Musim Hujan Mundur, Petani Cilacap Diimbau Bersabar

BMKG mengimbau agar petani tadah hujan di Jateng Selatan menunda musim tanam meski wilayahnya sudah berkali-kali diguyur hujan

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 23 Sep 2018, 11:01 WIB
Diterbitkan 23 Sep 2018, 11:01 WIB
Ilustrasi - Petani SRI Organik di Cipari Kabupaten Cilacap menanam dengan umur bibit 12 hari. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ilustrasi - Petani SRI Organik di Cipari Kabupaten Cilacap menanam dengan umur bibit 12 hari. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Dalam kalender Pranata mangsa atau musim masyarakat Jawa, September disebut sebagai Mangsa Ketelu atau ketiga. Normalnya, mangsa Ketelu adalah puncak musim kemarau sebelum Oktober yang disebut musim Kapat.

Mangsa Kapat bagi petani adalah pertanda untuk memulai tanam di ladang, yang disebut sebagai Manja atau menanam dengan cara menugal. Bagi petani, Oktober adalah berkah. Di bulan ini, hujan turun secara konstan.

Tetapi, anomali cuaca terjadi pada September 2018. Di awal September lalu, hujan turun di berbagai wilayah di Jawa Tengah bagian selatan. Pun, pada dasarian kedua hingga awal dasarian ketiga September ini.

Di sejumlah wilayah, seperti Pekuncen Kabupaten Banyumas misalnya, pada 19 September 2018 kemaren, hujan deras turun sepanjang sore hingga nyaris tengah malam. Hujan cukup deras juga turun di Cilongok dan Purwokerto.

Kondisi ini juga terjadi di Cilacap, Kebumen, dan wilayah Jawa Tengah bagian selatan lainnya. Pendek kata, hujan terjadi nyaris merata dan bikin bungah petani.

Namun, ternyata, hujan dasarian ketiga September ini bukan lantaran musim penghujan datang lebih cepat dari biasanya. Hujan di bulan September lebih banyak dipengaruhi oleh Madden-Julian Oscillation (MJO).

Prakirawan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pos Pengamatan Cilacap, Deas Rifai mengatakan, fenomena MJO ini menyebabkan terkonsentrasinya awan yang lantas menyebabkan hujan di sejumlah wilayah.

Namun, ia menyebut pengaruh MJO hanya insidental atau sementara. Hujan akan berhenti dalam beberapa hari.

Setelah itu, wilayah Jateng selatan akan kembali kering lantaran masih berada di musim kemarau. Petani pun belum bisa memulai musim tanam.

"Namanya fenomena MJO, dia bergerak dan menyebabkan pertumbuhan awan dan menambah jumlah curah hujan. Tetapi, dia hanya harian saja. Fenomena ini hanya tiga atau empat hari," kata Deas, Jumat, 21 September 2018.

Kapan Waktu Tepat Musim Tanam?

Petugas BMKG tengah mengotrol peralatan pemantau cuaca. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Petugas BMKG tengah mengotrol peralatan pemantau cuaca. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Deas menjelaskan, musim kemarau bukan berarti musim tanpa hujan sama sekali. Di musim kemarau tetap ada hujan, meski biasanya intensitasnya ringan dan tak merata.

Adapun musim penghujan Jawa Tengah bagian selatan diperkirakan baru akan tiba di area ini pada akhir Oktober dan November. Karenanya, BMKG mengimbau agar petani tadah hujan di Jateng Selatan menunda musim tanam meski wilayahnya sudah berkali-kali diguyur hujan.

"Untuk petani sendiri, statemen kita, mundur ya. (Karena) untuk awal musim penghujannya mundur sekitar November," dia menegaskan.

Tentu imbauan ini adalah untuk para petani di kawasan tadah hujan. Adapun wilayah yang teraliri irigasi teknis tak terlampau berpengaruh.

Deas mengemukakan, selain fenomena MJO, curah hujan di beberapa wilayah juga dipengaruhi oleh faktor lokal. Di antaranya, kontur wilayah dan ketinggian wilayah.

Di luar itu, cuaca juga dipengaruhi faktor regional. Antara lain, melemahnya badai Mangkhut yang berpengaruh terhadap pola angin.

Namun, dia menyebut pola angin ini tak berpengaruh siginifikan terhadap cuaca lokal di Jateng selatan. Pengaruh hanya pada pola anginnya saja.

"Sekarang angin yang terbawa dari daratan Australia masih kering. Permukaan laut juga masih dingin. Jadi musim hujan belum tiba," dia menambahkan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya