2 Tahun Tsunami Palu: Kebangkitan Penyintas dalam Upaya Relokasi Mandiri

Dua tahun usai bencana gempa dan tsunami Palu, penyintas di pesisir terus bangkit setelah terpuruk. Seperti yang ditunjukkan oleh para penyintas di Kelurahan Mamboro Barat yang memilih relokasi mandiri demi tetap dekat dengan sumber ekonomi mereka, yakni laut.

oleh Heri Susanto diperbarui 29 Sep 2020, 00:00 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2020, 00:00 WIB
lokasi relokasi mandiri penyintas di kelurahan mamboro
Emilia (36 th) seorang penyintas gempa-tsunami Palu di Kelurahan Mamboro saat berada di lokasi huntap relokasi mandiri yang berjarak 200 meter dari pesisir pantai, Sabtu (26/9/2020). (Foto: Liputan6.com/ Heri Susanto).

Liputan6.com, Palu - Dua tahun usai bencana gempa dan tsunami Palu, penyintas di pesisir Palu terus bangkit setelah terpuruk. Seperti yang ditunjukkan oleh para penyintas di Kelurahan Mamboro Barat yang memilih relokasi mandiri demi tetap dekat dengan sumber ekonomi mereka, yakni laut.

Sore itu, Emilia (36) bersama suaminya dan para pekerja dari Kelurahan Mamboro Ikan tengah berjibaku menyelesaikan hunian tetap (huntap) mereka di Kelurahan Mamboro Barat. Kegiatan itu sudah dilakukannya sejak awal Februari 2020, setelah pemerintah Kota Palu dan pihak PUPR merestui skema relokasi mandiri yang digagas warga. 

Lokasi relokasi yang dipilih warga berada sekitar 200 meter arah timur dari Pantai Mamboro, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu. Sebanyak 39 kepala keluarga dari Kelurahan Mamboro Barat, yang menjadi lokasi terparah diterjang tsunami yang terjadi 2 tahun lalu, mendirikan hunian tetapnya di lokasi seluas 5.000 meter persegi itu.

Di lokasi tersebut, telah berdiri 10 rumah panggung dan 29 rumah tapak dengan kombinasi panel RISHA dan konvensional untuk memastikan bangunan-bangunan itu tahan gempa.

Emilia bilang dia dan puluhan warga lainnya memilih relokasi mandiri lantaran tidak bisa jauh dari laut yang menjadi sumber ekonomi mereka kendatipun pemerintah telah menyiapkan hunian tetap di Kelurahan Tondo sekitar 5 kilometer dari permukiman mereka. Uniknya, lahan relokasi itu dibeli warga secara berkelompok dengan cara patungan.

"Mata pencarian warga di sini (Mamboro Barat) di antaranya nelayan, penjemur ikan. Makanya, kami memilih relokasi mandiri supaya tidak jauh dari laut," kata Emilia di lokasi huntap mandirinya, Sabtu (26/9/2020).

Warga tidak sendiri, mereka didampingi Yayasan Arsitek Komunitas (Arkom) Indonesia. Mulai dari perencanaan hingga pembangunan hunian, warga didampingi Arkom dengan pendekatan partisipatif.

Rumah-rumah di lokasi itu sebagian bergaya panggung khas hunian warga pesisir. Masing-masing rumah dicat berbeda oleh pemiliknya yang menjadikan kompleks hunian itu berwarna-warni yang menyimbolkan keberagaman.

Dengan skema itu, warga dipercaya oleh BPBD Kota Palu mengelola dana stimulan pembangunan rumah yang menjadi hak mereka, tetapi dengan konsep dan penataan kawasan berdasarkan rancangan warga yang difasilitasi Arkom Indonesia.

"Relokasi mandiri di Mamboro adalah kerja sama warga yang difasilitasi Arkom Indonesia dan BPBD Palu. Dengan skema itu warga di sana bisa menggunakan dana stimulan untuk pembangunan. Itu contoh baik dan bisa direplikasi di kawasan lain," Kepala BPBD Palu, Singgih Prasetyo menjelaskan, Senin (28/9/2020).

Simak video pilihan berikut ini:

Jalan Tengah Kebijakan Pemerintah dan Kebutuhan Warga Pesisir

Direktur Arkom Indonesia, Yuli Kusworo
Direktur Arkom Indonesia, Yuli Kusworo, saat memberi keterangan kepada sejumlah jurnalis di lokasi huntap relokasi mandiri di Kelurahan Mamboro Barat, Sabtu (26/9/2020). (Foto: Liputan6.com/ Heri Susanto).

Direktur Yayasan Arkom Indonesia, Yuli Kusworo mengungkapkan, berdirinya huntap bagi penyintas di Kelurahan Mamboro itu, adalah bukti berdayanya warga dalam upaya rehabilitasi dan rekontruksi pascabencana secara mandiri.

Yuli bercerita pendampingan terhadap warga yang dilakukan pihaknya sejak masa tanggap darurat hingga pemulihan untuk mendorong warga mencari solusi alternatif dari kebijakan pemerintah. Saat itu, kebijakan tersebut dinilainya belum memenuhi kebutuhan penyintas di pesisir. Terutama, setelah terbitnya larangan membangun di kawasan pesisir Palu pascatsunami sejauh 100 meter dari garis pantai.

Selain merumuskan gagasan alternatif, warga di kawasan itu juga mendapat pengetahuan mulai dari pengelolaan kawasan berbasis mitigasi bencana hingga membangun rumah tahan gempa dengan model Rumah Instan Sederhana dan Aman (RISHA) yang sesuai dengan harapan warga. Bahkan, panel-panel RISHA untuk hunian di lokasi huntap mandiri di Mamboro itu adalah buatan warga sendiri setelah mendapat pelatihan dari Arkom Indonesia.

"Ini bukti masyarakat sebenarnya punya kemampuan untuk bangkit dan berpartisipasi. Kuncinya ada dipendampingan untuk peningkatan kapasitas penyintas," kata Direktur pelaksana Yayasan Arkom Indonesia, Yuli Kusworo, Sabtu (26/9/2020).

Kini 2 tahun pascabencana yang terjadi pada 28 September 2018, skema relokasi mandiri menjadi harapan bagi warga di Kawasan mamboro ikan untuk membangun kehidupannya tanpa menghilangkan kearifan lokal dan budayanya. Model relokasi serupa juga dapat jadi contoh bagi kawasan lain di pesisir yang terdampak bencana di Sulawesi Tengah.

"Ini juga bentuk penghargaan kearifan lokal yang ada di pesisir. Model relokasi mandiri seperti ini juga sangat mungkin diterapkan di kawasan lainnya. Dan warga di Mamboro Barat yang sudah bangkit bisa menjadi pembimbing. Mereka sudah paham benar menjalankan skema relokasi mandiri," Yuli menandasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya