Titi, Tato Tertua di Dunia Ada di Suku Mentawai Sumatra Barat

Tato atau seni rajah di Suku Mentawai Sumatra Barat ini dikenal sebagai tato tertua di dunia.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 17 Okt 2022, 02:00 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2022, 02:00 WIB
[Bintang] Suku Mentawai
Suku Mentawai | Via: istimewa

Liputan6.com, Padang - Bagi sebagian orang, tubuh merupakan media untuk mengeskpresikan sebuah karya seni. Hal tersebut terwujud dari adanya aktivitas dekorasi, seperti body painting dan tato.

Sebagai ekspresi diri, tato memiliki makna tersendiri bagi pemiliknya. Bahkan, tato juga dianggap sebagai sesuatu yang memiliki makna sakral bagi salah satu suku di Indonesia, yakni Suku Mentawai.

Dalam jurnal berjudul "Konsep Diri Pada Masyarakat Mentawai yang Memakai Tato" karya Ambar Retno Rumbiati dan Yanladila Yeltas Putra disebutkan, tato lahir dari budaya pedalaman tradisional yang bahkan dapat dikatakan kuno. Keberadaan tato kini kian menyebar luas hingga ke daerah perkotaan.

Suku Mentawai di Sumatra Barat menganggap tato sebagai bagian dari peninggalan budaya yang memiliki nilai estetika dan makna simbolik bagi penggunanya. Tato pada suku Mentawai dikenal dengan 'titi'.

Tato atau seni rajah di Suku Mentawai Sumatra Barat ini dikenal sebagai tato tertua di dunia. Tak heran jika masyarakat Suku Mentawai terlihat memiliki tato di sekujur tubuhnya, dari kepala hingga kaki.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Filosofi

Filosofis Mendalam Tato Mentawai
Tato Mentawai memiliki makna filosofis mendalam bagi masyarakat Mentawai, Sumatera Barat (instagram/catatanbackpacker)

Tato yang digunakan pada masyarakat Suku Mentawai biasanya akan berbeda pada masing-masing individu. Motif tato yang ada di tubuh mereka memiliki filosofi, makna, serta menunjukkan jati diri dan status sosial penggunanya.

Motif sarepak abak, misalnya, yang ditorehkan di punggung dan memiliki lambang keseimbangan kehidupan di alam. Ada juga motif durukat yang ditorehkan di bagian dada sebagai simbol jati diri suku dan menunjukkan batas wilayah kesukuan.

Titi tak bisa ditorehkan oleh sembarang orang. Untuk melakukannya, suku Mentawai mengenal keberadaan sipatiti, yakni seorang laki-laki yang dipercaya sebagai pembuat titi.

Meski tak diangkat secara adat, keberadaan sipatiti telah diakui oleh masyarakat Suku Mentawai. Untuk membuat tato yang simetris, seorang sipatiti harus memperhitungkan jarak titi dengan metode manual, yakni menggunakan jari.

Selain harus melalui ritual, pembuatan titi harus dilakukan secara bertahap. Biasanya, tahap pertama dilakukan saat seseorang berusia 11-12 tahun atau masa akil balig yang hanya boleh dilakukan di bagian pangkal lengan.

Tahap selanjutnya yakni ketika berusia 18-19 tahun dengan rajahan di bagian paha. Tahap ketiga ada di masa dewasa yang bisa menorehkan titi di bagian tubuh lain.

(Resla Aknaita Chak)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya