Liputan6.com, Palu - Lebih dari 2 tahun usai gempa dan tsunami yang melanda Palu dan Donggala, perekonomian nelayan kembali menggeliat. Pemenuhan kebutuhan melaut dari Intervensi kemanusiaan menjadi faktor penting pemulihan yang terjadi.
Di tepi Pantai Talise, Kelurahan Talise, Kota Palu, Arham (51 th) baru menambatkan perahu sema-semanya yang berukuran kurang dari satu GT usai semalaman melaut. Di tepian, sejumlah warga sudah menunggu untuk bernegosiasi membeli hasil tangkapannya.
Aktivitas jual beli ikan berlanjut di rumah pria 51 tahun itu di Jalan Domba, Kelurahan Talise. Di rumahnya, Arham sudah ditunggu pelanggannya. Tak sampai setengah hari sejak pukul 7 pagi, hasil tangkapan nelayan tangkap itupun ludes.
Advertisement
Baca Juga
Hari itu penyintas gempa dan tsunami tahun 2018 tersebut mendapat Rp270 ribu. Hasil yang rata-rata diraupnya setelah melaut.
“Kalau tangkapan banyak, pendapatan bisa sampai Rp300 ribu per hari,” Arham menceritakan.
Ketua Kerukunan Nelayan Talise itu mengakui situasi kini lebih baik jika dibanding empat bulan pertama pascabencana tahun 2018 lalu. Kala itu kata dia, para nelayan terpaksa beralih pekerjaan menjadi pemulung material sisa bencana untuk dijual kembali.
Nelayan Desa Tompe, Kabupaten Donggala, Aswat Utobembe (52 th) juga merasakan hal sama. Ketua Kelompok Nelayan Tompe itu mengaku rata-rata perhari nelayan setempat kini bisa mendapat Rp200 ribu. Dia bercerita, setahun lalu, dia dan ratusan nelayan di desanya terpaksa meninggalkan laut untuk kerja bangunan, sebagian bahkan meninggalkan desa lantaran kehilangan rumah, perahu, dan alat tangkap ikan karena tsunami.
“Alhamdulillah setelah kami punya perahu lagi, kami bisa mendapat penghasilan tetap lagi,” Aswad menuturkan, di Desa Tompe, Minggu (20/12/2020).
Baik Arham maupun aswad mengakui kondisi mereka jauh berubah setelah mereka mendapat bantuan perahu sebagai sarana mereka melaut.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Kolaborasi Ala Nelayan dan Kiara
Bagi lembaga Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) yang mendampingi nelayan penyintas bencana di Teluk Palu dan Desa Tompe Donggala sejak akhir tahun 2018, kondisi itu menunjukkan kemandirian ekonomi yang terbangun berkat kolaborasi sukarelawan dan penyintas.
Koordinator Kiara Sulteng, Yusri, bercerita selama mendampingi nelayan, perahu untuk melaut kembali menjadi impian penyintas di pesisir Donggala dan Palu untuk memulihkan ekonomi, kendatipun pekerjaan lain mereka lakoni di masa-masa darurat setelah bencana.
“Catatan kami ada 7.000 kapal dan perahu nelayan di Palu dan Donggala yang rusak karena tsunami tahun 2018 lalu, sementara sebagai nelayan, mencari ikan dengan melaut adalah sumber ekonomi utama mereka,” kata Yusri di pesisir Desa Tompe, Minggu (20/12/2020).
Itu sebab sejak akhir tahun 2018 usai bencana terjadi Kiara menyupayakan mimpi nelayan itu terwujud dengan pendekatan partisipatif penyintas. Nelayan menentukan sendiri model perahu dari kearifan lokalnya agar terbangun rasa memiliki sepenuhnya terhadap perahu-perahu yang mereka terima.
Dengan pendekatan itu Yusri bilang hingga Desember tahun 2020 total telah ada 650 perahu dan 500 mesinnya yang digunakan nelayan di lima wilayah pesisir di Kota Palu dan Donggala, yakni di Kelurahan Lere, Pantoloan, Mamboro, Talise, dan Desa Tompe.
Dengan terpenuhinya kebutuhan melaut nelayan itu yusri menyebut penyintas bencana di pesisir bisa berdaya memulihkan kondisi sosail ekonominya seperti sedia kala sebelum bencana melanda.
“Bagi Kiara, menumbuhkan jati diri nelayan untuk bisa bangkit dan kembali melaut itu yang penting, hingga dinamika ekonomi dan sosial kembali tumbuh di pesisir,” Yusri memungkasi.
Advertisement