Liputan6.com, Jambi - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi menilai, ekosistem karst di Bukit Bulan, Kabupaten Sarolangun, Jambi, kini tengah menghadapi ancaman oleh kehadiran industri tambang semen PT Semen Baturaja (Persero) Tbk. Kawasan karst Bukit Bulan merupakan ekosistem unik yang perlu dilindungi karena mempunyai peran sangat penting bagi keberlangsungan ekologi di dalamnya.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jambi, Rudiansyah, memastikan ekosistem karst akan hancur oleh kehadiran tambang dan industri semen. Sebab, konsep kerja industri ekstraktif akan mengubah fungsi ekosistem dan alih fungsi kawasan karst, termasuk menyebabkan punahnya habitat flora dan fauna di dalamnya.
Secara garis besar menurut Rudi, dengan kehadiran industri tambang semen dan pendirian pabrik semen oleh perusahaan plat merah itu akan menimbulkan problem lain. Di antaranya yang akan dihadapi seperti bencana ekologis, kekeringan, konflik lahan, pertanian tidak produktif, dan rusaknya ekosistem.
Advertisement
Pemberian izin untuk industri semen di kawasan ekosistem karst Bukit Bulan oleh Pemerintah Kabupaten Sarolangun dinilai terlalu permisif. Kondisi itu Menurut Rudi, bertolak belakang dengan semangat UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mana ekosistem karst merupakan ekosistem penting yang harus dilindungi.
Baca Juga
"Sudah jelas pasti kita menolak (industri semen) karena tidak ada katanya perusahaan pertambangan itu ramah terhadap lingkungan," kata Rudiansyah kepada Liputan6.com, Senin (29/6/2020).
Kawasan karst Bukit Bulan Sarolangun perlu dilindungi dari industri ekstraktif karena kawasan karst tersebut masih satu bentangan dengan kawasan Taman Bumi atau Geopark Merangin. Kawasan Geopark yang diperkirakan usianya mencapai ratusan juta tahun itu tengah diajukan ke UNESCO untuk ditetapkan menjadi warisan dunia.
"Karena yang namanya satu bentang alam jika satu sisi mengalami kerusakan, maka akan mempengaruhi kawasan yang lain. Jadi semangat pemerintah yang sedang mengusulkan Geopark Merangin menjadi warisan dunia akan sia-sia kalau wilayah sekitarnya rusak oleh industri ekstraktif," ujar Rudi.
Sementara itu, Kabid Geologi dan Air Tanah Dinas ESDM Provinsi Jambi Karel Ibnu Suratno mengatakan, kawasan karst Bukit Bulan telah ditetapkan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) melalui Keputusan Menteri ESDM No 1982 K/40/MEM/2018 tentang penetapan Kawasan Bentang Alam Karst.
Dalam surat keputusan yang dikeluarkan 22 Oktober 2018 itu KBAK Bukit Bulan Sarolangun, Jambi, meliputi zona Maribung, Napal Melintang seluas 257,6 hektare dan zona Mersip seluas 49,54 hektare. Penetapan KBAK tersebut dikeluarkan untuk melindungi kawasan karst.
Selain terdapat eksokarst dan endokarst, kawasan Bukit Bulan juga memiliki sumber daya batu gamping sekitar 300 juta MT pada areal sekitar 300 hektare. Adapun ciri dan karakteristik berwarna abu-abu kehitaman, keras, kompak dan massif, sebagian telah mengalami replacement menjadi silica, sebagian mengalami proses pelapukan.
Menurut Rudi, penetapan KBAK untuk Bukit Bulan dinilai bukan sebagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk melindungi kawasan ekosistem karst. Namun, penetapan KBAK itu justru sebaliknya, menjadikan kehadiran industri semen terlegimitasi.
"KBAK semangat awalnya bagus, isinya memproteksi kawasan karst, tapi ending akhirnya itu hanya spot by spot, tidak satu kesatuan bentangan ekosistem, di situ kita lihat ada kepentingan bisnis lagi," ujar Rudi.
Selain itu Rudi menilai rencana pendirian pabrik semen di kawasan karst Bukit Bulan merupakan langkah yang keliru. Sebab saat ini Indonesia sedang mengalami surplus semen mencapai 40 juta ton. Kondisi over supply semen di Indonesia terjadi sejak 2016 hingga sekarang.
"Kalau karst rusak akan berdampak, konsumsi air yang ada di Provinsi Jambi akan berpengaruh karena karst menyimpan cadangan air yang sangat banyak, dan Bukit Bulan itu termasuk hulunya Sungai Batangari," kata Rudi.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Operasi Produksi
Karel Ibnu Suratno mengatakan, dari izin yang diberikan untuk PT Semen Baturaja tersebut meliputi izin eksplorasi dan operasi produksi. Namun di tengah pengajuan izin itu pemerintah daerah mengusulkan KBAK supaya sebagian potensi yang ada di Bukit Bulan harus dilakukan perlindungan.
Dalam seminar daring daring "Tinggalan Arkeologi di Bukit Bulan, Potensi, dan Tantangan Pelestariannya" yang diadakan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Sumbagsel, Karel Ibnu Suratno mengatakan, perizinan PT Semen Baturaja saat ini telah memasuki tahap operasi produksi. Operasi produksi tersebut kata Karel, tahapannya mulai kontruksi pengusahaan, pemurnian hingga pengangkutan.
"Jadi ada dua kegiatan disitu (Bukit Bulan), yakni penambangan dan industri. Progres perizinan PT Semen Baturaja sampai saat ini sudah pada tahap yang terakhir, yakni operasi produksi, untuk kegiatan industrinya sambil berjalan," kata Karel Ibnu, Selasa 16 Juni 2020.
Sementara itu, terkait investasi di Bukit Bulan, manajemen PT Semen Baturaja mengaku masih menunda pembangunan pabrik semen di Bukit Bulan Sarolangun. Penundaan tersebut mempertimbangkan kondisi pandemi Covid-19 dan adanya over supply produksi semen nasional.
"Maka Semen Baturaja melakukan penundaan pelaksanaan sejumlah CAPEX, termasuk penundaan pembangunan pabrik semen di Bukit Bulan untuk sementara waktu," kata Vice President Corporate Secretary PT Semen Baturaja (Persero) Tbk, Basthony Santri melalui keterangan tertulisnya yang diterima Liputan6.com.
Advertisement
Mengancam Situs Prasejarah
Di kawasan Bukit Bulan tercatat terdapat 100 lebih gua, termasuk di dalamnya ada gua hunian. Selain itu, juga terdapat gua berair atau sungai bawah tanah, seperti Gua Calau Petak merupakan gua berair dengan lorong yang panjang mempertemukan dua desa.
Kehadiran industri tambang di kawasan batu gamping karst, tak hanya mengancam kelestarian ekosistem di dalamnya. Namun, juga bakal mengancam tinggalan situs prasejarah di kawasan itu.
Arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Sumsel, M Ruly Fauzi pernah melakukan penelitian di kawasan karst Bukit Bulan. Dari hasil penelitiannya yang dilakukan rentang waktu 2015-2019 tersebut menemukan tinggalan situs prasejarah yang sangat penting.
M Ruly memiliki beberapa rekomendasi terkait pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan Bukit Bulan. Pihaknya melihat di kawasan Bukit Bulan terdapat ancaman kerusakan oleh kehadiran pabrik semen.
"Ancaman kerusakan situs berpotensi disebabkan oleh pendirian pabrik semen, serta juga ada ancaman vandalisme dari pengunjung yang masuk gua," kata Ruly dalam paparannya melalui seminar daring yang disiarkan lewat akun YouTube Cagar Budaya Jambi.
Bukit Bulan secara administratif terletak di Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun. Kawasan Bukit Bulan mencakup empat desa, yakni Desa Napal Melintang, Meribung, Mersip, dan Berkun.
Dari keempat desa itu, masyarakat setempat mengenal dengan penyebutan "Margo" Bukit Bulan. Margo merupakan sebutan untuk satu keluarga yang mendiami kawasan empat desa tersebut.
Gambar Cadas Austronesia
Sebelumnya dalam riset dengan pendekatan multidispliner itu M Ruly beserta timnya melakukan penelitian di 82 gua dan ceruk di Bukit Bulan, 20 di antaranya merupakan situs gua hunian. Dalam kurun waktu 2018-2019, para peneliti juga mengekskavasi 46.271 spesimen.
Hasil riset yang dipaparkan Ruly cukup mengejutkan. Para peneliti menemukan lukisan prasejarah atau gambar cadas di dalam gua-gua karts Bukit Bulan. Riset ini semakin melengkapi khazanah peninggalan prasejarah, terutama di Pulau Sumatra.
Penemuan tradisi gambar cadas Austronesia itu untuk pertama kalinya di temukan di wilayah paling barat Indonesia. Pentingnya temuan gambar cadas prasejarah di Bukit Bulan Sarolangun, Jambi, menurut Ruly, menunjukan kemiripan afinitas budaya dari penduduk kepulauan di Indonesia, mulai dari timur hingga barat.
"Ada banyak gua di Bukit Bulan yang ada gambar cadasnya, beberapa di antaranya gambar cadas itu ditemukan di Gua Sungai Lului, Gua Kerbau, dan Gua Sekdes," ungkap Ruly. Karts Bukit Bulan menjadi spesial di mata arkeolog karena di kawasan itu belum pernah dilaporkan adanya jejak-jejak hunian prasejarah. Hunian gua prasejarah muncul setelah karsifikasi fase terakhir (fase 3).
Kemudian morfologi kars dari Bukit Bulan itu sendiri menurut Ruly, turut mempengaruhi adanya hunian atau tempat bernaung bagi manusia yang hidup di zaman prasejarah.
Berdasarkan analisis pertanggalan kronologis budaya lewat radiokarbon kata Ruly, mengonfirmasi umur lapisan Neolitik dengan indikator temuan tembikar di Gua Mesiu hingga 3.800 tahun yang lalu. Kemudian lapisan budaya dari periode lebih tua di bawahnya menembus umur 6.600 tahun yang lalu.
Tim peneliti yang juga didukung oleh Center for Prehistoric Austronesian Studies (CPAS) menemukan tulang jari dari manusia dan beberapa fragmen gigi di Bukit Bulan. Dari segi ukuran temuan gigi itu kata Ruly, masuk pada elemen gigi ukuran sisimetrik dari penutur Austronesia awal yang ada di Indonesia.
"Dari temuan-temuan tersebut, termasuk gambar cadas itu menandakan dalam parasejarah, Bukit Bulan dulunya dihuni oleh penutur Austronesia. Sebab, ternyata ada kemiripan budaya dan tradisi manusia pendahulu kita," kata dia.
Masyarakat di sekitar Bukit Bulan memaknai morfologi batuan gamping karst berdasarkan pemahaman mereka sendiri. Nama Bukit Bulan datang tidak begitu saja. Nama Bukit Bulan dituangkan dalam sebait pantun.
Bukit Bulan jauh di mudik, nampak dari Pulau Pandan. Jadi bulan lah kau adik, abang memandang merisai badan.
Itulah sebait pantun yang sampai sekarang masih melegenda di masyarakat Margo Bukit Bulan, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Pantun tersebut memiliki arti kalau Bukit Bulan dapat dipandang dari kejauhan, laksana bulan purnama.
Lalu akankah kita diam begitu saja, membiarkan karst Bukit Bulan laksana purnama hancur tak lagi bersinar, dan tak tampak dari kejauhan.
Advertisement