Liputan6.com, Banyumas - Keputusan pemerintah untuk impor beras salah satunya dipengaruhi ketersediaan stok beras Bulog yang disebut minim dan dalam kondisi tak aman untuk menjamin kebutuhan nasional.
Alih-alih menggenjot serapan gabah dan beras petani, Bulog tampaknya malah enggan membeli beras dalam jumlah banyak. Di Banyumas, misalnya, meski serapan beras belum memenuhi target, Bulog seolah justru mengerem serapan beras.
Pada separuh akhir 2018 ini, Bulog Sub-Divre IV Banyumas ditarget menyerap sebanyak 45 ribu ton. Hingga September ini, Bulog baru menyerap sekitar 25 ribu ton atau sekitar 50 persennya saja.
Advertisement
Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang akan berlaku efektif mulai Oktober 2018 nanti membuat Bulog berpikir ulang untuk terus menggenjot serapan beras dan gabah petani. Pasalnya, bisa dipastikan program ini akan membuat Bulog kesulitan menjual beras secara rutin dalam jumlah besar.
Bulog menerima beras hanya dengan harga Rp 8.030 per kilogram. Itu berarti turun dari semula Rp 8.250 per kilogram.
Baca Juga
Harga Rp 8.030 per kilogram adalah harga fleksibilitas 10 persen dari harga ketetapan pemerintah yang Rp 7.300 per kilogram. Sebelumnya, Bulog menerapkan fleksibilitas 20 persen.
Kepala Bulog Sub-Divre IV Banyumas, Sony Supriyadi, mengakui kini Bulog Banyumas tak menyerap beras dengan agresif. Alasannya, Bulog kehilangan satu jalur pemasaran pasti ada Oktober nanti, dengan berhentinya distribusi beras sejahtera (rastra) ke empat kabupaten wilayahnya.
Program rastra ini berhenti dan diganti dengan program Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT). Dalam kebijakannya, penyelenggara atau penerima BPNT tak diwajibkan membeli beras dari Bulog.
"Yang jadi pokok masalah itu juga program pemerintah Bantuan Pangan Non Tunai atau BPNT, ada digariskan tidak harus mengambil dari Bulog," katanya, Senin, 24 September 2018.
Dengan berhentinya program rastra, Bulog pun kehilangan satu jalur pemasaran rutin. Jumlahnya tak main-main. Untuk menyuplai rastra empat kabupaten, Bulog Banyumas mesti menyediakan sebanyak 3.000 ton per bulan.
“Wilayahnya Banyumas, Banjarnegara, Cilacap, dan Purbalingga,” ujarnya.
Bulog Banyumas Gagal Operasi Pasar September
Dia menerangkan, September ini adalah bulan terakhir penyaluran rastra rutin ini. Itu pun, surat perintah (SP) distribusi belum diterima Bulog Banyumas.
Mempertimbangkan kondisi ini, Bulog Banyumas pun akan mengerem serapan beras petani. Pasalnya, di gudang Bulog saat ini sudah ada kisaran 17 ribu ton beras yang diperkirakan cukup untuk menjaga stabilitas harga beras di pasar hingga enam bulan ke depan.
Lesunya distribusi beras pun tampak dari operasi pasar yang dijadwalkan dimulai pada September ini. Pasalnya, harga beras di pasaran masih lebih rendah dari ketetapan harga beras untuk operasi pasar.
Pengusaha penggilingan padi menyuplai pedagang dengan harga Rp 8.200 per kilogram. Sedangkan, Bulog rencananya akan melakukan operasi pasar dengan harga Rp 8.500 per kilogram.
"Rencananya harga Rp 8.500 dijual ke konsumen dengan harga Rp 9.000 sampai Rp 9.500, ya ada margin sekitar Rp 1.000 untuk pedagang. Masih ditunda operasi pasarnya," dia mengungkapkan.
Menurut Sony, jika Bulog terus agresif menyerap beras, risikonya beras rusak lantaran disimpan dalam waktu yang lama. Padahal, pasar menghendaki beras berkualitas bagus. Menurut dia, langkah untuk menggenjot serapan sangat berisiko.
"Makanya, mungkin sebagian teman khawatir, dalam artian, kita tetap menyerap, tetapi dengan stok yang ada kita juga harus berpikir ulang. Mau dikemanakan?" ujarnya.
Meski demikian, Sony mengklaim Bulog Banyumas tetap rutin menyerap beras meski dalam jumlah tak signifikan. Tiap hari masuk antara 30-50 ton beras medium dari kontraktor.
Meski begitu, ia pun menjamin bahwa stok Bulog aman. Pun dengan ketersediaan gabah dan beras di tingkat petani dan pedagang beras.
"Stok aman ketahanan pangan masing-masing daerah minimal 100 ton per bulan. Berarti empat kabupaten 400 ton. Kita jauh melampaui itu," ujarnya.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement