Refleksi Penanganan Wabah Demam di Bangkalan pada Masa Kolonial

Sejarah wabah demam yang pernah melanda Bangkalan.

oleh Musthofa Aldo diperbarui 06 Mar 2020, 02:00 WIB
Diterbitkan 06 Mar 2020, 02:00 WIB
Banjir Bangkalan
Pada 2019, kota Bangkalan dilanda banjir hingga masuk ke perumahan elit.

Liputan6.com, Bangkalan - Demam, atau kondisi saat suhu tubuh tinggi menjadi penanda ada sesuatu yang tidak normal dalam tubuh. Sebut saja semacam infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, atau parasit. 

Pun begitu bagi penderita yang terjangkit virus Corona. Virus dari Wuhan yang telah menjangkiti lebih dari 95 ribu orang di seluruh di dunia menurut data Jhon Hopkins CESS, juga diawali demam sebagai gejala awal penularan pada manusia.

Demam pernah mewabah di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur antara 1906 hingga 1907. Dalam sebuah telegram dari Residen Fokken yang dikirim pada Gubernur Jenderal di Pamekasan tertanggal 14 Januari 1907 menyebut wabah demam muncul akibat banjir yang merendam pusat kota Bangkalan. Banjir besar itu sampai memutus jalur kereta api di Kwanyar.

Untuk mengatasi banjir itu, Pemerintah Kolonial sampai membuat bendungan di Sungai Buduk di Distrik Sapuluh, Bangkalan Utara. Padahal saat itu, demam juga tengah mewabah di distrik yang kini bernama Kecamatan Sepuluh itu.

Pola permukiman di Bangkalan yang berkelompok, dalam satu pekarangan berisi empat hingga lima keluarga, menyulitkan tim kesehatan yang dikepalai Dr Terburgh, menjangkau para penderita karena jarak antar pekarangan terlampau jauh.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Wabah Demam Desa Pejagan

RSUD Syamrabu Bangkalan
Suasana lobi RSUD Syamrabu Bangkalan. Ini merupakan rumah sakit terbaik di Madura dan sejak merebak virus Corona menjadi rujukan untuk pasien Covid 19.

Patih Bangkalan pun menawarkan solusi. Dia memerintahkan kepala desa atau Kliwon Desa Pejagan, salah satu desa yang terkena wabah demam, untuk mengumpulkan warga yang sakit ke Balai Pengobatan. Dalam buku Madura 1850-1940 yang ditulis Kuntowijoyo disebutkan sang kepala desa gagal mengumpulkan masyarakat sehingga Patih Bangkalan pun memecatnya.

Cara penanggulangan wabah semacam itu rupanya didengar pemerintah kolonial dan Residen Fokken pun memprotes Dr Terburgh karena menyuruh warga datang ke tempat pengobatan. Teguran itu pun membuat petugas kesehatan tak punya pilihan selain mencari penderita dengan mendatangi warga dari rumah ke rumah.

Cara keliru menangani wabah pada masa lalu itu masih terasa dalam cara pemerintah daerah merespon masuknya virus Corona ke Indonesia. Di Jawa Timur, pemerintah provinsi justru membuat call center khusus corona, berharap warga berinisiatif melapor jika mengalami atau mengetahui ada warga yang sakit dengan gejala mirip penularan virus yang bermuasal dari kalelawar itu.

Keberadaan call center, alih-alih mempercepat penanganan, malah identik dengan kelambanan. Sebab, kerja petugas ditentukan oleh ada tidaknya laporan. Jika tak ada yang melapor bukan berarti situasi aman dari penularan virus.

Lagi pula, gejala Corona adalah demam, batuk, juga flu. Seorang awam yang khatam ilmu biologi dasar sekalipun, pasti sulit membedakan mana demam biasa dan mana yang karena tertular Corona.

Maka semestinya, puskesmas sebagai ujung tombak kesehatan yang digerakkan untuk memantau kesehatan di desa-desa. Bila ditemukan gejala Corona, petugas puskesmaslah yang menghubungi call center agar para suspect cepat mendapat penanganan.

Seperti ucapan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Puskemas harus kembali pada fitrahnya sebagai tempat edukasi, pencegahan, dan deteksi dini penyakit. Bukan berfokus pada pelayanan kuratif dan rehabilitatif yang berorientasi pada layanan kesehatan berbayar seperti sekarang.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya