Liputan6.com, Pekanbaru - Mahkamah Agung (MA) memutuskan surat eksekusi 3.323 hektare kebun sawit masyarakat dan PT Peputra Supra Jaya di Desa Gondai, Kabupaten Pelalawan, tidak sah. Namun, Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat sebagai eksekutor tetap ingin melanjutkan eksekusi lahan menggunakan alat berat itu.
Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Pelalawan mengatakan putusan pidana soal lahan itu sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap. Baginya tidak ada alasan penundaan meskipun ada upaya hukum lainnya termasuk putusan MA terkait surat eksekusi lahan itu.
Advertisement
Baca Juga
"Menurut pandangan kami selaku eksekutor, pemulihan kawasan hutan sebagai tindak lanjut harus tetap dilaksanakan," ujar Riki, Sabtu petang, 20 Maret 2021.
Putusan pidana itu tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung RI No 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 tertanggal 17 Desember 2018. Putusan itu berisi tentang instruksi mengembalikan lahan kepada negara melalui Dinas Kehutanan dan Lingkungan (DLHK) Hidup Provinsi Riau Cq PT Nusa Wana Raya.
Baru-baru ini, MA juga mengeluarkan putusan di bidang Tata Usaha Negara (TUN) Nomor 595 K.TUN/2020. Putusan itu menyatakan surat perintah tugas nomor 096/PPLHK/082 tanggal 10 Januari 2020 untuk pengamanan atau eksekusi lahan sawit oleh DLHK batal atau tidak sah.
Terkait ini, Riki menyatakan putusan MA dalam peradilan pidana dan peradilan TUN merupakan hal berbeda, bahkan tidak berhubungan karena beda objek.
Â
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Pendapat Ahli Hukum
Hal senada juga disampaikan pengamat hukum dari Universitas Riau, Mexsasai Indra. Ia berpendapat tak ada korelasi atau saling berkaitan antara putusan pidana (eksekusi) dan putusan TUN meskipun satu peristiwa hukum.
"Secara filosofis adanya putusan TUN, tidak dimaksudkan melakukan tindakan korektif terhadap putusan dalam peristiwa pidananya," kata Mexsasai.
Berdasarkan pengamatannya, objek perkara TUN terkait dengan surat tugas DLHK Provinsi Riau terkait eksekusi. Surat itu merupakan implementasi atau tindak lanjut atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sementara dalam perkara pidananya, tambah Mexsasai, objek gugatannya tidak memenuhi unsur sebagai keputusan TUN sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Menurut Mexsasai, DLHK Riau memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti putusan tersebut. Karena dari pendekatan kewenangan lingkup materi merupakan kewenangan dari KLHK Cq DLHK Provinsi Riau.
"Karena dalam putusan pidananya secara eksplisit menyatakan bahwa areal yang menjadi objek dikembalikan kepada negara, sehingga keadaan hukumnya dikembalikan kepada negara dengan landasan filosofis Pasal 33 ayat (3) UUD 1945," katanya.
"Jadi dari case (kasus) posisinya saya berpandangan bukan privat to privat tapi adanya pelanggaran terhadap public domain yang dinormakan oleh negara sebagai sesuatu yang dilarang,"Â ujarnya.
Advertisement