Liputan6.com, Aceh - "Tiap malam melakukan perbuatan yang cukup, antara lain yang saya rasakan sendiri, pemandangan yang luar biasa, sehingga tubuh saya cacat, dan mata kaki saya bolong, punggung saya masih ada bekasnya, saya juga dipukul dengan besi... oleh M. Kaki saya ditindih dengan balok oleh Komandan [Kopassus] P dan mengakibatkan putusnya urat. Saya ditelanjangi, disetrum, dipadukan antara alat vital dengan telinga, tidak begitu terasa dipadukan dengan mata, dipadukan di mulut dan di sebelah atas rasa sakit..." itulah salah satu kesaksian penyiksaan dari seorang guru agama dalam laporan temuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Laporan ini dimuat dalam bentuk buku setebal 232 halaman berjudul Peulara Damèe atau Merawat Perdamaian.
Penyiksaan yang dialami oleh sang guru agama tersebut berlangsung di Rumoh Geudong, salah satu Pos Satuan Taktis dan Strategis yang dioperasikan selama Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM). Dikenal sebagai Operasi Jaring Merah, DOM dicetuskan sebagai operasi kontra-pemberontakan yang berlangsung hampir 10 tahun, dimulai dari 1989 sampai 1998.
Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM berat Komnas HAM menyimpulkan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan di Rumoh Geudong, termasuk penyiksaan, kekerasan seksual, dan pelanggaran HAM berat lainnya, yang dilakukan secara rutin di bawah pimpinan militer Indonesia. Kesaksian sejumlah korban Rumoh Geudong mengisi lembaran halaman laporan KKR Aceh Peulara Damèe (2023). Rumoh Geudong sendiri, berdasarkan laporan KKR Aceh termasuk ke dalam situs kekerasan yang paling menonjol atau utama bersama Pos Sattis Rancong.
Advertisement
Presiden Jokowi datang ke Rumoh Geudong pada 27 Juni 2023 untuk memukul gong "kick off" yang menandai program penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu telah dimulai. Program ini dicetuskan melalui Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat Masa Lalu, sebagai upaya pemulihan korban pelanggaran HAM dari 12 kasus di Indonesia, tiga di antaranya di Aceh.
Jika Pos Sattis Rumoh Geudong berada di Pidie, maka Pos Sattis Rancong berada di dalam kompleks PT Arun, Lhokseumawe. Sama-sama di bawah penguasaan Kopassus, Pos Rancong dipakai sebagai markas tentara merangkap tempat penahanan dan penyiksaan rahasia. KKR Aceh juga menemukan kesaksian adanya pasukan non-kopassus yang ditempatkan di Pos Rancong untuk mengamankan fasilitas PT Arun dari sabotase. Keterlibatan ini pada akhirnya menyeret ExxonMobil ke pengadilan di Amerika Serikat dengan proses pengadilan memakan waktu 20 tahun hingga berujung 11 warga mendapat ganti rugi dari perusahaan.
Laporan KKR Aceh Peulara Damèe (2023) juga berisi puluhan kesaksian korban tindakan kekerasan lainnya yang terbentang mulai dari pantai timur hingga ke pantai barat Aceh bahkan merangsek ke dataran tinggi Gayo. Setidaknya 8.029 orang menjadi korban tindak kejahatan HAM di Aceh, terdiri dari 848 perempuan dan 7.181 laki-laki. Sebanyak 1776 orang laki-laki dan 144 perempuan menjadi korban kejahatan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Sementara itu, sebanyak 1085 laki-laki dan 38 perempuan menjadi korban pembunuhan tidak sah dan bertentangan dengan hukum.
Temuan ini mengungkap sebanyak 3021 laki-laki dan 327 perempuan jadi korban tindak penyiksaan, 87 laki-laki dan 78 perempuan korban kejahatan kekerasan seksual dan perkosaan, 359 laki-laki dan 10 perempuan korban penghilangan paksa, 863 laki-laki dan 251 perempuan korban perusakan dan perampasan harta benda. Pelaku kekerasan terdiri dari TNI sebanyak 7645 kasus, polisi 1524 kasus, SGI dan unit lain 165 kasus, aparatus negara lainnya 33, dan milisi pro-Indonesia 14 kasus. Catatan yang sama mengungkap bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bertanggung jawab atas 392 kasus kekerasan selama konflik di Aceh sementara sebanyak 776 kasus lagi dinyatakan belum dapat diidentifikasi siapa pelakunya.
Secara khusus, laporan KKR Aceh juga menyisipkan tabel berisi keterangan pelaku kekerasan seksual selama tiga periode konflik di Aceh dilihat berdasarkan institusinya. Praktik kekerasan seksual oleh TNI selama tiga periode totalnya 156, terdiri atas periode DOM sebanyak 45 kali, Operasi Sandi 44 kali, Darurat Militer 50 kali, Darurat Sipil 17 kali. Sementara itu, Polisi-Brimob totalnya 34 kali, dengan runutan jumlah untuk setiap periode yang sama yakni 1, 16, 10, dan 7. Selanjutnya, gabungan TNI-Brimob total 5 kali, yang berlaku hanya dalam periode Operasi Sandi 1 kali, Darurat Militer 2 kali. GAM tercatat melakukan tindakan kekerasan seksual sebanyak 1 kali dalam periode Operasi Sandi, dan OTK sebanyak 2 kali dalam periode operasi yang sama. Berdasarkan tempat kejadian, praktik kekerasan seksual terjadi di Pos TNI sebanyak 74 kali, Koramil 9 kali, Kodim 4 kali, Markas AURI Blang Bintang 4 kali, POM 3 kali, Pos Brimob 9 kali, Polsek 9 kali, Polres 13 kali, Polda Aceh 1 kali, LP Jantho 1 kali, rumah: korban, saudara, tetangga, 31 kali, kebun: pinggir sungai, jalan, menasah, tempat pengungsian, dan lainnya 37 kali.
Salah satu teknik yang dipakai dalam melancarkan aksi kekerasan seksual yakni dengan cara melakukan penahanan sewenang-wenang dan wajib lapor. Sasarannya adalah korban yang akan dijadikan budak seksual, diperkosa, dan disiksa secara seksual. KKR Aceh mengungkap terdapat 39 korban, 13 perempuan dan 26 laki-laki, yang disekap atau ditahan secara sewenang-wenang. Sebanyak 21 korban, 16 perempuan dan 5 laki-laki, dikenakan wajib lapor. Selama melaksanakan wajib lapor, terjadi perbudakan di mana para korban dipaksa untuk melayani kebutuhan makan, mencuci, membersihkan pos, dan lainnya. Setidaknya 9 korban, 7 perempuan dan 2 laki-laki, mengalami hal ini. Selama melakukan praktik kekerasan seksual kepada 28 korban, terdiri dari 21 perempuan dan 7 laki-laki, para korban berada di bawah ancaman akan ditembak dan dibunuh. Sebanyak 48 korban kekerasan seksual, terdiri dari 24 perempuan dan 24 laki-laki, disiksa dengan menggunakan senjata, di mana pelaku menjadikan tubuh korban sebagai objek untuk dipukul, ditusuk, hingga mencolek bagian tubuh, termasuk organ seksual korban.
Tindakan kekerasan seksual berupa perkosaan menyisakan trauma dan mimpi buruk sampai sekarang. Temuan KKR Aceh mengungkap bahwa pasukan keamanan Indonesia menjadikan tindakan perkosaan yang mereka lakukan semata untuk penyaluran nafsu bejat belaka dengan dalih yang tidak masuk akal seperti untuk mengecek bekas sentuhan anggota GAM pada tubuh para korban sebagai pembuktian yang bersangkutan terlibat atau tidak. Salah satu kebiadaban yang menggambarkan perkosaan dialami korban dapat dilihat dari kesaksian seorang anak perempuan berinisial A dan M pada 2002. Segerombolan tentara yang sedang berpatroli tak sengaja berpapasan kedua A dan M yang kala itu duduk mengaso sambil makan rujak buah pala di sebuah rangkang belakang rumah.
A dan M dituduh sebagai bagian dari pasukan Inong Balee. Inong Balee merupakan salah satu sayap perjuangan GAM dari kalangan perempuan yang dipersenjatai. A dan M dipaksa masuk ke dalam rumah, dan kemudian di bawah ancaman senjata api, keduanya diperkosa tanpa ampun oleh tentara. Kisah yang sama mengerikannya dialami oleh perempuan lain yang juga berinisial M. Dalam kesaksiannya, M diperkosa berkali-kali oleh TNI Kompi C Rajawali yang datang bergiliran ke rumahnya. Sementara itu, seorang perempuan 25 tahun di Aceh Utara harus menjalani wajib lapor selama delapan bulan di pos TNI. Selama itu pula dirinya dipaksa menjadi budak seks tentara di pos tersebut. Ia dilecehkan martabatnya sebagai manusia berkali-kali.
Kesaksian tentang pembunuhan ikut menghiasi laporan KKR Aceh Peulara Damèe (2023). Seperti yang telah disinggung, militer Indonesia tercatat sebagai pelaku utama dan terbanyak dari kejahatan pembunuhan di luar proses hukum di Aceh. GAM dan milisi pro-Indonesia juga tercatat bertanggung jawab atas sejumlah kasus pembunuhan di Aceh. Menurut catatan KKR Aceh, kelompok-kelompok gerilyawan GAM di beberapa wilayah bertanggung jawab atas sejumlah kasus pembunuhan kilat terhadap warga sipil yang dituding sebagai informan TNI atau intelijen. Milisi pro-Indonesia bertanggung jawab atas pembunuhan warga sipil di wilayah Takengon dan Bener Meriah antara 1999 dan 2004.
Operasi pembunuhan juga turut menyasar orang-orang yang menjadi tokoh perdamaian dan HAM lokal yang ketahuan menyuarakan kritik atas brutalitas strategi perang para pihak yang bertikai. Laporan KKR Aceh mengungkap bahwa para eksekutor dari pembunuhan para aktivis HAM dan para tokoh politik lokal yang vokal ialah orang-orang bersenjata mengenakan bertopeng. Kasus-kasus pembunuhan ini berlangsung signifikan antara tahun 2000 hingga sebelum pemberlakuan Darurat Militer pada 2003.
"Tak lama, kami mendengar ada kejadian penembakan terhadap 13 orang yang terjadi di Panton Labu. Bersama keluarga, kami pergi ke Panton Labu. Sampai di daerah Lueng Peut, Panton Labu, kepala desa mengatakan salah satu korban yang dikuburkan mirip dengan A. Lalu diantarkannya kami ke kuburan yang mereka yakini sebagai kuburan A tersebut. Tak lupa kain untuk mengikat korban beserta baju korban. Semua sudah dibungkus dalam plastik, diserahkan sama kami. Tiap Lebaran, kami masih ziarah ke sana sampai sekarang. Sedangkan anaknya saya besarkan. Sekarang, dia sudah dewasa dan bekerja sehari-hari sebagai tukang bangunan," demikian keterangan saksi atas eksekusi kilat 13 orang di Lueng Putu pada 1990 (Peulara Damèe, hal: 166).
Sebagai intiha dari laporan temuan mereka, KKR Aceh memberi sejumlah rekomendasi yang terdiri atas rekomendasi untuk perubahan hukum, politik, dan administratif, seperti merekomendasi agar pemerintah mengakui pelanggaran HAM berat yang telah terjadi di Aceh dan membentuk tim reformasi sektor keamanan dengan mandat mengimplementasi reformasi komprehensif untuk memastikan akuntabilitas dan tidak terulangnya pelanggaran HAM di Aceh maupun di seluruh pelosok Indonesia.
Rekomendasi lainnya yakni rekonsiliasi berbasis kearifan lokal di mana salah satunya KKR Aceh bersama Pemerintah Aceh dan segenap elemen masyarakat akan melakukan proses rekonsiliasi dengan memastikan bahwa para pihak yang menjalani rekonsiliasi tidak terlibat pelanggaran HAM berat. Selanjutnya ada rekomendasi reparasi di mana KKR Aceh merekomendasikan agar pemerintah menyusun kebijakan nasional dalam bentuk perpres, inpres, dan peraturan lain agar rekomendasi reparasi atau pemulihan hak korban bisa segera diimplementasikan.
Untuk tindakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM, secara spesifik KKR Aceh merekomendasikan agar pemerintah dan DPR RI segera membentuk Pengadilan HAM dalam rangka menjalankan mandat pasal 228 ayat 1 dan 2 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Yaitu, untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang terjadi sesudah UUPA dibentuk. Selanjutnya, putusan Pengadilan HAM di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memuat antara lain pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.
Rekomendasi KKR Aceh selanjutnya yakni Jaksa Agung segera menindaklanjuti penyelidikan pro-yustisia yang telah dilakukan oleh Komnas HAM untuk tiga kasus: Rumah Geudong, Jambo Keupok, dan Simpang KKA. Sementara itu, DPR RI membentuk Pengadilan Ad Hoc HAM sesuai dengan UU No. 26 tahun 2000. Kepada Komnas HAM, KKR Aceh merekomendasi agar menindaklanjuti temuan-temuan yang dihasilkan oleh KKR Aceh yang setidak-tidaknya patut diduga sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat, khususnya membentuk tim investigasi untuk melanjutkan penyelidikan pro-yustisia terhadap aparat keamanan dan orang-orang yang bertanggung jawab dalam rantai komando seperti yang disebut di dalam bagian temuan dan pertanggungjawaban dari laporan KKR Aceh.
Bab rekomendasi tersebut turut menyisipkan sejumlah pertimbangan berkaitan dengan tindakan lainnya dengan lingkup seperti budaya dan pembelajaran HAM, pemulihan dan trauma individu, penyebaran laporan akhir di Indonesia dan masyarakat internasional hingga arsip-arsip KKR Aceh dan Museum HAM. Adapun laporan temuan KKR Aceh ini merupakan hasil pelbagai temuan pengungkapan kebenaran yang dilakukan oleh lembaga itu sejak 2018. Laporan ini sendiri merupakan ejawantah dari mandat yang tertera di dalam Qanun No. 17 tahun 2013 tentang KKR Aceh. Adapun denyut KKR Aceh ditandai dengan pelantikan sejumlah komisioner pada 24 Oktober 2016.
Sejumlah Catatan terkait Laporan Temuan KKR Aceh
Lembaga yang merupakan amanat Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh ini merupakan salah satu buah dari perdamaian Aceh. Namun, KKR Aceh, yang tidak memiliki rujukan atau sandaran hukum di tingkat nasional sejak Mahkamah Konstitusi mencabut UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR, awalnya tidak mendapat antusiasme dari kalangan pembela HAM karena lembaga tersebut menjalankan mekanisme non-yudisial yang saat itu tidak populis. Pada saat yang sama, hasrat untuk menjerat pelaku pelanggar HAM ke meja pengadilan teradang dua hal. Indonesia bukan penandatangan Statuta Roma yang dibentuk PBB pada 17 Juli 1998 dan Pengadilan Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) yang tidak berlaku surut.
Kedua fakta tersebut membuka peluang masuknya gagasan pembentukan KKR di Aceh, yang notabene tidak secara hukum akan mengesampingkan aspek pengadilan bagi pelaku pelanggar HAM. Pada 2010 sempat terjadi gerakan demonstrasi mendesak pembentukan KKR Aceh oleh masyarakat sipil hingga Pemerintah Aceh menerbitkan Qanun 17/2013 tentang KKR yang menjadi landasan hukum pembentukan KKR Aceh sesuai Undang-Undang Pemerintah Aceh pasal 229. Sejak para komisionernya dilantik pada 2018 sampai 2021, KKR Aceh telah mengambil sebanyak 5.195 kesaksian dari 17 kabupaten/kota, 138 kecamatan, dan 775 desa. Pada 2019 KKR Aceh menyusun 245 nama yang direkomendasi sebagai penerima reparasi mendesak terdiri dari korban dan ahli warisnya.
Penerima reparasi mendesak ini ditetapkan melalui Kep. Gubernur Aceh No 1269/2020 tentang penetapan penerima reparasi mendesak korban dan ahli waris pelanggaran HAM masa lalu serta menunjuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA) untuk melaksanakan rekomendasi tersebut. Namun, dalam perjalanannya, implementasi dari rekomendasi ini sempat tersendat akibat sejumlah masalah seperti anggaran, dasar hukum pelaksanaan, hingga bentuk reparasi seperti apa yang akan diberikan. Akhir punya cerita, reparasi mendesak ini diwujudkan via skema bantuan sosial berupa uang senilai Rp 10 juta rupiah. Jumlah penerima saat itu menipis menjadi 235 orang dari sebelumnya 245, terdiri dari 107 perempuan dan 128 laki-laki berasal dari 14 wilayah. Skema bansos ini sempat dikritik karena dinilai menghilangkan makna penerima sebagai korban.
Meski belum secara resmi dirilis oleh KKR Aceh, laporan temuan berbungkus buku berjudul Peulara Damèe ini telah diserahkan oleh KKR Aceh dalam rapat paripurna di Gedung Utama Kantor DPRA pada Selasa (12/12/2023), yang menandai secara simbolis bahwa laporan ini sah menjadi konsumsi publik. Bahan penulisan laporan ini diambil dari 4.765 kesaksian dari 5.195 yang diambil. KKR Aceh belakangan diterpa prahara korupsi perjalanan dinas yang merugikan negara Rp 258,5 juta rupiah. Oleh polisi, kasus ini dianggap telah selesai melalui mekanisme pengembalian kerugian ke kas negara.
Laporan tamuan ini dinilai jadi momen krusial bagi keadilan transisi di Aceh. Koordinator KontraS Aceh Azharul Husna mengatakan bahwa laporan KKR Aceh bak kotak pandora dari mitologi Yunani yang memberi gambaran mengenai perbuatan merendahkan harkat dan martabat dengan tingkat perlakuan paling rendah yang mungkin dapat dialami seorang manusia. Namun, menurut Azharul, keberadaan laporan ini juga menjadi penting sebagai penghormatan terhadap pengungkapan kebenaran. Pelbagai penyiksaan yang dirangkum di dalam laporan ini mesti dilihat.
Sementara itu, dalam pembukaan diskusi publik mengulas laporan temuan KKR Aceh yang diinisiasi oleh KontraS Aceh disokong Yayasan Tifa, Kamis (21/12/2023), Ketua KKR Aceh Masthur Yahya, mengatakan bahwa laporan temuan lembaga tersebut seharusnya diluncurkan pada 2021. Namun, peluncuran laporan ini mengaret karena pihaknya harus berhati-hati menganalisis dokumen dan data yang telah dikumpulkan. Laporan ini, kata Masthur, menyimpulkan bahwa praktik kekerasan atau pelanggaran HAM yang menimpa para korban mencapai titik batas kekerasan yang ditetapkan oleh hukum hak asasi manusia internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Artinya, semua bentuk kekerasan yang bisa dinalar oleh akal manusia ada di dalam laporan temuan KKR Aceh.
"Maka penting sekali ini diketahui oleh korban. Sebenarnya laporan temuan ini adalah penting dan kita alamatkan kita teruskan kepada korban di samping itu adalah kita selaku penanggung jawab pendamping kehidupan korban di masa yang akan datang tentu harus mengadvokasi hak dan keadilan bagi korban yang sudah begitu lama menunggu untuk mengantarnya," ujar Masthur dalam diskusi publik mengulas laporan temuan KKR Aceh yang diinisiasi oleh KontraS Aceh disokong Yayasan TiFA, Kamis (21/12/2023).
Sementara itu, Wakil Ketua Komisioner KKR Aceh, Oni Imelva, menjelaskan bahwa upaya pengambilan pernyataan yang menjadi basis dari lahirnya laporan ini berjalan tidak mudah. Salah satunya adalah keterbatasan data. Proses pengambilan pernyataan dalam banyak kasus harus menunggu sampai kemudian korban dengan sukarela memberi kesaksian. Hal ini sering terjadi karena banyak di antara para korban atau keluarga korban yang merasa enggan untuk memberi kesaksian karena kesaksian tersebut akan membangkitkan memori tentang kekerasan masa lalu. Pengambilan pernyataan sendiri dikerjakan oleh orang-orang yang dibayar secara khusus yang sebelumnya telah melewati serangkaian pembekalan.
"Keteguhan dari proses yang kita lakukan, kami yakinkan para korban, membangun kepercayaan, akhirnya kita bisa memperoleh 5.195 dari 17 kabupaten/kota yang pada awalnya baru wilayah kerja di lima kabupaten/kota kemudian berkembang menjadi 17 kabupaten/kota sehingga di 2020 kita memperoleh sejumlah pernyataan 5.195. Namun, itu, kan terjadi human error kemudian juga proses telaah data yang kita lakukan, memasukkannya ke dalam pangkalan data itu juga menjadi tantangan berikutnya. Artinya ini berpulang kepada sumber daya manusia yang juga ikut berperan serta dalam membantu analisis untuk pengungkapan kebenaran ini," kata Oni Imelva.
Hadir di dalam diskusi yang sama, Tenaga Ahli Utama Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Mugiyanto mengatakan bahwa laporan temuan KKR Aceh dalam bentuk buku setebal 232 halaman berjudul Peulara Damèe adalah dokumen yang berstatus sebagai dokumen resmi negara yang mendokumentasikan "penderitaan" korban. Laporan temuan KKR Aceh ini kata dia berbeda dari dokumen-dokumen seperti dokumen penyelidikan Komnas HAM bertujuan yudisial yang tidak berstatus sebagai dokumen resmi negara. KKR Aceh sendiri merupakan lembaga dengan pendekatan non-yudisial.
"Mekanisme pengadilan yudisial selain tidak selalu menghasilkan keadilan juga sangat terfokus pada pelaku karena tadi itu tujuannya membuktikan bahwa seorang pelanggar HAM atau pelaku tindak pidana atau tidak, korban diabaikan. Mekanisme non-yudisial, mengeluarkan kebijakan itu salah satunya adalah itu masa gara-gara enggak ada pengadilan atau menggelar pengadilan atau pelakunya dibebaskan masa korban kemudian tidak bisa mendapatkan takdir. Itu, kan tidak boleh. Negara tetap harus hadir karena walaupun pelakunya tidak bisa dibuktikan untuk kasus semua kasus termasuk Tanjung Priok misalnya, korbannya, kan, ada?" kata Mugiyanto.
Sebagai informasi, KKR Aceh telah menyerahkan laporan temuan mereka ke KSP pada 15 Desember 2023. Dalam kesempatan itu, tim KKR Aceh yang terdiri dari Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya, Wakil Ketua KKR Aceh, Oni Imelva, serta salah seorang pejabat dari Badan Reintegrasi Aceh, Agusta Muchtar muncul usulan agar rekomendasi data reparasi KKR Aceh dapat dilaksanakan dengan penggunaan anggaran yang bersumber dari pemerintah pusat. Selain itu, Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya, berharap agar pemerintah juga memberlakukan data reparasi rekomendasi KKR Aceh seperti halnya mekanisme non-yudisial atas 3 kasus pelanggaran HAM berat di Aceh yang sedang digarap.
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, memberi sejumlah catatan terhadap laporan temuan KKR Aceh. Di antaranya mengenai keterangan bahwa para korban sebelumnya telah ditargetkan. Menurut Azharul penjelasan mengenai indikator target dalam hal ini institusi militer belum terjelaskan karena banyak di antara korban yang tercatat masih anak-anak. Menurut Azharul, laporan ini juga perlu menjabarkan variasi metode kekerasan yang dilangsungkan terhadap korban lebih banyak. Salah satu metode kekerasan yang tercatat oleh KontraS Aceh yaitu memaksa korban memakan makanan di luar keinginannya. Menurut Azharul masih banyak metode kekerasan yang luput dari laporan ini.
Mantan Komisioner Komnas Perempuan, Samsidar yang secara khusus berkontribusi bagi sebagian besar laporan dan temuan kasus kekerasan seksual di Aceh mulai tahun 1996 yakin bahwa kasus pelecehan seksual yang mengerek angka besar di dalam laporan dan temuan KKR Aceh jika digali berkemungkinan akan ditemukan kekerasan yang jauh lebih besar di baliknya. Contohnya perkosaan. Karena itu, Samsidar menyarankan agar orang yang ditunjuk untuk mengambil kesaksian dari korban yang teridentifikasi korban kekerasan seksual kelak haruslah mereka yang bisa membaca adanya indikasi yang terlihat dari keterangan awal.
"Kenapa hanya pelecehan seksual? Padahal sebagai orang yang terus-terusan... bekerja dengan korban, pelecehan seksual khususnya di Aceh, kalau mereka menyebutkan saya dilecehkan, itu bukan yang sesungguhnya. Itu pembuka. Jadi kalau pengambil pernyataannya berhenti sampai di situ saja, juga dapat...hanya pelecehan seksual. Ini sekaligus untuk generasi ke depan di KKR Aceh, bahwa pengambil pernyataan untuk korban kekerasan seksual itu yang khusus," ujar Samsidar.
Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Sp. KKA (FK3T-SP KKA), Murtala, meluapkan kekecewaannya karena tidak dilibatkan dalam proses pembuatan laporan temuan KKR Aceh. Kontribusi korban, menurut Murtala, setidaknya bisa berguna dalam hal-hal seperti untuk memverifikasi kebenaran kesaksian korban yang telah diambil oleh petugas pengambil pernyataan. Murtala juga skeptis apakah nantinya sejumlah rekomendasi yang diajukan oleh KKR Aceh di akhir laporan hanya menghiasi buku laporan temuan, tak pernah terwujudkan.
Di dalam diskusi publik yang sama, mantan Ketua Komnas HAM periode 2012-2017, Otto Syamsuddin Ishaq menyoroti soal anatomi peristiwa setiap praktik kekerasan yang dirangkum di dalam laporan temuan KKR Aceh. Menurut sosiolog tersebut, setiap periode operasi militer yang dilangsungkan di Aceh memiliki sandi operasi serta corak metode yang digunakan. Contohnya DOM yang berlangsung sejak 1989-1998 bersandi operasi Jaring Merah dengan metode operasi antigerilya dan teknis metode berupa "terapi kejut". Hal inilah yang tidak terjelaskan di dalam laporan temuan KKR Aceh.
Diskusi publik membahas laporan temuan KKR Aceh turut dihadiri oleh Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani. Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menekankan pentingnya menemukenali pelbagai inisiatif dan terobosan yang sudah dilakukan oleh komunitas korban dan para pendamping. Ini termasuk juga memuat rekomendasi yang meneguhkan pelbagai inisiatif dan terobosan tersebut serta mengantisipasi ketegangan maupun potensi konflik ke depan. Secara khusus, Komnas Perempuan diberi mandat rekomendasi untuk mengawal pelbagai pola ataupun penguatan model reparasi korban kekerasan seksual dan reparasi lainnya. Dalam sesi pertanyaan, laporan temuan KKR Aceh ini juga mendapat kritikan terutama berkaitan dengan akurasi data.
Sebelumnya, laporan temuan KKR Aceh ikut menyisipkan jumlah praktik kekerasan berdasarkan institusi aktor kekerasan. Pelaku kekerasan terdiri dari TNI sebanyak 7645 kasus, polisi 1524 kasus, SGI dan unit lain 165 kasus, aparatus negara lainnya 33, dan milisi pro-Indonesia 14 kasus. Catatan yang sama mengungkap bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bertanggung jawab atas 392 kasus kekerasan selama konflik di Aceh sementara sebanyak 776 kasus lagi dinyatakan belum dapat diidentifikasi siapa pelakunya. Liputan6.com secara khusus bertanya kepada Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro soal kemunculan aktor di luar alat negara dalam peta kekerasan di Aceh dalam hal ini GAM dan milisi serta kemungkinan intervensi hukum yang berpotensi diambil.
"Soal apakah Komnas HAM bisa menindaklanjuti harus kita lihat dulu aturannya, keterkaitan dari rekomendasi KKR ini tugas dan fungsi Komnas HAM karena KKR ini mekanisme non-yudisial, penyelidikan pengungkapan kebenaran untuk rekonsiliasi atau pemulihan, itu di luar tugas dan fungsi Komnas HAM sebetulnya, tetapi Komnas HAM bisa memantau untuk memastikan hak-hak korban itu masih bisa. Tetapi kalau tindak lanjut ini, saya mesti lihat dasar hukumnya karena KKR Aceh itu dasar hukumnya qanun (perda), qanun dasar hukumnya Undang-Undang Pemerintah Aceh, Komnas HAM itu UU No. 39 tahun 1999 dan UU No. 26 tahun 2000, jadi harus dilihat dulu garis hubungan institusi seperti apa, apakah bisa langsung seperti itu," jawab Atnike kepada Liputan6.com.
Advertisement