Agar Virus Radikalisme Tak Mewabah di Balik Jeruji Penjara

Narapidana kejahatan biasa yang sedang tertarik mendalami agama rawan terpapar radikalisme.

oleh Zainul Arifin diperbarui 06 Jun 2018, 11:32 WIB
Diterbitkan 06 Jun 2018, 11:32 WIB
Agar Virus Radikalisme Tak Mewabah di balik Jeruji Penjara
Abdurahman Thaib mengisi pengajian di pesantren dalam Lapas Lowokwaru, Malang, Jawa Timur (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Liputan6.com, Malang - Lantunan selawat berkumandang. Ratusan lelaki berpeci beranjak dari lantai beralas karpet. Mereka beriringan keluar dari aula yang dikelilingi terali besi. Siang itu, baru saja selesai pengajian di Pondok Pesantren At Taubah di Lapas Lowokwaru , Malang, Jawa Timur.

Sebanyak 491 orang jemaah pengajian itu adalah warga binaan Lapas Lowokwaru, Malang. Abdurahman Thaib turut keluar dari ruangan besar itu. Mantan narapidana atau napi teroris itu jadi pemateri pengajian tersebut. Ia banyak bercerita awal terpapar radikalisme.

"Saya hanya berbagi cerita. Agar mereka di dalam sini tak terpapar pemahaman jihad yang tak baik seperti yang pernah saya alami," ucap Abdurahman usai pengajian di Malang, Selasa, 5 Juni 2018.

Abdurahman Thaib ditangkap pada 2008. Ia merupakan pemimpin kelompok Palembang yang terhubung dengan jaringan terorisme Noordin M Top. Abdurahman Thaib divonis 12 tahun penjara dan bebas bersyarat setelah menjalani tujuh tahun masa hukuman di Lapas Merah Mata, Palembang.

Selama mengisi pengajian, ia banyak bercerita pengalamannya terpapar paham radikalisme. Mulai dari awal mula mengenal pemahaman itu hingga terlibat aksi terorisme, termasuk mendapat pemahaman yang baik tentang Islam saat di dalam Lapas Merah Mata, Palembang.

"Di dalam lapas, seorang narapidana rawan terpapar paham radikalisme. Terutama bagi mereka yang mulai tertarik mendalami ilmu agama," ujar Abdurahman.

Apalagi, kebijakan lembaga pemasyarakatan mencampur narapidana umum dengan narapidana khusus kasus terorisme. Harus ada pengenalan agama dengan baik terhadap narapidana agar bisa bersikap hati-hati terhadap ajakan dari narapidana lainnya untuk berjihad.

"Harus ada bekal yang baik di dalam penjara, sehingga ketika seseorang dihadapkan dengan ajakan jihad, bisa menyaring bagaimana yang baik. Tak keliru pemahaman,” urai Abdurahman.

Pengalamannya jadi guru berharga. Dari semula tertarik memperdalam ilmu agama dengan mengikuti semua pengajian. Semua diterimanya tanpa dicerna. Pemahaman jihad dengan berperang makin matang tatkala bertemu seorang warga Singapura.

Hingga berlanjut bertemu Noordin M Top. Abdurahman tak bisa membantah semua yang dipaparkan oleh teman barunya itu. Apalagi, bekal ilmu dari mengikuti sejumlah pengajian dirasa belum kuat. Alhasil, perlahan tapi pasti terpapar radikalisme dan turut terlibat aksi terorisme.

"Keyakinan dan paling tinggi motivasinya saat itu adalah jihad paling mulia dengan mati sahid. Saya tak bisa menyangkal karena memang pemahaman masih kurang," ujar Abdurahman.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Pemahaman Berubah

Agar Virus Radikalisme Tak Mewabah di balik Jeruji Penjara
Pengajian di dalam Lapas Lowokwaru, Malang. (Liputan6.com/Zainul Arifin),

Abdurahman mengingat pengalamannya sebagai napi teroris di dalam Lapas Merah Mata, Palembang. Penangkapan dirinya oleh Densus 88 Antiteror menjadi titik balik pemahamannya. Ini membuatnya memikirkan kembali pemahaman radikal yang didapatnya.

Penjara jadi tempatnya merenungkan ulang segalanya. Mempertanyakan ke diri sendiri tentang makna jihad dengan jalan kekerasan yang sudah ditempuhnya. Ia harus mencari jalan untuk menafsir ulang tentang konsep jihad yang sebelumnya diyakini.

"Memang ada pengajian dari lapas, tapi itu belum tentu mengubah ideologi kita dengan cepat. Butuh proses panjang," ujar Abdurahman.

Program deradikalisasi yang dilakukan dalam lapas belum menyentuh seluruhnya. Menurut Abdurahman, pendekatan yang paling efektif adalah perlakuan yang baik dari petugas. Kebijakan yang memanusiakan narapidana dengan contoh langsung dari petugas itu sendiri.

Selama di dalam lapas, pendekatan petugas yang lebih manusiawi itulah yang mengubah pola pikirnya. Saat itu, Kepala Lapas Merah Mata, Palembang, Farid Junaidi mau belajar agama kepadanya. Justru itulah yang jadi pintu masuk perubahan pemahaman bagi Abdurahman.

Farid setiap hari bisa mengamalkan membaca 1 juz Alquran, sedangkan Abdurahman malah belum pernah mengamalkan itu. Farid pun bisa memaparkan pemahaman Islam dengan dalil-dalil yang jauh lebih kuat. Alhasil, ada proses saling mengisi antarsatu dengan lainnya.

"Ternyata Pak Farid ibadahnya jauh lebih bagus dibanding saya yang mengaku mujahid. Allah membuka hati saya sedikit demi sedikit," papar Abbdurahman.

Perlakuan yang tak tepat, justru semakin memperkuat militansi napi teroris selama di penjara. Pola pendekatan terhadap napi teroris harus diubah agar berdampak pada pemahaman mereka. Jika semakin ditekan, berpeluang perlawanan semakin kuat.

"Pola pendekatan itu harus diperbaiki. Memang butuh waktu panjang, tapi perlahan saja saya yakin bisa mengubah pemahaman," tutur Abdurahman.

Relasi Sosial

Agar Virus Radikalisme Tak Mewabah di balik Jeruji Penjara
Abdurahman Thaib bersama Kalapas Lowokwaru, Malang, Farid Junaidi usai pengajian. (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Sebuah pesantren di dalam lapas bisa menjadi tempat yang baik bagi narapidana umum untuk menggali pemahaman keagamaan. Pesantren At Taubah di Lapas Lowokwaru, Malang, misalnya, harus maksimalkan untuk mengajarkan Islam sebagai agama yang damai.

"Bagi narapidana yang haus belajar agama, pesantren ini bisa dimanfaatkan untuk belajar. Ketika keluar, bisa turut andil memahamkan keberagamaan yang baik ke masyarakat," ujar Abdurahman.

Apalagi, relasi sosial mereka yang terpapar paham radikal di masyarakat selama ini sulit ditebak. Tak semua pelaku terorisme berangkat dari rendahnya interaksi sosial. Bukan berarti juga seseorang yang sudah divonis sebagai pelaku terorisme direspons berlebihan ketika pulang ke rumah.

Abdurahman sendiri bersyukur sejak bebas bersyarat sampai hari ini mendapat perlakuan berbeda dari warga di kampungnya di Palembang. Apalagi, jauh sebelum mengenal ajaran ini, hubungannya dengan masyarakat juga cukup terbuka.

"Alhamdulillah hubungan saya dengan tetangga sangat terbuka, sehingga saat ini pun tak ada perlakuan berlebihan, apa adanya saja," ucap Abdurahman.

Ia mengaku sejauh ini masih berkomunikasi dengan rekan-rekannya saat masih di kelompok Palembang pendukung jaringan Noordin M Top. Namun, komunikasi itu sebatas silaturahmi biasa, bukan tentang peta jaringan aksi terorisme yang baru.

"Saya sudah tak lagi mencari informasi soal aksi–aksi itu. Siapa kelompok sekarang setelah Jamaah Ansharut Tauhid, saya tidak tahu,” kata Abdurahman.

Ia menyebut ada pergeseran gerakan saat ini. Justru berbagai serangan bom saat ini seperti memerangi umat Islam sendiri. Tak ayal, gerakan itu justru memburukkan jihad sebenarnya. "Justru jihad seperti itu yang membuat Islam buruk di mata umat lain," ujar Abdurahman.

Menangkal Bibit Radikalisme

Agar Virus Radikalisme Tak Mewabah di balik Jeruji Penjara
Pondok Pesantren At-Taubah di dalam Lapas Lowokwaru, Malang. (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Narapidana kasus kejahatan umum rawan terpapar paham radikal. Di Lapas Lowokwaru, Malang, yang dihuni lebih dari 2.500 narapidana, dua di antaranya adalah napi teroris. Butuh penanganan khusus agar radikalisme tak menyebar ke narapidana lainnya.

Rachmatullah, seorang narapidana di Lapas Lowokwaru, Malang, tak memungkiri potensi penyebaran radikalisme di balik jeruji penjara. Apalagi, lapas dihuni oleh orang dengan beragam latar belakang berbeda.

"Dulu saat pertama kali masuk, sempat didatangi oleh seseorang narapidana yang punya pandangan radikal," kata pria yang menjalani hukuman 22 bulan penjara ini.

Diskusi antarkeduanya pun terjadi. Rachmatullah menyimpulkan, orang tersebut tak memiliki pemahaman agama yang cukup. Apalagi, tak mampu membaca Alquran dengan sempurna. Maka, diragukan orang seperti itu bisa memahami isi Alquran dengan baik.

"Kalau pemahaman agama itu tak disentuh, bisa berbahaya. Radikalisme bisa menular ke narapidana yang lain," ujar Rachmatullah yang dipercaya mengasuh Pesantren At-Taubah, Lapas Lowokwaru, Malang.

Ia sendiri memiliki latar belakang seorang santri, pernah 12 tahun mengajar di sebuah pondok pesantren sebelum terlibat persoalan hukum. Bagi Rachmatullah, seorang narapidana yang baru tergerak belajar agama ketika berada di dalam penjara rawan terpapar paham radikalisme.

"Kalau salah guru ya berbahaya. Mendatangkan mantan napi teroris yang mau mengakui kekeliruan mereka dan berbagi pengalaman itu sangat baik," ucapnya.

 

Pendekatan Jadi Kunci

Agar Virus Radikalisme Tak Mewabah di balik Jeruji Penjara
Kurikulum akan disiapkan untuk tiap pengajian di dalam Lapas Lowokwaru, Malang. (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Kepala Lapas Lowokwaru, Malang, Farid Junaidi menyebut kebijakannya mendatangkan Abdurahman Thaib sebagai upaya memberikan pemahaman pada narapidana tentang pengertian jihad yang salah.

"Kami khawatir narapidana yang baru semangat belajar agama, malah terjerumus ke pemahaman yang salah," ujar Farid.

Pria yang sebelumnya menjabat Kepala Lapas Merah Mata, Palembang ini menambahkan, tak menutup kemungkinan narapidana khusus kasus terorisme merekrut anggota ketika berada dalam lapas. Karena itu, butuh penanganan khusus agar virus radikalisme tak menular ke yang lain.

Dua napi teroris di Lapas Lowokwaru, Malang saat ini berada dalam area terbatas. Tak digabung dalam satu sel, tapi masing–masing menghuni sel sendirian. Petugas juga menerapkan mengidentifikasi masing-masing narapidana berdasarkan tamu yang mengunjunginya.

"Sosialisasi antara petugas dengan napi teroris juga berlangsung. Beri pemahaman perlahan dan kasih contoh tingkah laku kita pasti mereka terpengaruh baik," ujar Farid.

Farid pun tak segan mengajak kedua napi teroris itu belajar bersama tentang agama. Dialog kecil itu sekaligus jadi ajang untuk memasukkan pemahaman ajaran islam yang damai. Sebab, napi teroris pasti menolah ustaz yang didatangkan khusus untuk mereka.

"Tapi, kita sendiri harus sudah punya bekal yang kuat sebelum mengajak diskusi orang yang sudah terpapar radikalisme ini," kata Farid.

Sedangkan untuk Pesantren At-Taubah, Lapas Lowokwaru Malang, ada kerja sama dengan sejumlah pondok pesantren di Malang, yakni menyusun kurikulum untuk pengajian rutin di dalam lapas. Sebab, para kiai dari pesantren itu lebih memahami karakter masyarakat.

"Alhamdulillah para kiai sukacita menyambut gagasan ini. Pesantren di dalam lapas ini bisa menjadi tempat belajar agama yang baik para narapidana," ujar Farid.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya