Penjual Obat Kuat, Kode Rahasia, serta Hegemoni Lelaki di Balik Mitos Kejantanan

Liputan6.com menyambangi penjual obat kuat yang saban malam berjualan di Jalan Nasional, Meulaboh, Aceh Barat. Simak bagaimana mereka beraktivitas serta apa yang telah menjebak laki-laki ke dalam keyakinan pentingnya diakui jantan oleh pasangan:

oleh Rino Abonita diperbarui 26 Okt 2020, 06:47 WIB
Diterbitkan 26 Okt 2020, 00:00 WIB
Penjual obat kuat di depan bilangan pertokoan sepanjang Jalan Nasional Meulaboh, Aceh Barat (Liputan6.com/Rino Abonita)
Penjual obat kuat di depan bilangan pertokoan sepanjang Jalan Nasional Meulaboh, Aceh Barat (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Gerobak sorong milik pedagang mulai berjejer di depan bilangan pertokoan sepanjang Jalan Nasional, Meulaboh, Aceh Barat sejak azan magrib berkumandang, Jumat (23/10/2020). Lalu lintas di tempat itu terlihat padat merayap oleh kendaraan pelbagai jenis yang berjalan hilir mudik di kedua sisi jalan.

Di antara para pedagang tersebut terdapat Herman Julis (65), lelaki kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera Barat, yang sudah lama menetap di Aceh. Ia berjualan jamu setiap malam, dari pukul 20.00 WIB hingga pukul 01 dini hari.

Saat Liputan6.com menyambanginya, Herman sedang menyiapkan jamu untuk seorang pelanggan. Bau telur bebek yang amis mulai meruap ketika dirinya menekan tombol pemutar mixer untuk mengocok telur yang dicampur dengan jamu, terasa kontras dengan aroma sate panggang dari gerobak pedagang sebelah.

Segelas jamu siap minum serta satu buah gelas berukuran lebih kecil berisi air berwarna coklat bening ditaruh ke atas meja di mana seorang lelaki bertubuh gempal telah menunggu. Permukaan gelas tersebut terlihat berbuih serta memiliki air yang berwarna agak kuning mellow.

Lelaki tersebut menghabiskan jamu pesanannya dalam sekali teguk. Ia kemudian meminum wedang dari gelas kecil untuk menghilangkan bau amis serta rasa pahit di mulutnya.

"Ah," Lelaki itu terdengar beserdawa lalu mengelap mulutnya dengan tisu, kemudian bangkit dari tempat duduk sambil merogoh saku celana lantas menarik sehelai uang Rp20 ribu yang disodorkan kepada Herman.

Herman adalah salah satu dari tiga penjual jamu, yang sudah belasan tahun berjualan di depan bilangan pertokoan tersebut. Dia yang paling lama dari semua penjual jamu yang ada di tempat itu menurut pengakuannya.

Ia dulu tinggal di Binjai. Herman belajar membuat jamu secara autodidak setelah teman-teman satu indekos yang rata-rata bekerja sebagai buruh kasar memintanya meramu jamu untuk mereka, khususnya yang bisa membuat badan terasa lebih segar ketika bangun tidur.

Beranjak dari situ, ia pun mulai berjualan jamu selama beberapa tahun sebelum akhirnya merantau ke Aceh atas bujukan seorang teman. Di Serambi Makkah, Herman mencoba peruntungan dengan mencoba usaha yang sama.

"Di Aceh, banyak yang mau jamu, ke sana saja," Herman menirukan ucapan temannya saat bercerita kepada Liputan6.com di sela-sela kesibukannya melayani pelanggan malam itu.

Di dalam gerobaknya terdapat pelbagai jenis jamu serta obat-obatan herbal. Seperti penjual jamu kebanyakan, yang disediakan tidak jauh-jauh dari jamu pegal linu, rematik, masuk angin, hingga penambah nafsu makan.

Namun, yang paling mencolok di antara semua itu adalah jamu serta obat-obatan penambah stamina pria atau 'kuat lelaki.' Jumlahnya malah lebih dominan dibanding yang lain.

Kotak jamu serta obat-obatan tersebut disusun di rak serta memilki kemasan yang cukup menantang. Salah satunya bermerek "Beruang", menampilkan seorang wanita berbikini sedang berpose penuh gairah, sementara itu, di bawahnya tertulis, "Penambah Stamina Pria."

Di kotak kemasan bertemplat horizontal, seorang gadis berwajah oriental tampak tersenyum. Di dalam latar berbentuk bulat telur berwarna merah kemasan tersebut tercantum tulisan "10 X Lebih Dahsyat."

Gambar yang tak kalah menantang terlihat dari kemasan bertuliskan "Libido Super." Kemasan tersebut memperlihatkan seorang lelaki sedang merangkul serta mencumbui seorang wanita.

Jamu serta obat-obatan penambah stamina lelaki agaknya menjadi barang dagangan utama para penjual jamu di tempat itu. Fandi (22), yang sedang menggantikan ayahnya berjualan karena ayahnya sedang wiridan, mengiyakan.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Dari Kondom sampai 'Tisu Magic'

Kondom dan 'tisu magic' yang dijual oleh Herman Julis (65), salah satu penjual jamu di Jalan Nasional, Meulaboh, Ace Barat (Liputan6.com/Rino Abonita)
Kondom dan 'tisu magic' yang dijual oleh Herman Julis (65), salah satu penjual jamu di Jalan Nasional, Meulaboh, Ace Barat (Liputan6.com/Rino Abonita)

"Jika ada 10 orang yang datang, delapan di antaranya pasti mencari jamu kuat. 8:2 perbandingannya," jelas pemuda yang mengaku bekerja di salah satu perusahaan operator telekomunikasi seluler itu.

Ayahnya pernah mendapat keuntungan Rp1 juta lebih dalam semalam dari hasil menjual jamu serta obat-obatan penambah stamina saja. Adapun keuntungan rata-rata yang didapat biasanya Rp250 ribu ke atas.

"Kalau saya, Rp300 ribu, lah," jawab Herman, ketika Liputan6.com mengajukan pertanyaan yang sama.

Jamu penambah stamina lelaki 'biasa' dihargai Rp15 ribu satu gelas. Harga tersebut berlaku untuk semua merek, dan hanya diberi satu butir telur bebek untuk setiap gelasnya.

"Sementara, untuk yang 'spesial' dikasih dua butir telur bebek. Harganya Rp 20 ribu," jelas Fandi.

Untuk kapsul rata-rata dijual Rp5 ribu per butir. Terkadang, ada yang membelinya satu kotak penuh.

Fandi mengaku tidak keberatan ketika ayahnya meminta meladeni pelanggan yang datang, jika sewaktu-waktu dirinya sedang berhalangan. Toh, ia hanya perlu mencampurkan bahan yang sudah ada karena jamu-jamu tersebut dibeli ayahnya dalam bentuk siap saji.

"Kan, jamunya sudah ada, tidak perlu racik. Jamunya ini dibeli di Banda Aceh," terangnya.

Hal yang paling penting ialah kemampuan membedakan kualitas setiap merek jamu. Pelanggan lama biasanya tahu harus memesan merek yang mana, karena sudah hafal mana yang paling ampuh.

Seorang pelanggan yang enggan disebutkan identitasnya menjelaskan bahwa jamu yang bagus biasanya bereaksi lebih kurang 30 menit setelah diminum. Penggunanya boleh jadi akan mengalami perubahan seperti indera penglihatan yang agak mengabur, berasa sempoyongan, tidak ketinggalan mengalami ereksi.

"Sementara itu, senjata otomatis 'tegang' tanpa ba-bi-bu. Itu kalau jamu yang tokcer, ha-ha-ha," kekeh lelaki tersebut.

Selain jamu serta kapsul, dua dari tiga pedagang jamu di Jalan Nasional diketahui ikut menjual kondom serta 'tisu magic.' Namun, hanya Herman yang berani memampang alat kontrasepsi serta tisu yang berguna untuk anestesi tersebut secara terang-terangan.

"Ada juga, sih, cuma untuk pelengkap saja," Fandi tercengir ketika Liputan6.com bertanya apakah di dalam gerobaknya tersedia kondom dan 'tisu magic' atau tidak.

'Tisu magic' dihargai Rp5 ribu per bungkus. Tisu ini memiliki bentuk yang sama persis dengan tisu antiseptik, hanya saja mengandung benzocaine dan beberapa kandungan lainnya.

Dengan 'tisu magic', katanya alat kelamin akan mengalami ereksi yang lebih lama, serta dipercaya dapat mencegah ejakulasi dini. Kendati demikian, sebenarnya alat kelamin sedang mengalami baal alias mati rasa saat itu, karena kandungan benzocaine berfungsi memblokir sensasi rangsangan yang diterima reseptor.

Cara menggunakannya terbilang sederhana, hanya mengelap tisu tersebut ke permukaan alat kelamin secara merata. Reaksinya mulai muncul lebih kurang 5 menit setelahnya, yang diawali dengan rasa agak panas pada alat kelamin.

Memiliki Kode Rahasia

Herman Julis (65), penjual obat kuat di Jalan Nasional Meulaboh, Aceh Barat, sedang melayani pelanggan yang rata-rata laki-laki (Liputan6.com/Rino Abonita)
Herman Julis (65), penjual obat kuat di Jalan Nasional Meulaboh, Aceh Barat, sedang melayani pelanggan yang rata-rata laki-laki (Liputan6.com/Rino Abonita)

Pedagang obat kuat di Jalan Nasional punya cerita tersendiri tentang pelanggan-pelanggan mereka. Rata-rata pembeli yang datang lazimnya berumur 35 tahun ke atas, namun, tidak jarang datang pelanggan yang masih terbilang muda.

Ada pelanggan yang awalnya agak malu-malu kucing. Pelanggan jenis ini boleh jadi akan bercerita panjang lebar tentang dirinya yang baru saja menikah atau berputar-putar dalam pembicaraan yang ujung-ujungnya ingin mencoba jamu penambah stamina.

Ada pula yang rela menunggu para pelanggan yang lain pergi terlebih dahulu. Ketika semuanya telah beranjak, barulah ia mendekat, kemudian, dengan wajah lugu serta suara yang agak berbisik, "Bang, Bang, tolong bikin jamu untuk yang gitu-gitulah," tiru Herman.

Dari pelbagai pengalaman meladeni pelanggan, Herman akhirnya bisa membaca gerak-gerik mereka. Terutama kepada yang terlihat diam seperti orang kebingungan, ia sendiri yang akan menghampiri.

"Cari jamu keluarga, ya?" tawar Herman sambil menunjukkan kode dengan gerakan alis.

Ia pernah juga bertemu dengan pelanggan yang masa bodoh. Pelanggan jenis ini akan terang-terangan minta dibuatkan segelas jamu penambah stamina, sekalipun didengar oleh para pembeli di gerobak pedagang sebelah.

Cerita yang hampir sama datang dari Fandi. Ia mengaku sudah terbiasa bertemu dengan para pelanggan yang malu-malu seperti itu.

"Ada yang bilang begini, minta jamu sehat pria," tuturnya, padahal, jamu tersebut adalah jenis jamu yang berbeda.

Bagi Fandi, yang terpenting dirinya tidak menertawakan kode-kode mereka yang kadang terdengar aneh. Apabila dirinya masih mengambang dengan apa yang diucapkan oleh pelanggan, ia hanya perlu mempertegas, jamu mana yang dimaksud —jangan-jangan, yang diinginkan jamu sehat, yang dihidangkannya malah jamu 'kuat', alamat berabe, apalagi yang meminum orang yang tidak beristri atau masih lajang.

Sebagai persoalan klasik, seks dan semua yang berkaitan dengan eksistensinya menjadi keniscayaan, sejak zaman bahela hingga kiwari. Namun, seks beserta salah satu hal yang paling sering mengiringinya; keperkasaan, kerap ditemukan memiliki gambaran tak ekuatif, bahkan menunjukkan ironi dari aktivitas yang semestinya dapat dinikmati bersama-sama klimaksnya.

Diakui atau tidak, lelaki memiliki kecenderungan menunjukkan superioritasnya atas perempuan dalam urusan ranjang. Ini tidak lepas dari kenyataan bahwa mayoritas perempuan yang dituntut berkutat di dua lokus; dapur dan sumur, belakangan kembali ditunjuk untuk melakukan pengisbatan atas status keperkasaan pasangannya di atas kasur.

Dengan kenyataan bahwa kaum lelaki rela pergi ke sana ke mari, mendaki gunung, lewati lembah, demi keperkasaan, apakah tidak menunjukkan bahwa mereka sedang berusaha menyenangkan pasangannya? Atau, ini lagi-lagi hanya soal simbol kejantanan belaka, yang ujung-ujungnya malah menyeret perempuan ke dalam hubungan seksual yang hegemonik.

Hegemoni di Balik Mitos Kejantanan

Isi gerobak sorong salah satu penjual obat kuat di Jalan Nasional, Meulaboh, Aceh Barat (Liputan6.com/Rino Abonita)
Isi gerobak sorong salah satu penjual obat kuat di Jalan Nasional, Meulaboh, Aceh Barat (Liputan6.com/Rino Abonita)

 

Pakar Gender dan Seksualitas, Silfana Nasri, punya pandangan tersendiri tentang hal ini. Menurutnya, pelbagai upaya yang dilakukan oleh laki-laki untuk menjaga nama baiknya di atas ranjang bukanlah suatu reaksi spontanitas yang berdiri sendiri, namun, koheren, lebih tepatnya dipicu oleh pelbagai faktor, seperti, pengalaman dan budaya —termasuk ekspektasi budaya.

"Soal ranjang, itu kompleks, bukan cuma soal dua orang yang berhubungan. Laki-laki itu belajar, mempelajari, baik itu dari pengalaman, cerita dari mulut ke mulut, bahwa yang jantan adalah laki-laki yang mampu memuaskan pasangan, yang secara ranjang itu prima," ucap Silfana, lulusan Universitas Sussex, Inggris, ini.

Menurutnya, mitos-mitos kejantanan telah melembaga dan secara tidak langsung menciptakan budaya yang menempatkan laki-laki sebagai orang yang dituntut aktif dalam urusan ranjang. Ini berbanding terbalik dengan perempuan.

"Yang dituntut pasif atau pihak yang menerima. Bahkan, kalau perempuannya yang liar, itu dianggap kurang baik. Padahal, perempuan ingin menunjukkan seksualitasnya. Dianggap kurang baik karena ekspektasi budaya kita tadi, bahwa perempuan mesti pasif dari sisi seksualitas," terang Silfana.

Konsep yang telah tertanam ini secara tidak langsung telah menjadi beban bagi laki-laki, lantas dimanfaatkan sebagai ladang empuk oleh yang lain. Inilah yang kemudian menjadikan lazim fenomena ramainya penjual dan pembeli jamu atau obat-obatan yang menjanjikan keperkasaan.

"Karena ada laki-laki yang minder, misalnya, ih, punya aku kok kecil, punya aku kurang ini, kurang itu, padahal, mungkin, bagi perempuannya itu enggak masalah, cuma bagi laki-laki, karena ada tuntutan-tuntutan itu, dan dia belajar. Itu kayak tertanam, bahwa konsep jantan atau urusan ranjang itu, lelaki harus bisa memuaskan pasangannya. Padahal, mungkin pasangannya oke, cuma dianya yang merasa kurang," jelas Silfana.

Ketika seorang lelaki berpikir bahwa dirinya tidak mampu memenuhi ekspektasi yang berasal dari mitos-mitos tadi, maka ia rela mengambil risiko dengan mencoba pelbagai obat-obatan. Hal ini dapat menjadi benang merah mengapa hubungan seksual yang semestinya saling dinikmati malah bersulih jadi ajang pencarian pengakuan, dan pada tahap yang ekstrem, perempuan hanya menjadi juri.

Ekualitas dalam urusan ranjang tidak mungkin terjadi apabila lelaki hanya ingin menegaskan dominasinya, sebaliknya, perempuan hanya diberi ruang untuk melayani, tanpa diberi kesempatan untuk mencapai klimaks dengan caranya sendiri. Hubungan seksual yang hegemonik, seperti yang disinggung di awal-awal berawal dari sini.

"Masalah komunikasi, itu mempengaruhi ego si laki-laki," pungkas Silfana.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya