Liputan6.com, Yogyakarta Dipa Nusantara Aidit, atau yang dikenal sebagai DN Aidit, merupakan salah satu tokoh di Indonesia yang hidup dan pemikirannya jarang diceritakan dalam forum resmi maupun institusi pendidikan. Keterlibatan Aidit dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) membuat namanya menjadi terkesan menyeramkan untuk dibicarakan.
Padahal, Aidit juga memiliki sejumlah jejak sejarah dan pemikiran yang tidak bisa dianggap remeh untuk membangun bangsa di awal kemerdekaan. Aidit adalah salah satu tokoh yang mewarnai perpolitikan Indonesia pada kisaran 1950-1960-an. Pemikiran tokoh komunis ini dituangkan lewat buku-bukunya yang sekarang sudah banyak dimusnahkan.
Pertama, Aidit punya peran besar dalam rapat raksasa di Lapangan Ikada. Perhelatan yang dilakukan satu bulan setelah proklamasi, tepatnya, 19 September 1945, ternyata tidak semulus yang dibayangkan. Sukarno tidak begitu saja datang dan berpidato di hadapan rakyatnya.
Advertisement
Baca Juga
"Waktu itu ada kekhawatiran dari Sukarno, Jepang akan datang saat rapat raksasa dilakukan di Ikada," ujar Muhidin M Dahlan, budayawan sekaligus aktivis literasi, beberapa waktu lalu di Yogyakarta.
Hal itu membuat Sukarno tidak kunjung datang dan naik ke podium. Dampaknya, ribuan rakyat yang sudah berkumpul resah dan gerah menanti kedatangan sang proklamator.
Sukarno masih sibuk dibujuk untuk segera hadir dan butuh waktu yang tidak sebentar. Saat itu DN Aidit naik ke atas panggung dan mengajak mereka bernyanyi serta berteriak yel-yel kemerdekaan.
"Tujuannya, berusaha menenangkan massa yang mulai ribut karena acara tidak segera dimulai," ucap Muhidin.
Setelah massa kondusif, barulah Sukarno naik ke podium dan berpidato di lapangan yang sekarang berlokasi di sebelah selatan Monas tersebut.
Rapat Lapangan Ikada berjalan dan berhasil mempertemukan pemerintah dengan rakyatnya. Berkat DN Aidit, kewibawaan pemerintah dan dukungan rakyat terhadap kemerdekaan tetap terjaga.
Akrab dengan Sukarno
Kedua, hubungan Aidit dan Sukarno cukup erat. Relasi keduanya serupa senior dan junior. Pemimpin partai politik komunis di Indonesia itu menjadi murid kursus politik Sukarno. Aidit muda kerap mengantar jemput Sukarno dalam kursus itu.
"Wajar jika Aidit sebagai kader muda mengambil alih sementara untuk membuat situasi di Ikada kondusif," kata Muhidin.
Ketiga, Aidit juga pernah menjadi loper koran. Hal itu dilakukan setelah koran Harian Rakyat, milik partainya, dibredel oleh pemerintah. Koran yang terbit pertama kali pada 31 Januari 1951 tersebut adalah salah satu media massa Indonesia pada periode 1950-1965. Sepanjang perjalanannya, Harian Rakyat yang semula bernama Suara Rakyat sudah dibredel sebanyak sembilan kali.
"Saat menjadi loper koran, Aidit menjabat sebagai ketua partai, dan tujuannya ketika itu bukan pencitraan atau kampanye karena memang sedang tidak musim kampanye," ujarnya.
Dia bercerita, pada 2 November 1959, seorang nona mendatangi Aidit yang sedang menjadi loper koran di depan pasar Stasiun Senen. Perempuan itu heran melihat Aidit dan bertanya mengapa Bung (Aidit) berjualan koran. Pertanyaan itu dijawab Aidit, pembredelan Harian Rakyat satu pekan mengakibatkan kerugian, maka rakyat membela hariannya.
Menurut Muhidin, tindakan terjun langsung menjadi loper koran yang dilakukan Aidit menunjukkan tokoh itu berpolitik setiap hari bersama rakyat, bukan hanya saat atau menjelang pemilu.
Koran memiliki tempat yang spesial di mata partai yang dipimpin Aidit. Bahkan, Aidit pernah menegaskan dalam salah satu pidatonya, tidak boleh ada konferensi partai tingkat paling atas sampai bawah yang tidak membicarakan koran Harian Rakyat, terutama soal mengintensifkan penyebaran dan pemasukannya.
Harian Rakyat bergantung pada oplah dan penderitaan pekerja koran sama dengan penderitaan komunis lainnya, yakni berada di barisan depan musuh rakyat.
Keempat, Aidit berambisi untuk menjadi pemenang pemilu. Namun, hal itu tidak pernah terwujud karena terjadi peristiwa G30S PKI. Sekalipun dia sudah menghitung kekuatan lawan partainya, seperti PNI dan Masyumi yang kian lemah.
"Aidit seharusnya diperlihatkan seperti ini, dia tidak menakutkan, jangan diperlihatkan seperti hantu, karena semakin terbuka untuk didiskusikan, maka kritiknya pun bisa bermunculan di segala lini," ucap Muhidin.
Advertisement
Penelitian soal Aidit Dibukukan
Satriono Prio Utomo, seorang guru sejarah SMA Muhammadiyah 11 Jakarta, membukukan skripsinya di Universitas Negeri Jakarta. Buku berjudul Aidit, Leninisme-Marxisme dan Revolusi Indonesia. Buku setebal 150 halaman itu dibuat berdasarkan tugas akhir yang diselesaikannya pada 2015.
"Selama ini buku sejarah lebih banyak membicarakan Soekarno, founding father, tetapi jarang yang menulis soal tokoh lainnya," ujar Satrio.
Ia menilai, gagasan Aidit merupakan perpaduan Soekarno dan Tan Malaka. Secara kontekstual, Aidit mengkritik kapitalisme di Indonesia belum ada karena keuntungan dibawa ke Amerika dan Eropa.
Aidit juga beranggapan komunisme tidak perlu ditakuti. Sebab, cara berpikir bangsa Indonesia masih setengah kolonial dan feodal, sehingga komunisme sulit masuk.
Kolonial ditunjukkan melalui sejarah panjang penjajahan bangsa asing di Indonesia, sedangkan feodal diperlihatkan dengan masih banyaknya kerajaan yang menjadi simbol-simbol daerah di Indonesia.
Meskipun menulis biografi dan pemikiran seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia yang eksis pascakemerdekaan, Satriyo menekankan ia bukan penganut komunisme.
"Saya tidak punya kaitan dengan keluarga maupun sejarah Aidit, tetapi saya menulis untuk menjembatani pertanyaan-pertanyaan yang kerap muncul di kelas karena ada garis sejarah yang putus," ucapnya.
Saksikan video pilihan berikut ini: