Liputan6.com, Semarang - Semakin dilarang, semakin penasaran untuk menerobos larang itu. Adagium ini seakan berlaku bagi larangan mudik selama pandemi Corona. Warga yang memang tak punya pekerjaan lagi dan ingin mudik akan menyiasati aturan agar bisa mudik.
Pada Sabtu (02/05/2020), petugas Dinas Perhubungan Kota Semarang menangkap pemudik yang berusaha melintas Kota Semarang dengan modus menggunakan truk untuk pengangkut mobil atau truk towing. Uniknya, mobil minibus yang dibawa truk itu berisi empat orang penumpang.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Semarang Endro P. Martanto menyebut bahwa Dishub tiap hari menggelar razia di perbatasan pintu keluar masuk Semarang, setelah Wali Kota memberlakukan PKM (Pembatasan Kegiatan Masyarakat).
Advertisement
Baca Juga
"Razia dilakukan bukan untuk mengekang masyarakat, namun menegakkan aturan,' kata Endro.
Hasilnya?
Para pemudik dengan berbagai strategi agar tak ketahuan bisa tertangkap basah. Di Taman Unyil, perbatasan Kota Semarang dan Kabupaten Semarang.
Berawal dari melintasnya sebuah truk pengangkut mobil atau truk towing. Truk itu membawa sebuah minibus yang ditutup menggunakan terpal. Petugas Dishub kemudian menghentikan truk tersebut dan memeriksanya.
"Setelah diperiksa truk tersebut mengangkut minibus berpenumpang, langsung kami minta putar balik," kata Endro.
Truk pengangkut mobil itu saat dihentikan masih ditutup kain terpal. Namun, ketika kain terpal dibuka, ternyata mobil yang diangkut berisi empat penumpang. Diduga mereka memanfaatkan momentum Ramadan untuk mudik.
"Langsung kami minta putar balik. Tidak sempat ditanya ke mana tujuan mereka mudik karena saat itu arus lalu lintas padat," kata Endro.
Simak Video Pilihan Berikut
Menyaru Ojek Online
Lalu, bagaimana dengan penumpang minibus itu?
Penumpang dalam mobil yang digendong itu langsung diminta kembali naik ke atas mobil yang diangkut truk. Mereka harus memutar balik ke arah Kota Semarang. Sambil tertawa-tawa geli mereka kemudian melambaikan tangan.
Kisah lain datang dari Srihono. Ia adalah pengemudi ojek online. Meskipun tahu ada larangan mudik, namun Srihono mengenakan jaket seragam kerjanya dan nekad saja.
Ia membawa serta sebuah karung dan di setiap kota, ia mengganti nomor polisi sepeda motornya di dekat pintu masuk perbatasan. Karung tersebut berisi beras. Tidak banyak, hanya beberapa kilogram saja.
“Tadi di Mangkang saya ditanya trus saya bilang ngantar kiriman melalui go send, sambil saya tunjukkan karung itu,” katanya.
Ia menyebut bahwa tujuannya pulang ke kampungnya di Kabupaten Semarang. Di Jakarta ia bekerja di sebuah perusahaan cleaning service. Namun sejak pertengahan Maret 2020, ia bersama kawan-kawannya dirumahkan.
Srihono kemudian menyebutkan bahwa untuk bertahan hidup jadilah ia ojek online pocokan. Memilih pocokan karena memang sudah tak bisa mendaftar sebagai mitra driver secara resmi.
“Teman saya itu malah memiliki empat keanggotaan dengan nama berbeda. Makanya saya mocok pakai salah satu namanya,” kata Srihono.
Motivasinya pulang ke Kabupaten Semarang sangat jelas, karena di Jakarta ia sudah tak memiliki pekerjaan. Rencananya ia akan bekerja sebagai ojek online di kampungnya.
“Saya pernah dengar kalau mudik dan pulang kampung beda, tapi nyatanya di perbatasan saya selalu ditanya petugas dan dihimbau tidak pulang kampung. Makanya saya nekad,” katanya.
Ide menggunakan status sebagai driver ojek online yang mengantar pesanan ia dapatkan setelah melihat bahwa profesi ojek online relatif dilindungi dan mendapat perlakuan khusus.
“Saya beli jaket ke teman saya. Dan saya menghindari jalan malam hari,” katanya.
Advertisement
Kata Budayawan
Kebijakan melarang mudik memang menjadi kontradiktif dengan dibukanya izin angkutan antar kota antar provinsi dan semua alat transportasi. Jika ini benar sebuah kebijakan, bisa saja dianggap sebuah prank.
Budayawan Semarang Prie GS menyebut bahwa menanggapi berubahnya aturan tak perlu ditanggapi secara nyinyir. Semua pasti memiliki tujuan yang baik.
Tindakan nekad yang kadang konyol itu sebenarnya alam bawah sadar pelaku yang ingin menjalankan tradisi puasa Ramadan di kampung. Namun, itu tak dibarengi dengan nalar yang waras.
“Apalagi saat ini edukasi bahwa yang sehat juga bisa menjadi pembawa virus itu dan menularkannya masih sangat kurang,” katanya.
Alih-alih edukasi, masyarakat justru disuguhi narasi-narasi yang hanya berkutat di area itu-itu saja. PSBB, lockdown, PKM, kelangkaan APB, mahalnya masker, kesulitan pangan dan lain-lain. Mereka yang sudah sembuh tak pernah jelas bercerita pengobatan yang dijalani. Dokter yang mengobati juga tak pernah cerita obat apa yang digunakan.
“Jadi untuk memutuskan mudik atau tidak, cukup hanya butuh nalar yang waras saja,” kata Prie.