Liputan6.com, Kudus - Sosok ini tak banyak dikenal orang. Namanya, Kartono. Kalau pun ada yang tahu, ia lebih dikenal sebagai kakak kandung Raden Ayu (R.Ay) Kartini, seorang tokoh emansipasi masa lalu.
Namanya memang tak sepopuler sang adik kandung. Meski demikian, banyak pula yang mengakui Kartono seorang tokoh hebat pada masa itu.
Sebuah buku berjudul "Sedjarah Kebangsaan" karya Moekri Siswojohardjono menyinggung beberapa tokoh dari masa ke masa. Salah satunya adalah Kartono atau Raden Mas Panji (R.M.P.) Sosrokartono yang lahir di Pelemkerep, Mayong, Jepara, tanggal 10 April 1877.
Advertisement
Saat berumur 21 tahun, Kartono dikenal sebagai pribumi pertama yang bisa kuliah di luar Hindia-Belanda, Leiden. Selain itu, ia dikenal sebagai sosok yang cerdas dan kesayangan para dosen. Kartono tercatat sebagai Poliglot pertama Hindia Belanda, lantaran menguasai 27 bahasa asing dan 10 bahasa Nusantara.
Baca Juga
Liputan6.com merangkum sejumlah sumber. Kartono seorang pangeran yang tampan, pandai, gaul, anak orang kaya, terkenal dan juga merakyat.
Perempuan Eropa pada masanya menyebut Kartono dengan si Sosrokartono, "De Mooie Sos" (Sos yang ganteng). Bule Eropa dan Amerika menyebut dia dengan hormat, 'De Javanese Prins' (Pangeran Jawa). Pribumi memanggil Kartono saja.
Saat umurnya 40 tahun, Koran Amerika 'The New York Herald', memuat artikel Prancis sejumlah 27 kata Kartono dalam empat bahasa (Inggris, Spanyol, Rusia, Perancis). Sebagai wartawan perang, Kartono diiming-imingi pangkat mayor oleh sekutu. Akan tetapi Kartono menolak untuk membawa senjata.
"Saya tak nyerang orang, karena itu saya pun tak akan diserang. jadi apa perlunya bawa senjata?" kata Kartono berdiplomasi, dikutip dari buku 'Sedjarah Kebangsaan'.
Saat menjadi wartawan itu pula, Kartono sempat menggemparkan Eropa dan Amerika dengan dengan artikelnya mengenai perundingan Jerman dan Perancis. Ia membocorkan perundingan yang begitu dirahasiakan, tertutup dan dilakukan di sebuah gerbong kereta api di tengah hutan.
Â
Menjadi Penerjemah Tunggal Liga Bangsa-Bangsa
Pada saat berumur 42 tahun, Kartono disebutkan menjadi penerjemah tunggal di Liga Bangsa-Bangsa. Pada waktu berusia 44 tahun, Kartono diangkat menjadi ketua penterjemah untuk segala bahasa, mengalahkan para poliglot bule Eropa-Amerika.
Pada tahun 1925, Kartono pulang ke tanah air. Saat itu, umurnya 48 tahun. Tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara mengangkatnya menjadi kepala sekolah menengah di kota Bandung, Jawa Barat.
Ada kejadian ganjil sepulangnya ke Indonesia. Rakyat berjejal menemui Kartono untuk meminta air dan doa.
Anehnya, banyak yang sembuh dan antrean pun makin banyak termasuk bule-bule Eropa. Akhirnya Kartono mendirikan klinik yang diberi nama Klinik Darussalam.
Kartono wafat di Bandung pada tahun 1951 saat berusia 74 tahun. Ia dikebumikan di makam Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah di samping makam kedua orang tuanya, Nyai Ngasirah dan R.M.A. Sosroningrat.
Semasa hidupnya Kartono tak punya apa-apa. Rumah pun dia mengontrak. Padahal sebagai bangsawan dan cendekiawan ia bisa hidup mewah.
Orang-orang tak menemukan pusaka maupun jimat di rumahnya. Hartanya hanya kain bersulam huruf ALIF. Pada batu nisan makam Kartono tertulis.
"Sugih tanpa bondo. Digdaya tanpa aji" (Kaya tanpa harta, Perkasa tanpa ilmu).
Meski Kartono seorang wartawan, namun tak banyak yang menyinggung kisah Sukartono semasa dia hidup. Kartono tokoh pendidikan, tapi guru seolah lupa namanya.
"Sang Alif, Alif sak jeroning Alif" (Yang Maha Satu, Satu Sedalamnya Satu).
Advertisement