Bus Estu, Armada Legendaris di Jalur Selatan Sejak Masa Kolonial Belanda

Masyarakat pengguna transportasi di jalur lintas selatan (JLS) antara Majenang, Cilacap hingga Banyumas dan Kebumen pasti paham dengan nama bus legendaris ini, Estu

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 02 Sep 2020, 04:30 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2020, 04:30 WIB
Foto bus tua, konon bernama ‘Sedulur’ di Terminal Karangpucung tempo dulu. Foto ini diperkirakan diambil pada tahun 1970-an. (Foto: Liputan6.com/Repro/Muhamad Ridlo)
Foto bus tua, konon bernama ‘Sedulur’ di Terminal Karangpucung tempo dulu. Foto ini diperkirakan diambil pada tahun 1970-an. (Foto: Liputan6.com/Repro/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Foto di dinding warung bakso itu tampak ‘legend’. Sebuah bus, disebut dengan bus kepala buaya, dengan latar belakang terminal Karangpucung, Cilacap, Jawa Tengah, tempo dulu.

Namanyapun bukan terminal, melainkan stasiun. Tertulis besar-besar sebagai latar, ‘Stasiun Bus KR Putjung’. Ejaan lama yang meneguhkan bahwa foto itu memang berasal dari zaman 'beheula'.

Hingga era 1990-an, sebagian warga memang masih menyebut terminal sebagai stasiun, stamplat, atau bahkan koplak untuk ukuran pemberhentian yang lebih kecil.

Bicara soal armada bus tua, masyarakat pengguna transportasi di jalur lintas selatan (JLS) antara Majenang, Cilacap hingga Banyumas dan Kebumen pasti paham dengan nama bus legendaris ini, Estu.

Bus Estu, sejak puluhan tahun silam, sudah beroperasi melayani rute Majenang-Kebumen. Armada lain yang juga dimiliki oleh keluarga yang sama juga beroperasi di wilayah ini, Sedulur dan Tiga Dara.

Cikal bakal Bus ESTU dimulai pada zaman prakemerdekaan. Kala itu, nama armadanya adalah EMTO. EMTO sendiri merupakan singkatan dalam Bahasa Jerman, yang ia sendiri tak mampu mengingatnya.

Pemilik Bus Estu, Yoseph Budhi Wiharja mengatakan, awalnya perusahaan transportasi itu didirikan oleh Kakeknya, Oey Kim Tjin. Selanjutnya, diteruskan kepada sang anak, atau ayah Budhi, Oey Tjang Tjin.

“Itu adalah kendaraan tempur yang diubah menjadi kendaraan angkut sipil. Itu untuk mengirim barang sampai ke Bandung,” kata Budhi, di kediamannya di Majenang, Cilacap, beberapa waktu lalu.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Pernah Angkut Dokumen Negara ke Yogyakarta

Rumah peninggalan Pengusaha Tionghoa yang pro-perjuangan kemerdekaan, Oey Kim Tjin, di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Rumah peninggalan Pengusaha Tionghoa yang pro-perjuangan kemerdekaan, Oey Kim Tjin, di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Pada masa kemerdekaan armada EMTO adalah salah satu kendaraan yang digunakan untuk memindah dokumen negara, saat ibu kota boyong dari Jakarta ke Yogyakarta pada masa agresi militer Belanda.

Pemindahan ini penuh risiko. Pasalnya, Jakarta dan Jawa Barat, menjadi kekuasaan kolonial Belanda.

Sang kakek dan ayahnya, Oey Kim Tjin dan Oey Tjang Tjin, dikenal sangat prorepublik. Bahkan, kakeknya mendapat dua bintang jasa, yakni dari presiden dan Legiun Veteran RI.

Bintang jasa itu menjadi bukti bahwa meski tidak langsung terlibat dalam pertempuran, bantuan yang diberikan pada masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan sangat berarti.

Budhi bercerita, Oey Kim Tjin sendiri adalah pengusaha hasil bumi dan transportasi. Cengkih, pala, ketela, beras, dikirim ke Bandung dan Jakarta. Pulangnya, kakeknya membawa lampu dian, petromaks, dan peralatan rumah tangga lainnya.

Sebagai sosok pengusaha yang mengusai wilayah, Oey Kim Tjin dipercaya pemerintah kolonial untuk mendistribusikan logistik untuk markas-markas Belanda di sisi Jawa selatan. Karenanya, kakeknya lantas memiliki kendaraan angkut.

Kendaraan tersebut merupakan kendaraan tempur yang diubah sesuai dengan kebutuhan, sebagai alat angkut barang sipil.

“Tapi kakek saya ibaratnya berkhianat kepada Belanda. Logistik itu banyak yang diselundupkan untuk para pejuang,” ujarnya.

 


Bus Estu Masa Kini

Terminal Karangpucung, Cilacap, masa kini. Sebentar lagi, terminal ini juga akan dipindah ke lokasi baru yang lebih luas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Terminal Karangpucung, Cilacap, masa kini. Sebentar lagi, terminal ini juga akan dipindah ke lokasi baru yang lebih luas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Armada ini lantas meniti zaman, melalui masa awal kemerdekaan hingga geger di republik berusia muda. Belakangan, EMTO berubah nama menjadi ESTU.

“Kepanjangannya, ‘Esuk Sore Tetep Usaha’,” ucapnya.

Nyaris semua masyarakat di jalur Bus ESTU paham kapan waktu Bus ESTU melintas. Pada zaman dulu, bahkan banyak warga yang membatalkan perjalanan jika Bus ESTU tak beroperasi atau kena masalah di jalan.

“Maklum, waktu itu kan jalannya tidak sebagus sekarang. Mereka membatalkan perjalanan,” ujarnya.

Saking lamanya beroperasi, armada ESTU jadi bus sejuta umat. Penumpangnya beragam, mulai dari PNS, pegawai, karyawan, hingga petani.

Petani boleh membawa hasil buminya dengan bus ini. Karenanya, ada guyonan, tidak mungkin terjadi perampokan atau pencopetan, karena penumpang ESTU selalu bersenjata.

“Petani kan bawanya golok, sabit, pacul, ya pasti aman ini bus,” dia menjelaskan.

Kini, Armada Estu masih lestari, meski jumlahnya berkurang jauh dibanding masa-masa sebelumnya. Jumlah Bus Estu tinggal tiga unit. Bentuknya pun sudah modern.

“Karena ada corona ini yang beroperasi hanya satu. Karena penumpangnya memang sangat minim,” dia menjelaskan.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya