Liputan6.com, Medan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) memiliki perjalanan sejarah penting pergerakan pers perempuan. Kisaran tahun 1919-1950, tercatat ada 12 surat kabar perempuan yang terbit di provinsi ini.
Surat kabar tersebut antara lain Perempoean Bergerak, Soeara Iboe, Sedar, Persaoelian Ni Soripada, Beta, Keortamaan Istri, Menara Poetri, Boroe Tapanuli, Wanita Parki, Dunia Wanita, Melati, dan Njona Soerian Oedjani Tamil.
Hal itu terungkap pada Sarasehan Jurnalistik Perempuan Indonesia dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) 2023 di Hotel Grand Mercure, Kota Medan, Sumut, Selasa (7/2/2023).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed), Ichwan Azhari, ada beberapa dari 12 surat kabar tersebut yang belum terekspose bentuknya, karena hilang atau belum ditemukan.
"Makanya, ada surat kabar yang belum ditemukan. Ada Beta, terbit di Tarutung. Hanya disebut dalam sumber sejarah," sebutnya.
**Liputan6.com bersama BAZNAS bekerja sama membangun solidaritas dengan mengajak masyarakat Indonesia bersedekah untuk korban gempa Cianjur melalui transfer ke rekening:
1. BSI 900.0055.740 atas nama BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)
2. BCA 686.073.7777 atas nama BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Memiliki Kelebihan
Diungkapkan Ichwan, surat kabar di Sumut saat itu memiliki kelebihan ketimbang surat kabar dari daerah lain. Menurutnya, 12 koran tersebut adalah koran pemikiran.
"Isinya, mereka menganalisis berita, mereka memajukan perempuan, dan mengajak perempuan mengejar ketertinggalannya dalam pendidikan," ucapnya.
Misalnya, terang Sejarawan Unimed itu, koran Soeara Iboe dari Sibolga. Koran ini memiliki moto ingin mengubah segala adat kuno yang telah menjadi darah daging pada bangsa.
"Nah, mereka melakukan perlawanan terhadap adat yang tidak adil," ujarnya.
Advertisement
Koran Revolusioner
Peneliti Pers Perempuan Sumut, Lia Anggia Nasution menuturkan, Perempoean Bergerak adalah koran yang paling revolusioner. Redaksi Perempoean Bergerak saat itu dipimpin perempuan, Boetet Satidjah.
"Kalau kita bicara feminisme di 1919, Boetet sudah menulis feminisme. Supaya pergerakan tiada terhambat-hambat. Adat, agama nan elok itu jangan kita lampaui," tuturnya.
Perempoean Bergerak juga sering mengajak perempuan untuk mengecap pendidikan. Banyak artikel-artikelnya mengajak perempuan 'ayo sekolah'.
"Ada juga pemikiran dan mengkritisi sikap laki-laki yang tidak mau menyekolahkan anaknya," ucapnya.
Menurut Anggi, perempuan pada masa itu hanya bisa memiliki kekuatannya dari menulis. Mereka menyadari pers bisa menjadi alat untuk mengubah nasib.
"Karena, perempuan pada masa itu belum punya hak politik. Jadi kekuatannya dari menulis," ungkapnya.
Masih Relevan
Ketua Umum Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Uni Lubis mengatakan, semangat pers perempuan di masa lalu masih sangat relevan di masa sekarang.
"Pers perempuan sekarang mesti belajar dari sejarah agar dapat lebih baik," tandasnya.
Advertisement