Liputan6.com, Pekanbaru - Demonstrasi mendesak Pemerintah Provinsi Riau menuntaskan kebakaran hutan dan lahan masih terus berlangsung meski kabut asap di Pekanbaru sudah menipis. Kali ini dilakukan puluhan emak-emak dari berbagai unsur di depan Kantor Gubernur Riau, Jalan Jenderal Sudirman.
Tidak hanya membawa kertas dan spanduk bertuliskan tuntutan, emak-emak ini juga membawa perangkat dapur dalam demonstrasi kabut asap ini. Di antaranya, periuk, kuali, sendok penggorengan dan penyaringan.
Advertisement
Baca Juga
Dalam orasinya, seorang massa aksi menyebut kabut asap pada Selasa petang, 24 September 2019, memang tidak separah beberapa pekan lalu. Namun ratusan ribu warga yang terpapar kabut asap butuh rehabilitasi.
"Korban kabut asap masih ada, ada anak-anak hingga orang dewasa. Ini butuh rehabilitasi jangka panjang karena dampak asap dampaknya juga panjang," jelas koordinator umum aksi, Helda Kasmi.
Menurut Helda, pemerintah jangan hanya menangani korban asap dengan membagikan masker dan vitamin. Korban asap juga butuh lokasi ataupun tempat untuk rehabilitasi dengan pengobatan medis mendalam.
"Dampak asap bagi anak-anak dan cucu-cucu kami itu jangka panjang, efeknya akan timbul ketika mereka dewasa nanti," sebut Helda.
Selain rehabilitasi, puluhan emak-emak ini meminta Gubernur Riau Syamsuar memberantas monopoli penguasaan lahan oleh segelintir perusaan hutan tanaman industri dan perkebunan sawit. Penguasaan lahan disebutnya sebagai pemicu Karhutla.
Menurut Helda, perusahaan menjadi penyumbang kabut asap karena membuka lahan dengan cara ekonomis. Perusahaan dinilai membuka lahan menggunakan cara tradisional agar tidak mengeluarkan biaya lebih.
"Dengan membakar, mereka mendapatkan keuntungan lebih setelah menanam dan memanen di lahannya," ucap Helda.
Helda meminta pemerintah dan penegak hukum tidak mengkambinghitamkan petani kecil untuk melindungi perusahaan. Petani bukanlah penyebab bencana kabut asap karena tidak punya lahan puluhan hektare.
"Sudah ada ratusan orang ditangkap di Sumatra dan Kalimantan, mereka disebut pembakar lahan. Mereka ini cuma petani, sementara perusahaan yang lahannya dibakar tidak ditindak," tegas Helda.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Pikirkan Nasib Masa Depan Anak
Aksi ini dikawal puluhan personel polisi wanita dari Polresta Pekanbaru dan sejumlah Polsek. Hanya terdapat beberapa polisi pria yang mengatur lalu lintas karena seluruh massa aksi merupakan emak-emak.
Selain Helda, satu persatu massa aksi menyampaikan penderitaannya selama kabut asap terjadi. Satu di antaranya tak bisa melihat anak-anak riang bermain karena hanya dalam rumah.
"Anak-anak selalu minta keluar bermain, tapi itu harus dibatasi karena di luar ada asap. Kebahagiaan anak kami terenggut oleh kabut asap," ucap seorang pendemo.
Pendemo lainnya, Rini, menjelaskan banyak anak-anak mengalami sesak napas secara mendadak karena menghirup kabut asap. Kebanyakan dilarikan ke rumah sakit dan mendapat perawatan serius.
"Bagaimana nasib anak-anak ke depannya kalau dari kecil paru-parunya dan otaknya sudah terpapar kabut asap," jelas Rini.
Dia menjelaskan, pemerintah selalu terlambat dibanding gerakan para pembakar lahan. Pemerintah terlambat mengantisipasi dan selalu kerepotan ketika kabut asap makin pekat.
"Sudah 22 tahun Riau terjadi Karhutla, tahun ini hampir sama parahnya dengan tahun 2015 karena pemerintah terlambat mengantisipasi," terang Rini.
Selain itu, Rini mendesak pemerintah menindak perusahaan biang asap. Menurutnya, adalah bohong besar ketika pemerintah menyatakan perusahaan tidak membakar untuk persiapan kebun.
"Pak Gubernur, dengarkan suara emak-emak yang anak-anaknya menjadi korban kabut asap," kata Rini.
Advertisement