Sengkarut Pengelolaan Kebun Sawit Plasma Koperasi Tani dengan PTPN V

Koperasi Tani Sawit Makmur (Kopsa-M) menyebut pengelolaan kebun sawitnya seharusnya produktif karena bekerjasama dengan PTPN V, di sisi lain pihak perusahaan menilai koperasi tak sejalan.

oleh M Syukur diperbarui 22 Okt 2020, 22:00 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2020, 22:00 WIB
Ilustrasi.
Ilustrasi. (Liputan6.com)

Liputan6.com, Pekanbaru - Sudah tiga tahun Antony Hamzah pusing tujuh keliling karena kebun sawit. Bagaimana tidak, pria 52 tahun ini terikat utang hingga Rp83 miliar kepada Bank Mandiri tapi sumber pembayaran cicilannya 'jauh panggang dari api' alias tidak kunjung ada.

Memang bukan atas nama pribadi tapi merupakan tanggung jawabnya sebagai ketua Koperasi Tani Sawit Makmur (Kopsa-M). Koperasi ini ada di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar.

Koperasi itu memang punya 1.415 hektare. Namun, hanya 754 hektare kebun sawit produktif tapi kualitasnya tidak merata, sementara sisanya sudah jadi semak belukar dan ditumbuhi pohon hutan.

Hasil panen di lahan 754 hektare itu paling banyak sekitar 700 ton per bulan. Nilainya jika diuangkan Rp875 juta kotor karena ada upah panen, ongkos angkut dan opersional lainnya.

Di sisi lain, uang yang harus disiapkan untuk membayar cicilan plus bunga utang itu mencapai Rp21 miliar. Lantas dari mana Antony bisa menutup cicilan dan bunga bank?

Sambil tersenyum, Antony menyebut pembayaran di Bank Mandiri masih terpenuhi walaupun cicilan per tiga bulan mencapai Rp3,7 miliar.

"Namun kami hanya sanggup bayar antara Rp5 juta hingga Rp25 juta, tahun ini malah hanya bisa Rp5 juta," kata Antony, Selasa siang, 20 Oktober 2020.

Kemudian sisa untuk menutupi tagihan miliaran itu, Antony menyebut dari auto debet rekening PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V. Dia mengaku tak tahu dari mana sumber uang PTPN V membayar tagihan itu.

Posisi PTPN V dalam koperasi itu merupakan bapak angkat dengan pola kebun plasma atau pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Dengan pola ini, seharusnya ribuan hektare lahan ditumbuhi sawit produktif.

Terkait kebun tidak produktif ini, Antony mengaku tak bisa berbuat banyak karena perusahaan belum menyerahkan sepenuhnya ke koperasi. Dengan demikian, tegas Antony, PTPN V masih bertanggung jawab atas opersional kebun.

 

 

Simak video pilihan berikut ini:

Asal Mula Utang

Sebagai penerus dari ketua koperasi sebelumnya, Antony bercerita bagaimana utang Rp83 miliar muncul. Awalnya, Bank Mandiri bukanlah bank awal pembiaya pembuatan kebun melainkan Bank Agro.

Ada tiga kali Bank Agro membuat akad kredit dengan koperasi dalam tahun berbeda. Jumlah kredit tiap tahun berbeda dengan total Rp52,9 miliar.

"Sewaktu saya menjadi ketua koperasi tahun 2016, saya ceklah rekening koperasi, uang itu enggak pernah masuk ke koperasi tapi justru ke rekening PTPN V," terang Antony.

Antony menjelaskan, kebun tidak akan berantakan kalau memang uangnya diterima koperasi. Dia mengaku belum menghitung kebenaran pemanfaatan uang kredit itu karena ceritanya jadi panjang kalau dibahas detail.

Di sisi lain, tambah Antony, PTPN V pada 24 April 2013 mengusulkan agar utang tadi diambil alih (take over) oleh Bank Mandiri saja. Kala itu, perusahaan mengaku kesulitan keuangan.

Menurut Antony, pengurus dan anggota koperasi pendahulunya yang tidak mengerti soal itu, manut saja. Sebelum take over, utang koperasi di Bank Agro dihitung ulang tapi jumlahnya justru membengkak dari Rp52,9 miliar menjadi Rp79,3 miliar.

"Anehnya Bank Mandiri menyetujui pinjaman hingga Rp83 miliar. Pinjaman tadi digunakan membayar utang ke Bank Agro, sisanya dipakai PTPN V, alasannya dipakai membiayai kebun," jelas Antony.

PTPN V Sebut Koperasi Menolak Perbaikan

Terkait tudingan Antony ini, pihak PTPN V membantah. Perusahaan mengakui memang ada kebun rusak tapi disebabkan faktor alam.

"Disebabkan banjir berulang sehingga merendam kebun cukup lama," kata Kepala Humas PTPN V Risky Atriyansah, Rabu petang, 21 Oktober 2020.

Menurut Risky, kondisi ini membuat bibit sawit mati. Sebagai tindak lanjut, perusahaan sudah berulang kali melakukan penyisipan tanaman.

Hanya saja, tambah Risky, koperasi menjalin kerjasama dengan pihak lain pada tahun 2014. Akibatnya, kebun menjadi tidak terawat dan menjadi semak.

"Pengurus Kopsa M juga menolak pengelolaan kebun secara single manajemen (manajemen satu pintu) oleh PTPN V sehingga areal tidak terpelihara dengan baik sesuai dengan kultur teknis tanaman," terang Risky.

Pada perkembangannya, PTPN V mengajak pengurus Kopsa M melakukan perbaikan areal yang bermasalah. Namun, lagi-lagi pengurus koperasi tidak setuju.

Terkait peran ikut membayar kredit koperasi, PTPN V menyatakan itu sebagai avalis. Hal itu tertuang dalam perjanjian, di mana adalah Kewajiban PTPN V mengeluarkan dana talangan.

"Artinya PTPN V mempunyai tanggung jawab untuk menutupi pembayaran cicilan utang Kopsa M yang kurang ke Bank Mandiri," kata Risky.

Di sisi lain, PTPN V menilai iktikad baik dari Kopsa-M belum tampak dalam pembayaran cicilan hutang ke Bank Mandiri.

"Hanya Rp5 juta per bulan sedangkan pendapatan Kopsa M telah mencapai Rp1,8 miliar per bulan," jelas Risky.

Risky menambahkan, permasalahan Kopsa-M dengan PTPN V saat ini proses hukum secara perdata di tingkat Kasasi Mahkamah Agung.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya