Cerita dari Tenda Pengungsian, Saat Gempa Datang dan Gemuruh Hadir di Pasaman Barat

Anaknya berlindung dengan sebuah pintu yang sudah lepas. Cerita Korban Menyelamatkan Diri dari Gempa Magnitudo 6,1 Pasaman Barat

oleh Novia Harlina diperbarui 26 Feb 2022, 12:10 WIB
Diterbitkan 26 Feb 2022, 12:10 WIB
Gempa Pasaman Barat
Sejumlah bangunan di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, dilaporkan rusak akibat gempa beruntun Magnitudo 6,2 dan 5,2 yang terjadi pada Jumat (25/2/2022), pukul 08.39 WIB. (Liputan6.com/ Novia Harlina)

Liputan6.com, Pasaman Barat - Jumat 25 Februari pagi, Feri (62) duduk santai di sekitar rumahnya di Jorong Pinaga, Kecamatan Pasaman Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. 

Sekitar pukul 8.35 WIB, bumi berguncang dan mengagetkan Feri, namun kondisi sekelilingnya masih aman terkendali. Tapi, empat menit kemudian semuanya berubah, guncangan gempa kedua berkekuatan 6,1 skala richter memporak-porandakan rumah Feri.

Tak ada lain yang dilakukan wanita lanjut usia itu selain menyelamatkan diri sambil memanggil-manggil anaknya yang sedang berada di dalam rumah.

Ketika menyelamatkan diri, Feri terus memanggil anaknya yang masih di dalam rumah bersama sang menantu. Anak menantunya itu berusaha ke luar rumah dengan susah payah, sementara rumah terus mengalami rubuh secara bertahap.

"Capeklah lari capeklah, rumahlah runtuah (cepat lari, rumah kita sudah runtuh," katanya bercerita kepada Liputan6.com di tenda pengungsian, Jumat (25/2/2022).

Anaknya berlindung dengan sebuah pintu yang lepas. Pintu itu jadi benteng anak menantunya dari reruntuhan rumah.

Nasib baik, Feri dan anak menantunya selamat dari kejadian memilukan itu. Tak hanya rumah Feri, rumah tetangganya juga rata dengan tanah.

Satu lagi yang membuat wanita empat anak itu gusar, anak bungsunya masih berada di sekolah yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Tak ada yang bisa dilakukannya selain memasrahkan diri dan menangis.

Beruntung, tak lama setelah itu anaknya pulang dan memeluk ibunya. Feri melanjutkan cerita, setelah gempa dan rumah-rumah di desanya runtuh rata dengan tanah, suasana masih mencekam. Listrik padam dan sinyal ponsel hilang.

"Suara gemuruh masih terdengar, kami tak tahu itu dari mana padahal gempa sudah berhenti," ujarnya.

Ia tak bisa menghubungi sanak saudaranya, sementara yang tersisa hanyalah baju yang ada di badan dan sepeda motornya yang bisa diselamatkan. Feri kemudian berkumpul dengan tetangganya, menunggu bantuan.

Namun bantuan tak kunjung tiba, barulah ketika sore ada pemerintah daerah yang memberikan informasi agar mengungsi ke kantor bupati Pasaman Barat.

"62 tahun saya hidup di Pinaga, baru kali ini peristiwa seperti sekarang ini," jelasnya.

Tak hanya Feri, hal yang sama juga dialami Acik (40), guncangan gempa membuatnya trauma. Apalagi tak ada lagi yang tersisa selain baju yang melekat di badannya.

Acik juga mengungsi di kantor bupati Pasaman Barat, ia duduk termenung ketika awak Liputan6.com menghampiri. Setelah bercerita beberapa waktu, Acik mengeluarkan air mata, ia masih kalut dengan peristiwa yang menimpa kampung halamannya.

"Ndak ado nan tasiso lai do, baju sajo yang di badan, rumah kami lah ancua (tidak ada lagi yang tersisa, baju yang ada di badan saja, rumah kamu hancur sudah," katanya.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya