Benarkah Hukum Tajam ke Bawah? Inilah Cara Nenek Buta Huruf Mengujinya

Dijanjikan mendapat bantuan bebek dan pakan ternak dari negara cukup dengan cap jempol, nenek buta huruf ini malah terancam kehilangan sawah.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Mar 2020, 11:00 WIB
Diterbitkan 03 Mar 2020, 11:00 WIB
sawah mbah tun
21 pengacara mengawal kasus perampasan sawah milik nenek renta buta huruf dengan melapor di Komisi Yudisial. (foto:Liputan6.com/erlinda pw/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - Masih ingat kisah Mbah Tun, nenek renta buta huruf dari Demak? Nenek yang sawahnya terancam hilang karena hendak dilelang akibat meminjamkan sertifikatnya itu sekarang dalam kondisi sakit.

Namun, upaya mbah Sumiatun masih belum berakhir dalam memperoleh kembali haknya atas kepemilikan lahan sawah seluas 8.250 meter persegi. Sudah 10 tahun berlalu, kasus penipuan lahan sawah Mbah Sumiatun yang dilakukan oleh Mustofa masih terus diusut.

Senin (02/03/2020) tim kuasa hukum Mbah Sumiatun beserta anak dan menantunya mendatangi kantor Komisi Yudisial Republik Indonesia Penghubung Wilayah Jawa Tengah. Tujuan kedatangan mereka adalah dipenuhinya permintaan pengawasan upaya hukum oleh Komisi Yudisial.

“Kami berharap Komisi Yudisial melakukan monitoring terhadap upaya hukum yang kami lakukan saat ini hingga ke depan nanti di Pengadilan tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Negeri (PN), mengawasi perihal eksekusi tanah yang dibeli saat pelelangan oleh Dedy, dan perihal putusan Mahkamah Agung bahwa Mbah Sumiatun lah pemilik lahan sawah tersebut yang sah secara hokum,” kata Karman Sastro, Tim Kuasa Hukum BKBH Fakultas Hukum Unisbank Semarang.

Selama proses pelaporan, tak nampak kehadiran Mbah Sumiatun. Setelah dikonfirmasi, ternyata ia sedang sakit.

Mbah Tun sakit. Takutnya nanti semaput dan bingung,” kata Endang, menantu Mbah Tun.

 

 

Simak Video pilihan berikut

Awal Kisah

sawah mbah tun
21 pengacara mengawal kasus perampasan sawah milik nenek renta buta huruf dengan melapor di Komisi Yudisial. (foto:Liputan6.com/erlinda pw/edhie prayitno ige)

Dalam proses hukum sebelumnya, hasil putusan Mahkamah Agung menunjukkan bahwa jual beli tanah tidak sah dan sawah itu secara sah milik Mbah Tun.

Farhan dari Komisi Yudisial menyatakan akan menunggu berkas secara komplit dari pelapor. Jika dalam berkas ditemukan pelanggaran seperti kode etik hakim, maka KY akan menindaklanjuti dalam kategori ringan, sedang, atau berat. Komisi Yudisial juga akan memantau proses persidangan di PTUN dan PN agar sesuai dengan Undang- Undang yang berlaku.

Mbah Tun sendiri memenangkan perkara ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung No. 139 K/Pdt/2015. Dalam putusan ini secara tegas menyatakan bahwa mbah Tun adalah pemilik sah sertifikat hak milik dan menyatakan bahwa proses jual beli cacat hukum dan merupakan perbuatan melawan hukum.

Kasus ini berawal dari kedatangan Mustofa di rumah mbah Tun. Ia menjanjikan bantuan ternak bebek dan mbah Tun beserta suaminya diminta membubuhkan cap jempol.

Ternyata cap jempol ini merupakan bagian dari proses jual beli tanah kepada Mustofa. Kemudian Mustofa menggadaikan sertifikat tanah kepada PT. Bank Danamon Tbk Cabang Demak pada tahun 2010 sebesar Rp140.000.000,-.

“Tak dapat melunasi hutangnya, Bank Danamon Tbk Cabang Demak  melelang sawah itu dan  terjual kepada Sdr. Dedy Setyawan Haryanto,” kata kuasa hokum mbah Tun.

Upaya terus dilakukan untuk merebut kembali sawahnya, termasuk laporan penipuan yang dilakukan oleh Mustofa  ke Polres Demak dimana menghasilkan penetapan status Mustofa sebagai Daftar pencarian Orang (DPO). Bahkan melaporkan Notaris dan PPAT Leny Anggraeni, SH karena melegalisasi cap jempol mbah Tun dan suaminya. Padahal keduanya tidak pernah hadir dan bertemu dengan Notaris PPAT ini. Kisah mbah Tun selengkapnya bisa dibaca di tautan ini

(erlinda puspita wardani)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya