Ronggeng Pasaman, Kesenian Sumatra Barat yang Diadaptasi dari Budaya Jawa

Kesenian ini berkembang di sekitar Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 29 Jan 2023, 00:00 WIB
Diterbitkan 29 Jan 2023, 00:00 WIB
Tour de Singkarak 2015
Pebalap Pishgaman Giant Team, Arvin Moazemi Goudarzi, saat melewati Embun Tanai, Kab. Agam di Etape 8 Tour de Singkarak 2015 Pasaman Barat-Lawang Park, Kabupaten Agam, Sabtu (10/10/2015). (Bola.com/Arief Bagus)

Liputan6.com, Padang - Ronggeng Pasaman merupakan salah satu kesenian tradisional khas Sumatra Barat yang masih eksis hingga sekarang. Kesenian ini berupa kegiatan berbalas pantun dalam bentuk nyanyian dengan iringan musik dan tarian.

Mengutip dari 'Ronggeng Pasaman; Potret Perpaduan Beda Budaya' oleh Firdaus Marbun dalam laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, kesenian ini juga didukung beberapa alat musik, seperti biola, gitar, rebana, dan tamburin. Seperti namanya, kesenian ini berkembang di sekitar Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat.

Kesenian ini umumnya dimainkan oleh minimal sembilan orang yang terdiri dari satu orang ronggeng, tiga orang penampil pria, dan lima pemain musik. Ronggeng bertugas mendendangkan pantun-pantun dalam pertunjukan.

Ronggeng juga harus bersedia berpenampilan seperti perempuan. Ia juga biasanya memiliki paga diri (ilmu batin penjaga diri) yang diperlukan untuk memastikan keamanan ketika sedang tampil.

Dalam pertunjukannya, seorang ronggeng didampingi oleh tiga penampil pria. Satu orang bertugas membalas pantun yang dilontarkan ronggeng Pasaman, sedangkan dua lainnya mendampingi sambil menari.

Sementara itu, pemain musik terdiri dari lima orang, yakni satu pemain biola, dua pemain gitar, satu pemain rebana, dan satu pemain tamborin. Kelengkapan penampil kesenian ini mampu membuat fungsi utama Ronggeng Pasaman tercapai, yakni sebagai hiburan dan pelipur lara.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Eksis Sejak Masa Kerajaan

Kesenian ronggeng memang telah eksis sejak zaman kerajaan. Kesenian ini tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan nama yang berbeda, sebut saja lengger di Yogyakarta, ronggeng atau topeng babakan, doger, taledek, di Sunda, dendang sayang di Aceh, dondang sayang di Melaka, Kapri di Barus, tarian ronggeng di Pasaman, katumbak di Pariaman, gamat di Kota Padang, pelanduk di Palembang, gandot di kalimantan, dan pajoge di Sulawesi.

Pada masa lalu, kesenian ini ditampilkan di istana-istana kerajaan untuk menghibur raja dan keluarganya. Pada abad ke-20, penari ronggeng dikirim ke keraton-keraton khusus untuk menghibur.

Sementara itu, di desa-desa, ronggeng digunakan sebagai media penyampaian pesan dalam berbagai ritual, salah satunya sebagai ucapan syukur atas hasil panen yang didapat. Munculnya ronggeng di Pasaman tidak lepas dari migrasi penduduk pada masa lalu.

Ronggeng Pasaman berasal dari masyarakat Jawa yang bermigrasi ke Pasaman. Mereka dibawa oleh penjajah Jepang untuk memenuhi tenaga kerja di perkebunan karet.

Kedatangan mereka sekaligus membawa adat kebiasaannya, termasuk kesenian ronggeng. Perkembangan ronggeng di Pasaman juga tak lepas dari adanya kelonggaran pertunjukan ronggeng pada masa itu.

Seiring berjalannya waktu, ronggeng kemudian diadaptasi sesuai dengan adat dan kepercayaan yang ada di Pasaman. Kesenian ini kemudian mengalami modifikasi sesuai adat masyarakat setempat, salah satunya syair yang diubah menjadi bahasa Minangkabau dan Mandailing.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya