Alasan Penambang Pasir Banyumas Tolak Larangan Penggunaan Mesin Sedot

PP nomor 23 tahun 2010, dibuat untuk tata cara pelaksanaan pertambangan mineral dan batu bara bukan hanya tambang logam

diperbarui 28 Agu 2020, 01:30 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2020, 01:30 WIB
Masyarakat di sepanjang aliras Sungai Serayu banyak yang berprofesi sebagai penambang pasir tradisional. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Masyarakat di sepanjang aliras Sungai Serayu banyak yang berprofesi sebagai penambang pasir tradisional. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Banyumas - Para penambang pasir di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah keberatan adanya imbauan dari Balai Besar Wilayah Serayu Opak (BBWSO) terkait pelarangan penggunaan mesin sedot pasir.

Imbauan ini disosialisasikan dalam forum Sosialisasi Koordinasi Pengawasan Pemantauan dan Penertiban bidang SDA dan kegiatan usaha pertambangan di Banyumas, di kantor Cabang Dinas ESDM Serayu Selatan, Purwokerto, Kamis (27/8/2020).

 

Keberatan tersebut disampaikan salah satu penambang rakyat, Elko bahwa penambangan pasir yang dilakukan saat ini sudah sesuai dengan aturan PP nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.

Menurut Elko, dalam pasal 48 ayat 4 , PP 23 tahun 2010, kata Elko, pada Bab 3, huruf A, B disebutkan peraturan teknis sumuran pada IPT ijin pertambangan paling dalam 25 meter dan menggunakan pompa mekanik atau permesinan dengan jumlah tenaga maksimal 25 horse power sudah jelas.

"Kalau lihat penjelasan dalam aturan yang ada dan himbauan dari BBWSO tentang pelarangan penggunaan mesin pompa mekanik itu hanya boleh di khususkan untuk pertambangan logam," ungkapnya, dikutip Timesindonesia.co.id.

Elko menambahkan, PP nomor 23 tahun 2010, dibuat untuk tata cara pelaksanaan pertambangan mineral dan batu bara bukan hanya tambang logam. Penjelasan pasal tersebut lanjut Elko, yaitu untuk izin pertambangan rakyat secara umum tidak ada penyebutan khusus untuk tambang logam seperti yang dikehendaki oleh BBWSO.

"Artinya kegiatan yang kami lakukan sudah sesuai aturan penggunaan mesinnya, jika saat ini BBWSO hendak melarang artinya tidak berdasar," tandasnya

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Tumpang Tindih Aturan

Daya rusak penambangan tradisional di Sungai Serayu tak seberapa dibanding dengan penambangan pasir menggunakan mesin. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Daya rusak penambangan tradisional di Sungai Serayu tak seberapa dibanding dengan penambangan pasir menggunakan mesin. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sementara itu Ketua Forum Rembug Masyarakat Pengelolaan Sumber Daya Air Serayu Hilir Eddy Wahono menilai masyarakat disulitkan dengan tumpang tindih aturan yang menyebabkan pemerintah juga melakukan pelanggaran terhadap aturan yang dibuat sendiri.

"Selama ini rakyat hanya dijadikan objek kebijakan, seharusnya rakyat diberi ruang yang jelas, sehingga bisa menjalankan usaha secara benar, tanpa harus dikorbankan oleh tumpang tindih aturan tersebut, sehingga memudahkan mendapatkan izin dan payung hukum," katanya.

Tumpang tindih tersebut juga terkait adanya usulan Pemda Banyumas pada dekade tahun 2012 melalui Dinas ESDM Banyumas mengenai peta wilayah pertambangan. Sehingga muncul KepMen ESDM nomor 1204 tahun 2012, tentang peta wilayah pertambangan Jawa Bali.

"Diperbaharui dengan Kepmen ESDM No 3672, tahun 2017 perihal peta wilayah pertambangan Jawa Bali, tidak berdasarkan pada Perda RTRW No 10 tahun 2011, yang mana di pasal 43 disebutkan, sungai sungai di kabupaten Banyumas, masuk dalam wilayah pertambangan."Katanya.

Lebih jauh Eddy Wahono menyebutkan yang dimaksud wilayah pertambangan sesuai UU nomor 4 tahun 2000 tentanf pertambangan minerba, ada tiga yakni wilayah pencadangan negara, wilayah izin Usaha Pertambangan (WIUP), dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

Ditambahkan Pergub Jateng tentang PTSP No 18 Tahun 2017 Pada halaman lampiran 1-9 PTSP tidak melayani IPR. Sehingga ini yg menyebabkan seluruh IPR di Jateng kesulitan untuk mendapatkan perijinan khususnya di Banyumas, kesulitan untuk mendapat perijinan tambang rakyat.

 

Respons BBWSO

Sebuah kereta melintas di jembatan Sungai Serayu, Rawalo, Banyumas, Jawa Tengah. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Sebuah kereta melintas di jembatan Sungai Serayu, Rawalo, Banyumas, Jawa Tengah. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Terkait hal tersebut, dirinya juga pernah melayangkan surat ke Gubernur Jateng pada 10 Agustus tahun 2019.

"Diharapkan para pemangku kebijakan bisa memberikan pembinaan berdasarkan pada aturan hukum yang sah,"katanya.

Sedangkan dalam Pergub Jateng nomor 18 tahun 2016 tambah Eddy, disebutkan penyelenggaraan pelayanan bidang ESDM, pada Bab 1 ketentuan umum pasal 66 wilayah pertambangan rakyat yang disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.

"Berarti ESDM diberi kewenangan penyelenggaraan pelayanan. Secara jelas ESDM diberi kewenangan melalui pergub tersebut,"ujarnya.

Hal itu kontradiktif dengan Pergub PTSP No 18 tahun 2017, yang tidak menyebut tentang ijin pertambangan rakyat. Dan hal ini menurut Eddy Wahono, memperkuat tumpang tindih aturan tersebut."Pemerintah juga diharapkan bisa memberi solusi tentang tumpang tindih aturan tersebut,"imbuhnya.

Sementara Kasi Operasi Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) Rusdiansyah saat dihubungi melalui pesan singkat tidak menanggapi penolakan penambang Pasir Banyumas itu.

"Aturannya sudah jelas, dan kami sifatnya hanya pembinaan dan himbauan. Tinggal masyarakat mau mematuhi aturan apa mau melanggar aturan, itu saja,"katanya.

Rusdiansyah menyarankan para penambang untuk mengurus izin agar pertambangannya jadi legal. "Jika tidak mengantongi izin atau apapun tidak berlaku bagi pelaku tambang atau para penambang," pungkasnya.

Dapatkan berita menarik Timesindonesia.co.id lainnya, di sini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya