kampung yang masih terbelakang, penduduk berjumlah 5.000 orang, bekerja sebagai petani dan nelayan.

"Ende, sebuah kampung nelayan telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku yang ditentukan oleh Gubernur Jenderal sebagai tempat di mana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunyai penduduk sebanyak 5.000 kepala."

"Keadaan masih terbelakang. Mereka jadi nelayan, petani kelapa, petani biasa. Hingga sekarang pun kota itu masih ketinggalan. Ia baru dapat dicapai dengan jip selama delapan jam perjalanan dari kota yang terdekat. Jalan rayanya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal, ditebas melalui hutan."

"Di musim hujan lumpurnya menjadi bungkah-bungkah. Kota yang tak memiliki telepon, tidak punya telegrap, tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi kau membawa sabun ke Wolo Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah-tengahnya berbingkah-bingkah batu."

 

Mendekati Rakyat Jelata

Rumah Pengasingan Bung Karno
Presiden Republik Indonesia pertama, Bung Karno pernah diasingkan penjajah di pulau Flores tepatnya di Kabupaten Ende pada tahun 1934 hingga 1938.

Cindy Adams menulis bahwa Sukarno mulai merefleksi dan bekerja sama dengan orang kecil. Sejak di Jawa, ia memang sudah diasingkan dari orang-orang terpelajar yang juga sering berkolusi dengan penjajah.

Sukarno pun berkeluh kesah, "Baiklah kini aku akan bekerja tanpa bantuan orang-orang terpelajar yang tolol itu. Aku akan mendekati rakyat jelata yang paling rendah. Rakyat-rakyat yang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik".

Selama masa pengasingan di Ende, Bung Karno bersahabat pula dengan para misionaris Katolik dan para imam dari Ordo SVD (Societas Verbi Divini) seperti Pastor Bouma dan Pastor Huytink. Mereka berdiskusi berbagai hal, khususnya tentang keutamaan asas Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Aku menaruh perhatian pada khotbah Yesus di atas bukit. Inspirasi Yesus menyemangati orang-orang syahid yang berjalan menuju kematiannya sambil menyanyikan Zabur pujian untuk-Nya, karena mereka tahu akan meninggalkan kerajaan tersebut."

"Akan tetapi kami akan memasuki Kerajaan Tuhan. Aku berpegang teguh pada itu. Aku membaca dan membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku," kata Bung Karno, sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams.

Pancasila yang direnungkan kemudian dibingkai dengan manis oleh Bung Karno, sesungguhnya telah menyiratkan konsep "pengakuan akan perbedaan dan kesederajatan".

 

Keberagaman di Ende

Bung Karno
Sumur tua di rumah pengasingan Bung Karno (Liputan6.com/Ola Keda)

Keragaman budaya, ras dan agama merupakan realitas dan kompleksitas dalam kehidupan. Pengalaman hidup dalam masa pembuangan di Ende, pada akhirnya dapat memberikan kesaksian hidup yang menentukan bagi perjalanan bangsa ini.

Di Sukamiskin ataupun di Bengkulu, Soekarno berjumpa dengan kelompok yang masih seiman (Islam) yang berbeda suku, budaya, dan bahasa. Di Ende, pengalaman Bung Karno diperkaya oleh adanya fakta atau realitas masyarakat yang lebih heterogen, baik ras maupun agama.

Pengalaman hidup yang nyata ini melahirkan konsep multikulturalisme dan multireligiusitas. Ini terjadi pada masa pembuangan di Ende. Konsep ini mengedepankan politik universalisme yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang sama tanpa dikotomi mayoritas-minoritas, lelaki-perempuan, warga kelas atas-warga kelas bawah, Kristen-Islam, atau Flores-Jawa.

Baginya, kesederajatan dalam perbedaan dan keanekaragaman merupakan nilai humanisme yang universal. Nilai-nilai ini dapat mempersatukan dan menjamin kelanggengan NKRI berdasarkan ideologi atau falsafah Pancasila.

Ende, kota kecil di bawah perbukitan Pulau Flores itu, menjadi tak terpisahkan dengan sejarah bangsa, karena di sinilah puncak permenungan Sukarno terjadi hingga ditemukan Pancasila.

Maka, Hari Lahir Pancasila yang akan dirayakan di Ende, pada Jumat (1/6/2018), memiliki makna historis, mengenang masa perjuangan Sukarno, juga menjadi pijakan bagi setiap anak bangsa untuk menatap masa depan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya