Jember - Lain Lalu Muhammad Zohri, lain Mafazi Ikhwan Dhandy Hibatulloh. Bocah 13 tahun asal Jember ini juga menorehkan prestasi tingkat internasional di bidang matematika. Fafa, panggilan akrab Mafazi berhasil meraih juara tiga olimpiade sains internasional bidang matematika (IMC), di Bulgares, Bulgaria, pekan lalu.
Pantauan JawaPos.com, penampilan bocah itu sederhana, pendiam, ceria, tetapi penuh potensi. Fafa mampu bersaing dengan 28 finalis dari berbagai negara dalam IMC (International Mathematics Competition) yang berlangsung seminggu di negara Eropa Timur itu.
Bersama 12 peserta lainnya dari Indonesia, Fafa termasuk bagian dari sedikit anak bangsa yang mampu berkompetisi di bidang sains hingga ke tingkat internasional. Juga merupakan sedikit dari pelajar muslim yang siap bersaing dengan peserta umumnya didominasi nonmuslim.
Advertisement
Baca Juga
Termasuk dari Indonesia sendiri. Bayangkan saja, dari 12 finalis Indonesia yang mengikuti event internasional tersebut, hanya tiga siswa saja yang berasal dari keluarga muslim. "Kami patut bangga dan bersyukur atas keberhasilan ini," ujar Ari Kurniawan, pembina siswa berprestasi lembaga pendidikan Alfurqon Jember.
Memang, kemenangan Fafa dalam kejuaraan internasional tersebut bukan kali pertama diikuti SD maupun SMP Alfurqon Jember. Sejak diselenggarakan olimpiade sains tingkat dunia tujuh tahun lalu, sekolah ini sudah enam kali berhasil mengirimkan delegasinya. Antara lain di Bulgaria (dua kali), Singapura, Korea, Thailand, Taiwan, dan China.
Itu berarti, setiap tahun digelarnya olimpiade, Alfurqon selalu lolos seleksi tingkat nasional, dan berlanjut ke jenjang internasional. Itu baru satu-satunya sekolah yang terus-menerus mengikuti ajang internasional tersebut. "Sekolah lain biasanya cuma sekali atau maksimal dua kali," imbuh Ari Kurniawan.
Untuk mengikuti lomba bergengsi itu, kata Ari, diakui memang tidak mudah. Seleksinya dimulai tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional. Sebelum maju ke tingkat internasional, para finalis biasanya digembleng (dikarantina) secara khusus, dengan jadwal yang amat ketat dan selektif.
Para pembinanya biasanya diambil dari akademisi perguruan tinggi terkenal, termasuk UI, ITB, Trisakti, dan lain-lain. Mereka digembleng berhari-hari mulai pagi hingga sore, untuk mengerjakan beragam soal dengan waktu yang amat ketat.
Demikian pula dengan Fafa, kata Ari, yang juga ayahnya itu, anak satu-satunya itu tergolong pendiam dan penurut. Dia hampir tak pernah menolak tugas mengerjakan soal-soal yang diprogramkan.
"Tetapi, yang namanya anak-anak, duduk setengah jam saja sudah bosan, gelisah, dan ingin jalan-jalan saja. Untungnya dia sabar dan mengikuti arahan pembinanya," jelas, Ari. Padahal, sebagai anak tunggal, lanjut Ari, biasanya sering manja dan selalu ingin didampingi orangtuanya.
Baca berita menarik lainnya dari JawaPos.com di sini.
Belum Ada Dukungan Pemerintah
Prestasi akademik Fafa, kata Ari, memang sudah terlihat sejak kecil. Mulai dari TK hingga SD kelas enam selalu peringkat satu. Dia juga gemar berhitung dan pelajaran IPA lainnya. Makanya, setiap ada lomba sains dan matematika, dia selalu dikirim sebagai delegasi mewakili sekolahnya. Dan, alhamdulilah selalu menang.
Keberhasilannya menyabet medali perunggu olimpiade matematika internasional itu, juga tak lepas dari peran guru, pembina, dan pihak sekolah Alfurqon. "Saya sangat mengapresiasi setiap ada kegiatan anak-anak, terutama bidang akademik," tutur Abdurrahman Baktir, anggota Yayasan Alfurqon, Jember.
Selain mengawal Fafa ke ajang kompetisi internasional, kata Abdul Kholiq, Kepala SD Alfurqon Jember, pihaknya pekan ini juga sedang mendampingi dua siswa lainnya mengikuti kompetisi serupa tingkat nasional. Yakni ajang kompetisi nasional Olimpiade Matematika dan Sains Indonesia (OMSI) ke-3, yang dilaksanakan di Auditorium Toyib Hadiwijaya, Institut Pertanian Bogor (IPB).
Dua siswa tersebut adalah Naistra Fathan Wirdiyan (11) (bidang matematika), dan Nauroh Salsabila (13) (bidang IPA), mewakili kategori SMP.
Keduanya bersaing ketat dengan 400 siswa brilian lainnya se-Indonesia, di Padang, Sumatera Barat. Malah, Naistra Fathan Wirdiyan, berhasil menyabet medali emas, terbaik bidang matematika, sekaligus meraih nilai tertinggi (140), sehingga berhak menjadi juara umum.
Sedangkan Reyhansyah berhasil meraih medali perunggu. "Pokoknya kalau musim kompetisi sains, kami paling sibuk mengawal anak-anak,” imbuh Kholiq.
Dengan masuknya Iyan, sapaan akrab Naistra, siswa kelas lima itu, berarti siswanya segera berlaga di ajang internasional kembali, yang kemungkinan berlangsung di Afrika. Kedua siswa tersebut sudah barang tentu telah melewati kompetisi yang amat ketat, mulai tingkat kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi, dan nasional.
Di Alfurqon, kata Kholiq, seleksi siswa berprestasi sudah dimulai sejak awal mereka masuk sekolah. Bagi siswa yang dianggap memiliki potensi akademik maupun nonakademik, akan mendapat perhatian, pembinaan, hingga diikutkan lomba. Bahkan, mereka sudah disiapkan tim pembina khusus, antara lain ditangani Ari Kurniawan tersebut. "Jadi, kami hanya nyiapkan materi SDM. Pembinaan selanjutnya diurus oleh yayasan," imbuhnya.
Menyinggung tentang perhatian pemerintah (pemda) terhadap prestasi anak-anaknya itu, baik Kholiq maupun Abdurahman Baktir, pengurus Yayasan Alfurqon, sedikit kecewa. "Sayang, beliau-beliau masih belum ada respons. Kami pernah ingin ketemu dan mengundang bupati, tetapi belum direspons. Kami hanya disuruh menyetorkan pialanya saja ke pemda," ujarnya.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement