Liputan6.com, Palangka Raya - Pawang ular bernama Rizki Ahmad meninggal dunia akibat dipatuk king cobra peliharaannya di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Minggu pagi, 8 Juli 2018. Kasusnya menyedot perhatian sejumlah pihak dan kalangan medis di Tanah Air.
Resc Indonesia, misalnya. Dengan koordinatornya, Dr dr Tri Maharani MSI, SpEM, Resc Indonesia, mereka siap memandu cara memberikan pertolongan pertama pada kasus gigitan ular yang terjadi di Indonesia. Terutama, guna mencegah akibat fatal dari kasus tersebut.
Tri menyesalkan kasus kematian yang menimpa Rizki, seorang korban gigitan ular kobra ketika menggelar atraksi bersama reptil peliharaannya itu pada Car Free Day di Kota Palangka Raya, Minggu, 8 Juli 2018, karena pertolongan pertama yang keliru.
Advertisement
Baca Juga
King cobra menyemburkan bisa yang tergolong neurotoxin post synaptik. Artinya dapat menyebar dan menyebabkan kelumpuhan otot, kegagalan napas maupun jantung, lalu bisa mengakibatkan kematian.
Jenis bisa seperti ini penanganannya harus diimobilisasi, yaitu bagian yang terkena gigit sedapat mungkin tidak digerakkan agar racun tetap tinggal di tempat sampai mendapat pertolongan medis yang benar.
Cara menolong korban gigit ular dengan jenis bisa yang menyerang saraf ini tidak boleh dengan diikat (torniquet), dikorek, atau diisap karena dikhawatirkan akan menyebar ke darah dengan lebih cepat.
"Jika menghadapi kasus gigitan ular dan memerlukan panduan, segera menghubungi nomor telepon 085334030409 agar dapat memberikan pertolongan yang tepat dan kemungkinan besar bisa menyelamatkan jiwa korban," ucap ahli Badan Kesehatan Dunia (WHO) di bidang penanganan gigitan ular kobra di Jakarta, Selasa, 10 Juli 2018, dilansir Antara.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Dokter yang Tangani Rizki Sempat Konsultasi ke Jakarta
Pada saat korban Rizki berada di ruang gawat darurat RS Doris di Palangka Raya, dokter setempat sudah berkonsultasi dengan Dr Tri yang juga Ketua Toksinologi Indonesia dan Resc Indonesia.
Bahkan, Tri sudah mengirimkan antivenom monovalen khusus untuk king cobra yang dibeli dari Thailand. Namun, kondisi pasien semakin memburuk karena venom sudah merusak organ tubuhnya dan kemudian meninggal sebelum antivenom tersebut tiba.
Untuk mengantisipasi kasus serupa di masa mendatang, tim Resc Indonesia pada 13 Juli 2018 ke Palangka Raya guna memberikan pelatihan singkat tentang manajemen gigitan ular pada komunitas reptil, para medis, dan kalangan medis di sana dengan memakai panduan WHO 2016 untuk awam dan yang tenaga medis untuk penanganan gigitan ular.
Sejauh ini, pemerintah Indonesia belum menyediakan antivenom atau antibisa ular jenis monovalen king cobra. Yang ada hanya bungarus fasciatus untuk ular welang, kobra juga jenis coloselesma, naja spurtatix untuk ular tanah.
"Saran saya kalau ada kejadian gigitan king kobra segera lakukan imobilisasi, jangan bergerak lalu membawa korban ke rumah sakit terdekat dan hubungi Resc Indonesia untuk bantuan identifikasi dan advis terapi maupun antivenomnya," ujar Tri.
Dia juga menganjurkan semua pemain atraksi ular agar mengikuti pelatihan dari Resc Indonesia mengenani penanganan kasus gigitan ular khususnya king cobra, mengingat kejadian gigitan sangat banyak. Bahkan, tahun 2015, terjadi 40 kematian karena kurang pengetahuan mengenai penanganannya.
Advertisement