Tradisi Memakai Baju Baru saat Lebaran, antara Perintah Agama dan Warisan Kolonial Belanda

menelisik pada salah satu literatur sejarah, ternyata tradisi memakai baju lebaran di Hari Raya Idul FItri ini bukan semata-mata pengejawantahan atas sabda Rasulullah SAW, namun merupakan tradisi warisan kolonial Belanda.

oleh Liputan6.com Diperbarui 27 Mar 2025, 12:30 WIB
Diterbitkan 27 Mar 2025, 12:30 WIB
Sanika, Eksplorasi Budaya Minang dengan Warna Baru di Baju Lebaran Sarimbit dari Ria Miranda
Koleksi busana Lebaran sarimbit dari Ria Miranda... Selengkapnya

Liputan6.com, Cilacap - Tradisi yang paling populer saat perayaan Hari Raya Idul Fitri ialah memakai baju baru. Secara simbolis, pemakaian baju baru ini erat kaitannya dengan hari kemenangan umat Islam.

Makna filosofis lain dari pemakaian baju baru ini sebagai simbol atas lahirnya pribadi baru yang fitri atau suci setelah sebulan lamanya diri kita kita ditempa di bulan Ramadhan dengan menjalankan ibadah puasa.

Tak kalah pentingnya dibalik alasan pemakaian baju baru saat Hari Raya Idul Fitri ialah merupakan salah satu ungkapan rasa syukur kita kepada Allah SWT.

Namun, menelisik pada salah satu literatur sejarah, ternyata tradisi memakai baju lebaran di Hari Raya Idul FItri ini bukan semata-mata pengejawantahan atas sabda Rasulullah SAW, namun merupakan tradisi warisan kolonial Belanda.

 

Promosi 1

Simak Video Pilihan Ini:

Perintah Rasulullah untuk Memakai Pakaian Terbaik saat Lebaran

20160626- Baju Diskon Jadi Buruan Warga-Jakarta- Gempur M Surya
Warga memilih pakaian di kawasan perbelanjaan Pasar Baru, Jakarta, Minggu (26/6). Menjelang lebaran sejumlah toko mulai memberikan potongan harga untuk menarik pembeli. (Liputan6.com/Gempur M Surya)... Selengkapnya

Memakai baju baru saat lebaran bisa dimaknai sebagai pengejawantahan atas perintah Rasulullah SAW untuk memakai pakaian terbaik saat hari raya. Salah satunya adalah hadits berikut ini: 

عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِى الْعِيدَيْنِ أَنْ نَلْبِسَ أَجْوَدَ مَا نَجِدُ 

Artinya: Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali RA, ia berkata: Rasulullah SAW telah memerintahkan kami pada dua hari raya agar memakai pakaian terbaik yang kami temukan. (HR Al-Baihaqi dan Al-Hakim).

Hadits lain menceritakan sahabat Ibnu Umar RA yang mengenakan pakaian bagus di hari raya.

عَنْ نَافِعٍ : أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَلْبَسُ فِى الْعِيدَيْنِ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ

Artinya: Diriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar RA memakai baju terbaiknya di dua hari raya. (HR Al-Baihaqi dan Ibnu Abid Dunya dengan sanad shahih). 

Kemudian hadits, atsar, dan ijtihad ulama yang menganjurkan memakai baju terbaik pada hari raya ini dimaknai sebagai anjuran untuk memakai baju baru sebagaimana dikatakan oleh pakar fiqih Maliki Syekh Ahmad bin Ghunaim an-Nafrawi (wafat 1126 H/1714 M): Yang dimaksud dengan ‘baju baik’ (yang disunahkan) dalam hari raya adalah baju baru, meskipun berwarna hitam. (Lihat: Ahmad bin Ghunaim An-Nafrawi, Al-Fawakihud Dawani, [Tanpa keterangan tempat, Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniyyah: tanpa keterangan tahun], juz II, halaman: 651).

Warisan Kolonial Belanda

Sanika, Eksplorasi Budaya Minang dengan Warna Baru di Baju Lebaran Sarimbit dari Ria Miranda
Koleksi busana Lebaran sarimbit dari Ria Miranda... Selengkapnya

Seperti sudah disinggung sebelumnya tradisi memakai baju baru saat Lebaran merupakan salah satu implementasi sunnah Rasulullah yang menganjurkan umat muslim mengenakan pakaian terbaik saat hari raya. Namun sebetulnya yang dimaksud terbaik tidak harus baju baru.

Dalam catatan sejarah, tradisi membeli baju baru telah berlangsung cukup lama di Indonesia. Snouck Hurgronje, seorang penasehat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial Belanda mencatat kebiasaan atau tradisi baju baru saat Lebaran dimulai awal abad ke-20.

Catatan tentang tradisi memakai baju baru saat Lebaran Snouck Hurgronje ditemukan dalam suratnya kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri, 20 April 1904. Surat ini kemudian dibukukan dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya di Pemerintah Hindia Belanda 1889–1939 Jilid IV.

Dalam suratnya Snouck menjelaskan bahwa, “Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan," 

Ia juga menambahkan bahwa tradisi memakai baju baru saat hari raya mirip dengan kebiasaan di eropa saat merayakan hari besar. "Kebiasaan saling bertamu pada hari pertama bulan kesepuluh dengan mengenakan pakaian serba baru mengingatkan kita pada perayaan tahun baru Eropa," tulis Snouck dalam buku berjudul Islam di Hindia Belanda. 

Alasan Kolonial Belanda Memberlakukan Tradisi Ini

Jelang Lebaran Idul Fitri, Warga Antusias Berburu Pakaian Impor Bekas
Kualitas bagus dan harga terjangkau menjadi salah satu alasan besar bagi warga lebih memilih thrifting daripada baju baru yang ada di mal. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)... Selengkapnya

Snouck menuliskan tradisi beli baju baru jelang Lebaran memiliki peran yang cukup signifikan pada perputaran uang. “Lebih banyak uang di keluarkan di Betawi dibandingkan dengan kebanyakan tempat lain karena pembelian petasan, pakaian, dan makanan pada hari Lebaran,” tulinya. Diduga sebagai pusat atau ibu kota, Batavia memiliki aktivitas perdagangan lebih mudah diakses, sehingga mendukung perputaran roda ekonomi.

Namun, tradisi baju baru saat Lebaran menyedot banyak biaya bagi kaum pribumi. Kebiasaan sempat mendapat kritik dari dua pejabat kolonial di masa itu, yakni Steinmetz dari Residen Semarang, dan De Wol pejabat Hindia Belanda. Mereka menyebut tradisi memakai baju baru saat Lebaran, dan tradisi-tradisi Lebaran lainnya sebagai sumber bencana ekonomi. 

Kedua pejabat pemerintahan kolonial ini merasa bahwa tradisi Lebaran membuat sebagian besar bupati dan pamong praja bumiputera justru memanfaatkan dana pemerintah untuk menyambut Lebaran, termasuk untuk pembelian pakaian baru. 

Para bupati dan pamong praja bumiputera kala itu senang menggunakan pakaian dengan mode gabungan ala tradisi Indonesia, perpaduan Islam, dan ala Eropa.mereka juga mengenakan pantolan berbahan benang emas, hingga sejumlah atribut khas Eropa.

Kees Van Dijk seorang politisi asal Belanda menuliskan dalam catatannya 'Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi' yang dimuat dalam Outward Appearances bahwa,  "Bupati dan kepala wilayah biasanya melengkapi penampilan mereka dengan pakaian pribumi berupa kain ketat atau pantalon berbenang emas, dengan sepatu bot dan taji untuk sepatu menurut gaya Eropa.

Kees juga mengatakan bahwa tradisi Lebaran menimbulkan kesenjangan sosial antara rakyat jelata dan kaum pejabat pribumi. Berbeda dengan para pejabat bumiputera, rakyat jelata justru hanya memiliki sedikit pilihan dalam membeli pakaian baru. Pakaian rakyat biasanya perpaduan mode setempat dengan gaya muslim di India dan Arab.

"Pakaian Barat ditabukan bagi banyak orang, Jika ada pengecualian maka ini berlaku bagi orang-orang yang dekat dengan Belanda," tulis Kees.

Rakyat jelata mulai keleluasaan memilih model pakaian Lebaran pada awal tahun 1900. Hal ini tercatat pada Harian De Locomotif terbitan 30 Desember 1899 yang menggambarkan suasana rakyat jelata saat hari raya Idul Fitri. Dijelaskan bahwa rakyat jelata mulai berpakaian Barat mengikuti kebiasaan pejabat bumiputera kecuali kain penutup kepalanya. Rakyat tidak lagi hanya mengenakan sarung dan peci baru, tapi juga dengan sepatu dan celana panjang.

Keleluasaan rakyat jelata memilih model pakaian yang dipakai saat Lebaran kemudian mendorong pertumbuhan industri tekstil di Hindia Belanda. Mode pakaian pun kian beragam dan pangsa pasar meluas. Sayangnya saat mengalami resesi pada 1930, penjualan menurun. Pasokan barang yang melimpah di pasaran mengalami kemerosotan harga yang tajam.

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya