Liputan6.com, Aceh - "Tem o item...m Engingku ine…e," syair pembuka terdengar begitu syahdu. Seorang penari keluar dari arah kiri, menuju ke tengah dengan kaki berjinjit.
Tubuh penari tampak membungkuk, bahunya maju mundur, lengan timbul tenggelam dalam lipatan kain bersulam kerawang Gayo yang menutupi punggung. Gerakannya rampak seirama tabuhan rebana.
Pada satu titik penari mengempas dan mengibaskan kain ke udara seperti orang memutar adonan pizza. Terkadang penari berlari kecil sambil menukik bak seekor elang yang tengah bermanuver di udara.
Advertisement
Baca Juga
Penari bergerak mendekat, mengitari, lalu memberi sembah. Kiranya dia hendak merayu seorang penari lain yang tengah duduk bersimpuh agar mengikuti gerakannya, lalu keduanya bergerak bersamaan, padu padan dalam hentak estetis berirama.
Gerakan-gerakan di atas adalah gerakan tari guel. Tarian ini merupakan tarian tradisional yang berasal dari Tanah Gayo, dan dapat kita temukan di Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues.
Tari guel dulu adalah tarian yang sakral. Pagelaran tari guel tidak boleh sembarang tempat, panggung atau pentas, karena kesakralannya.
Namun, penampilan tari guel saat ini sangat mudah ditemukan pada acara-acara formal seperti menyambut tamu agung, hingga pernikahan. Tari guel mengalami modifikasi atau penambahan-penambahan, baik gerak, syair, hingga jumlah penari, seiring perkembangannya.
Syair yang mengiringi tabuhan rebana serta gerak yang menyepadan, melahirkan nuansa magis yang begitu kental. Tari guel menggubah sebuah gerak filosofi yang berkait erat dengan alam kehidupan.
Adat dan budaya Gayo melekat di dalamnya. Agama adalah pendulum yang membuat guel tak bisa terpisah dari hal satu ini, sebagaimana guel bermula dari salam, begitu pun para penari sadar akan sifat manusia yang berpantang angkuh; berserah seluruh.
Penjiwaan penari guel tentang etik kehidupan tertinggi itu mengaktual dalam gerak simbolik yang mereka tampilkan. Maka, sebenarnya tidak sembarang orang boleh menarikan guel, karena, mereka yang berhati bersih dan berjiwa tulus saja yang layak.
Cerita Rakyat di Balik Tari Guel
Tari guel berkait erat dengan foklor atau cerita rakyat 'Sengeda dan Bener Merie'. Mimpi Sengeda membawanya pada sebuah pertemuan dengan seekor gajah putih, yang konon adalah jelmaan abangnya, Bener Merie.
Skema Sengeda menaklukkan hati Sang gajah putih yang akhirnya berbalas menjadi puncak tarian ini. Guel berakhir saat gajah putih bersedia mengikuti Sengeda ke Kesultanan Aceh Darussalam sebagai persembahan untuk putri sultan yang tengah mengidam-idamkanya.
Seluruh penduduk kampung yang terlalui rombongan menepungtawari gajah putih sebagai wujud rasa syukur dan gembira. Belakangan, prosesi tepung tawar tampil dalam gerak cincang nangka, yang pelakunya adalah penari guel perempuan.
Struktur Tari Guel
Tari guel terbagi dalam 4 babak. Munatap menjadi awal babak, menggambarkan bentuk persuasi Sengeda yang hendak menaklukkan hati gajah putih, lalu berlanjut ke babak redep yang menggambarkan kesediaan gajah putih menuruti keinginan Sengeda.
Ketibung dan cincang nangka menjadi dua babak pengakhiran. Dua babak yang menggambarkan semakin kuatnya keinginan gajah putih mengikuti Sengeda, hingga akhirnya Sengeda berhasil menggiring gajah putih ke Kesultanan Aceh Darussalam.
"Drama antara Sengeda dan gajah putih yang hadir dalam tari guel, sejatinya pesan, manusia bisa hidup saling berdampingan dan harmonis dengan alam, layaknya Sengeda menaklukkan hati gajah putih yang lalu berjalan beriringan. Asal, tak ada tendesi menghancurkan seperti kebiasaan manusia, saat ini," kata seorang penikmat budaya Gayo asal Meulaboh, S. Yadi Machmad (30), kepada Liputan6.com, Sabtu pagi (23/2/2019).
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement