BNPB Sebut Penyempitan Badan Sungai Jadi Faktor Utama Banjir Garut

Plt Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan (BNPB) Abdul Muhari

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Jul 2022, 11:00 WIB
Diterbitkan 26 Jul 2022, 11:00 WIB
Kondisi Pemukiman Warga Pasca Banjir Garut
Warga membersihkan lumpur sisa dari banjir bandang Garut di kawasan Cimacan, Desa Jayaraga, Kecamatan Tarogong Kidul, Sabtu (16/7/2022). Pemda Garut, Jawa Barat menyatakan status darurat banjir setelah 8 kecamatan di wilayah tersebut terendam banjir usai Sungai Cimanuk dan beberapa anak sungainya meluap. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Jakarta - Penyempitan badan sungai menjadi faktor penyebab banjir dan longsor di Garut, Jawa Barat. Hal itu diungkapkan Plt Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penaggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari, Selasa (26/7/2022).

"Penyempitan badan sungai tersebut berdasarkan pantauan survei udara melalui pesawat nirawak," katanya. 

Penyempitan badan sungai ini, katanya, meskipun dilindungi oleh tanggul, pada sisi debit hulu ekstrem ini tidak mampu, tanggul ini tidak mampu menahan luapan debit air. Sehingga, faktor utama dari penyempitan badan sungai menjadi catatan penting untuk dilakukan mitigasi jangka panjang.

Dari pengamatan tersebut, Abdul mengungkapkan kawasan yang tersapu banjir memiliki keunikan, yakni sisi kiri berupa persawahan dan sisi kanan pemukiman.

"Sebenarnya masih bisa kita rekayasa secara keteknikan, baik dari berbasis ekosistem maupun struktur untuk bisa membuat mitigasi bencana banjir di lokasi ini ke masa depan lebih baik lagi," kata dia.

Abdul menjelaskan bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Garut pada 15 Juli 2022, menyebabkan 19.546 jiwa terdampak mengungsi di 12 titik pengungsian.

Kabupaten Garut memiliki grafik kejadian bencana tanah longsor sangat tinggi karena berada pada kontur berbukit. Dari sisi historis kejadian di BNPB dari tahun 2012 sampai 2021, tanah longsor mendominasi kejadian bencana di Garut dengan 116 kejadian, disusul banjir dan angin puting beliung.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Upaya Penghijauan

Pola kejadian bencana di Kabupaten Garut mengikuti musim hujan. Secara geografis Kabupaten Garut dibangun atau terletak di daerah kawasan yang dikelilingi perbukitan dengan kecuraman cukup tinggi, sehingga ekosistem di daerah perbukitan yang harus dijaga supaya daerah resapan air di hulu dan daerah aliran sungai yang terkonservasi dengan baik bisa mengurangi risiko bencana banjir.

Selain intensitas hujan yang cukup tinggi, tutupan lahan hijau di daerah hulu yang makin berkurang. Dari citra satelit mulai tahun 2000 hingga 2022, daerah resapan air makin menipis.

BNPB mendukung pemerintah daerah dalam upaya penanaman kembali dan penghijauan kembali dilakukan untuk solusi jangka panjang agar terhindari dari banjir.

Kata Walhi Jabar

Terkait adanya dugaan pembabatan hutan di hulu Sungai Cimanuk sebagai penyebab banjir Garut, Direktur eksekutif Walhi Jabar Meiki W Paendong saat dihubungi Liputan6.com, beberapa mengatakan, Pemda perlu membuka data soal seberapa luas lahan yang dibabat dan dimana, sehingga tidak terkesan hanya melempar isu sepintas saja lalu dilupakan. Meiki mendorong Pemda melakukan langkah konkret, jika memang benar-benar ditemukan ada unsur perusakan lingkungan yang menyebabkan banjir. 

"Jangan juga hanya menyalahkan intensitas hujan yang tinggi, intensitas hujan yang tinggi dalam waktu berhari-hari itu bukti nyata adanya perubahan iklim. Masyarakat kan menganggapnya jadi kok alam yang disalahkan. Padahal bukan alam, sebenarnya ya aktivitas manusia sendiri juga yang menyebabkan pemanasan global dan berujung perubahan iklim," katanya.

Meiki mengatakan, untuk kasus banjir Garut kemarin, pihaknya belum bisa memastikan apa penyebab yang memicu air sungai meluap dan melimpas ke permukiman warga. "Kami belum berani mengatakan bahwa di sana ada alih fungsi lahan sebagai penyebab air sungai meluap. Namun yang pasti sungai tak mampu menampung air hujan sehingga meluap. Kami sedang menginvestigasi," katanya.

Namun berkaca dari peristiwa kelam banjir bandang Garut 2016, Meiki mengatakan, seharusnya pemerintah daerah memetik pelajaran berharga dari peristiwa yang sudah terjadi. Menurut hasil investigasi Polda waktu itu (2016), kata Meiki, penyebab banjir bandang adanya dugaan kegiatan usaha yang banyak mengalihfungsikan lahan di hulu Sungai Cimanuk. Namun demikian, selang beberapa tahun usai kejadian itu tidak ada tindakan pencegahan agar kejadian serupa tidak terjadi lagi.  

"Harusnya ada tindakan, misalnya upaya yang sifatnya vegetasi atau penghijauan, atau misalnya si pelaku usaha ini tidak boleh melakukan lagi kegiatan besar di situ. Dan tempatnya harus dikembali ke fungsi awal lewat pendekatan vegetasi. Sekarang kan harusnya melihatnya ke situ," katanya

Jika misal pemda dan pihak berwenang sudah melakukan tindakan vegetasi di kawasan Mandalagiri hulu Sungai Cimanuk, yang diduga terjadi perambahan hutan, lalu masih banjir kembali terulang, maka perlu diyakini bahwa banjir memang karena faktor hujan yang ekstrem, selain juga adanya sedimentasi Sungai Cimanuk bertahun-tahun, dan ditambah banyaknya permukiman yang berada di kanan kiri sungai.

"Banjir hari ini menjadi bukti dari perencanaan 10-20 tahun sebelumnya yang tidak memperhatikan faktor lingkungan. Membiarkan misalnya, kawasan permukinan berada di kanan kiri sungai, yang sebenarnya sungai memiliki daya rusak. Di saat dia meluap dia akan limpas," katanya.

Meiki mewakili Walhi Jabar berharap, pada akhirnya pemerintah harus melakukan adaptasi dan mitigasi, agar kejadian serupa tidak terus terulang di kemudian hari. Bentuk adaptasi yang dimaksud adalah dengan menerapkan mitigasi itu sendiri. Yaitu dengan mau tidak mau manusia harus beradaptasi dengan alam, merencanakan praktik-praktik pengurangan risiko bencana, misal dengan menempatkan sistem peringatan dini di hulu sungai. Tentu dengan beragam pendekatan, mulai dari pendekatan teknologi, kelembagaan, dan membentuk komunitas-komunitas yang nantinya bekerja melakukan pemantauan. 

"Tapi yang terpenting, perubahan iklim harus menjadi isu yang perlu diangkat," katanya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya