Hari Kartini, Ini 6 Sosok Perempuan Pejuang Feminis Indonesia

Hari Kartini bukan hanya seremonial belaka, 21 April perlu dijadikan momen kebangkitan perempuan Indonesia.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 21 Apr 2022, 09:32 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2022, 07:00 WIB
feminisme
Gambar Ilustrasi Feminisme

Liputan6.com, Jakarta - Tiap tanggal 21 April, masyarakat Indonesia memperingati Hari Kartini, sebagai bentuk penghormatan kepada sosok Raden Adjeng Kartini, seorang pejuang emansipasi perempuan Indonesia. Dikutip laman Kemdikbud, RA Kartini sendiri lahir dari keluarga bangsawan dari seorang ayah yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai Bupati Jepara dan Ibunya bernama MA Ngasirah. 

Sebagai seorang bangsawan, RA Kartini berhak memperoleh pendidikan. Ayahnya kemudian menyekolahkan Kartini di ELS (Europese Lagere School). Di sana RA Kartini belajar bahasa Belanda. Lantaran tradisi ketika itu, anak perempuan harus tinggal di rumah untuk ‘dipingit’, maka Kartini hanya bersekolah hingga usia 12 tahun.

Di sinilah sejarah perjuangan RA Kartini bermula. Selama tinggal di rumah, Kartini belajar sendiri dan mulai menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda. 

Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari Abendanon, Kartini mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang kemajuan berpikir perempuan Eropa. Lalu timbulah keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu memiliki status sosial yang amat rendah.

Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan Eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa Belanda. Di usinya yang ke-20, Kartini banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa Belanda, selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.

Kartini juga mulai banyak membaca De Locomotief, surat kabar dari Semarang yang ada di bawah asuhan Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan majalah yang dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya terdapat majalah-majalah tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. 

Kartini kecil sering juga mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah satu majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie. Buku-buku bertulisan belanda tersebut membuat pikiran Kartini semakin terbuka dan semakin maju.

Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. 

Pada tanggal 12 November 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang telah memiliki tiga istri.

Dari pernikahannya, Kartini dikaruniai seorang anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Beberapa hari setelah melahirkan, tepatnya pada 17 September 1904, Kartini menghembuskan napas terakhirnya di usianya yang ke-25 tahun. Dia dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. 

Dari gambaran perjalanan hidupnya itu, mental Kartini dibentuk untuk menjadi 'role model' perempuan Indonesia yang tangguh dan punya posisi tawar di tengah masyarakat. Perjuangan Kartini memang sudah selesai, namun bukan berarti perjuangan melawan opresi terhadap perempuan berhenti. Di bidang kebudayaan, akan ada banyak perempuan feminis yang lahir untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya.

 

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Perjuangan Perempuan Indonesia Belum Selesai

Berikut 6 profil perempuan feminis Indonesia seperti dirangkum tim Liputan6.com, Kamis (21/4/2022): 

Gadis Arivia

Perempuan kelahiran New Delhi 1964 ini mengawali pendidikannya pada 1974 di British Embassy School, Hungaria. Gadis Arivia mendapat gelar S3 dari Universitas Indonesia, Jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya pada 2002. Dirinya merupakan Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, yang merupakan jurnal pertama di Indonesia yang fokus pada feminisme dan berbagai persoalan perempuan. Lewat berbagai tulisannya, Gadis Arivia terus berjuang membicarakan persoalan perempuan, dan menjadikan hal tersebut sebagai persoalan pokok yang perlu diatasi. Selain menulis dan mengajar, dirinya juga pernah terlibat dalam pembuatan film dokumenter yang berjudul ‘Perempuan di Wilayah Konflik’ pada 2002.

Aquarini Priyatna Prabasmoro

Jika ada yang menganggap bahwa feminisme adalah gerakan yang ingin mendongkel dan melebihi kedudukan laki-laki, Aquarini adalah orang yang paling depan menentangnya. Bagi dirinya, feminisme adalah gerakan yang mengkritisi adanya ketimpangan dalam struktur sosial masyarakat. Mengambil studi Kajian Perempuan di Universitas Indonesia, dan sempat belajar Feminis Cultural Theory and Practise di Lancaster Uiversity, Inggris, dan program doktoral Feminist Cultural Studies di Monash University, Australia, membuat dirinya makin cemerlang sebagai perempuan yang terus mengkritisi persoalan kaumnya dari kacamata kebudayaan.

 

Toety Heraty

Akademisi yang lulus sebagai Doktor Filsafat dari Universitas Indonesia ini dianggap sebagai salah satu pemikir feminis generasi pertama di Indonesia. Dirinya banyak menulis pemikiran tentang perempuan, termasuk dalam berbagai karya fiksinya. Toety Heraty pernah menjabat sebagai Ketua Yayasan Mitra Budaya Indonesia, dan pada 1998, dirinya mendirikan Jurnal Perempuan. Sepanjang hidupnya Toety Heraty mengabdikan dirinya pada Suara Ibu Peduli, yaitu organisasi non-pemerintah yang memperjuangkan pemberdayaan perempuan.

Ayu Utami

Usai kemenangannya dalam sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta, nama Ayu Utami sebagai salah satu sastrawan muda perempuan makin mencuat. Berbagai karya fiksinya yang membicarakan persoalan perempuan menjadi tren dan menginspirasi penulis lainnya untuk tidak lagi tabu memandang persoalan perempuan. Ayu Utami adalah pejuang feminisme yang bersenjatakan kata-kata.

 

 

Ratna Sarumpaet

Terlepas dari kasus hoaks yang menjeratnya dalam Pilpres lalu, aktivis perempuan pro-demokrasi ini selalu vokal terhadap permasalahan yang menimpa kaumnya. Naskah drama ‘Marsinah: Nyanyian dari Bawah tanah’ menjadi karya pertamanya yang lahir dan terjun langsung mencari duduk perkara yang jelas tentang kasus pembunuhan Marsinah, seorang buruh yang ditembak kemaluannya hanya karena menuntut kenaikan upah Rp500 saja. Bagi Ratna Sarumpaet, satu naskah drama Marsinah, efeknya setara dengan 10 paper yang membicarakan tentang persoalan perempuan.

Kalis Mardiasih

Nama Kalis Mardiasih mencuat sebagai seorang feminis setelah cuitan dan pemikirannya di media sosial menghantam tepat ke jantung patriarkis. Dikenal sebagai penulis banyak buku, Kalis Mardiasih juga menjadi anggota Sekretariat Nasional Jaringan Nasional Gusdurian, kelompok fanatisme yang mencintai pemikiran Gusdur. Dalam berbagai kesempatan, perempuan asal Yogyakarta ini kerap menyuarakan isu-isu perempuan yang selalu teropresi dengan hal-hal yang bahkan mengatasnamakan agamanya sendiri. Dalam salah satu bukunya, Muslimah yang Diperdebatkan (2019), Kalis berani mendobrak kungkungan patriarki yang mengatasnamakan ajaran Islam. Karena Kalis meyakini bahwa Islam merupakan agama keadilan yang mempromosikan kesetaraan untuk semua manusia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya