Liputan6.com, Jakarta - Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 memuat pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam pendirian rumah ibadah. Peraturan yang lebih dikenal dengan sebutan SKB 2 Menteri ini menjadi acuan di seluruh Indonesia dalam proses perijinan pendirian tempat ibadah.
Peraturan tersebut memuat syarat yang harus dipenuhi yakni harus 90 orang yang menggunakannya dalam satu lingkungan atau pemukiman. Syarat lainnya adalah harus mendapat persetujuan dari 60 orang warga di sekitar lokasi pembangunan tempat ibadah.
Lantas bagaimana jika dalam satu kawasan, desa atau kelurahan, ada agama yang tidak memiliki pengikut sebanyak itu? Bagaimana pula jika terjadi penolakan pendirian tempat ibadah oleh warga?
Advertisement
Baca Juga
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara punya kebijakan sendiri soal pendirian rumah ibadah. Beberapa penolakan pun bisa diselesaikan dengan membangun komunikasi yang baik.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Kutai Kartanegara Rinda Desianti menjelaskan peraturan dua Menteri soal pendirian rumah ibadah dan bangunan yang dijadikan rumah ibadah sementara. Pengaturan tersebut berkaitan dengan upaya menjaga agar masyarakat sekitar terlibat dalam pendirian rumah ibadah.
“Terlibat dalam pengertian bahwa memang harus ada yang disebut izin lingkungan,” kata Rinda.
Peraturan dua menteri tersebut memuat aturan harus ada 90 umat beragama yang akan menggunakan rumah ibadah. Di sisi lain juga harus izin minimal 60 orang warga sekitar.
Merujuk hal itu, di beberapa tempat terkadang memang tidak terpenuhi. Di kabupaten ini, paling sering yang terbentur adalah aturan soal pengguna rumah ibadah yang tak sampai 90 orang.
Meski demikian, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara punya kebijakan sendiri soal pendirian rumah ibadah. Kebijakan tersebut diambil karena kondisi geografis kabupaten ini yang sangat luas.
“Saya sampaikan kepada kawan-kawan, kita melihat konteksnya. Kalau dalam satu desa atau kelurahan itu pemeluk agama tertentu tidak memenuhi syarat jumlah, kita perluas menjadi kecamatan. Kalau jumlahnya tidak cukup lagi, kita tarik ke Kabupaten,” papar Rinda.
Bagi Kutai Kartanegara, syarat di peraturan dua menteri tidak harus saklek. Kondisi sosiologis dan geografis sangat penting menjadi pertimbangan.
“Kalau kemudian kita terlalu saklek mengikuti (syarat) 90 pengguna kan akan menjadi persoalan, akan sulit kawan-kawan kita punya rumah ibadah,” katanya.
Soal penolakan rumah ibadah, Rinda tidak menampik pernah terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara. Namun kebijakan pemerintah yang dibuat serta pendampingan kepada masyarakat, ibadah di tempat sementara seperti rumah warga tetap bisa terlaksana.
“Tapi bisa kita selesaikan bersama-sama dengan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). Ada, (peristiwa itu) ada,” sebutnya.
Meski tidak menyebut lokasi persisnya, namun Rinda menjelaskan kasus tersebut adalah bangunan yang dijadikan rumah ibadah sementara. Pendirian rumah ibadah sementara juga ada syaratnya di aturan tersebut.
“Kami mencoba selalu menjembatani, mengkomunikasikan berkaitan dengan misalnya kalau ada masalah-masalah seperti itu kita turun, kita komunikasikan dengan pemerintah setempat, tokoh agama, tokoh masyarakat,” kata Rinda.
Upaya ini adalah langkah Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara agar kehidupan masyarakat tetap kondusif dan mengedepankan nilai-nilai toleransi. Meski demikian, rumah ibadah tetap harus mendapatkan izin terutama dari sisi adminsitrasi dan lingkungan.
“Rata-rata kendalanya itu soal komunikasi saja. Tapi ketika komunikasi sudah bagus akhirnya diizinkan,” ujarnya.
Simak juga video pilihan berikut:
Vihara Pertama
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2021, Umat Budha di Kabupaten Kutai Kartanegara hanya berjumlah 238 jiwa. Jika diprosentasekan, hanya 0,03 persen dari total penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara yang mencapai 741.950 jiwa pada Juni 2021.
Jumlah Umat Buddha tersebut tersebar di seluruh penjuru kabupaten yang luasnya 41 kali luas DKI Jakarta. Perlu diingat, Kabupaten ini memiliki 20 kecamatan.
Berdasarkan peraturan dua menteri, pemeluk Buddha tidak akan pernah bisa memiliki rumah ibadah. Bahkan di Kecamatan Tenggarong, ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara dan terpadat, jumlah pemeluknya tak sampai 90 orang.
“Kalau kita terlalu saklek dengan aturan 90 pengguna, ini akan jadi persoalan. Akan sulit saudara kita umat Buddha punya rumah ibadah,” kata Rinda.
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara langsung membuat kebijakan sendiri agar Vihara pertama di kabupaten kaya sumber daya alam ini bisa berdiri. Sebab selama ini, penganut Buddha harus beribadah ke Samarinda atau Balikpapan yang cukup jauh.
“Kami juga kan menginginkan punya vihara juga,” ujarnya.
Atas dasar itu, pemerintah bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kemudian mengkomunikasikan rencana pendirian Vihara tersebut. Upaya membantu proses perizinan, termasuk izin lingkungan, juga dibantu dan dikerjakan bersama-sama.
“Karena kalau mereka bicara tentang 90 pengguna untuk satu wilayah kelurahan atau desa, tidak bisa terpenuhi. Bisa terpenuhi pada level kabupaten,” papar Rinda.
Komunikasi yang baik menjadi kunci sukses pembangunan rumah ibadah bagi kaum minoritas di Kabupaten Kutai Kartanegara. Setiap persoalan sekecil apapun, langsung dibicarakan tanpa menunggu jadi bola salju.
Rencananya, pembangunan Vihara di Kota Tenggarong dibangun di sebuah kawasan yang disebut Gunung Sentul.
“Sudah, (izinnya) sudah dibantu. Termasuk izin lingkungan juga sudah,” katanya.
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sedang menunggu pengurus umat Buddha menyelesaikan desain Vihara yang akan dibangun. Sebab jika desan Vihara selesai, proses pembangunan akan dimulai dengan kegiatan peletakan batu pertama.
“Vihara juga mau dibantu oleh Bupati. Karena beberapa kali saya memfasilitasi pertemuan dengan pengurus buddha, terjadi dialog dan segala macam,” ujar Rinda.
Advertisement
Komunikasi adalah Kunci
Banyak cara dan kebijakan yang diambil Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara agar kehidupan umat beragama bisa harmonis. Dialog dan komunikasi yang rutin menjadi kunci keharmonisan tersebut.
Kepala Badan Kesbangpol Kabupaten Kutai Kartanegara Rinda Desianti mengajak semua pihak harus lebih bijak untuk melihat keberadaan tempat ibadah. Jika ditempatkan pada konteks yang benar, maka akan menjadi simbol keharmonisan itu.
“Sebenarnya ini semua dalam rangka agar saudara-saudara kita yang minoritas itu nyaman di Kutai Kartanegara,” sebutnya.
Upaya dialog dan komunikasi mengenai pelaksanaan sikap toleransi sudah dijalankan di tingkat FKUB Kutai Kartanegara. Forum ini sendiri berisikan tokoh agama dan tokoh masyarakat yang jumlahnya mencapai 17 orang.
FKUB di tingkat kecamatan pun sudah terbentuk. Target saat ini yang ingin segera dicapai adalah FKUB di tingkat desa atau kelurahan.
“Kepengurusan FKUB mewakili agama-agama yang ada di Kutai Kartanegara dan itu di bawah koordinasinya Kesbangpol,” katanya.
Berdasarkan data BPS pada Juni 2021, penduduk Kutai Kartanegara mencapai 741.950 jiwa. Islam sebagai agama mayoritas dengan jumlah 685.315 jiwa atau 92,37 persen.
Pemeluk Kristen sebanyak 40.173 jiwa (5,41%), Katolik 13.613 jiwa (1,83%), dan Hindu 2.523 jiwa (0,34%). Pemeluk aliran kepercayaa sebanyak 81 jiwa (0,01%), serta ada 7 jiwa pemeluk Konghucu.
“Kita lagi mencari penganut konghucu untuk melengkapi agama-agama yang diakui di Indonesia,” kata Rinda sambil tersenyum.
Harus diakui, upaya Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dalam membina kerukunan umat beragama sangat baik. Kebijakan yang diambil terkait kehidupan dan kerukunan umat beragama patut mendapat apresiasi.
Rinda mengakui, kebijakan memperluas kawasan untuk memenuhi syarat jumlah pemeluk agama untuk mendirikan rumah ibadah tidak tertuang dalam Peraturan Bersama 2 Menteri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 itu.
“Itu kebijakan kami,” katanya singkat.
Setiap masalah antar pemeluk agama di Kutai Kartanegara, sambungnya, sebenarnya hanya persoalan komunikasi. Jika pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat rutin berkomunikasi, jalan keluar atas setiap masalah akan mudah ditemukan.
“Rata-rata kendalanya soal komunikasi saja, yang penting buat saya semuanya nyaman saja. Warga kan juga sebenarnya ingin mencari jalan tengah yang baik untuk membangun kebersamaan,” ujarnya.