Liputan6.com, Purwakarta - Kabupaten Purwakarta, selama ini terkenal akan kebersihan dan keasriannya. Bahkan, banyak kalangan tak menutup mata jika lebih dari satu dasawarsa ini daerah kecil kedua di Jawa Barat itu bak 'Raja tanpa mahkota' dalam bidang kebersihan.
Kondisi tersebut bukan tanpa alasan. Mengingat, masyarakat di wilayah tersebut sejauh ini cukup guyub dalam hal menjaga kebersihan. Tak hanya itu, bersihnya Kabupaten Purwakarta pun tak lain berkat kerja keras ratusan petugas kebersihan yang setiap hari disiagakan pemerintah melalui dinas terkait.
Selama ini, petugas kebersihan yang ada dibawah naungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat itu, diterjunkan untuk mengurusi sampah di masyarakat. Para petugas ini, terdiri dari petugas penyapu jalan, petugas penyisir yang mengangkut sampah menuju TPA Cikolotok, hingga sopir dan awak armada sampah.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Namun sayang, indahnya Kabupaten Purwakarta selama ini berbanding terbalik dengan nasib yang dialami para petugas kebersihannya. Hal mana, perjuangan mereka seperti dipandang sebelah mata oleh pemerintah daerah, semisal dari sisi kesejahteraannya.
Hal itu terungkap saat beberapa petugas kebersihan tak sengaja bertemu Dedi Mulyadi, belum lama ini. Saat itu, para petugas kebersihan tersebut menuturkan, sejak sepeninggalan Dedi Mulyadi sebagai bupati tak pernah lagi merasakan kenaikan honor.
Salah seorang petugas kebersiha, Sumarna mengaku sudah 11 tahun bekerja. Terakhir kali ia menikmati kenaikan gaji saat Dedi Mulyadi menjadi Bupati Purwakarta atau sekitar enam tahun lalu.
"Dulu hanya Rp 500.000. Kemudian, saat Pak Dedi jadi bupati, honor kami itu naik Rp 2,1 juta per bulan. Keluar mulai jam 5 pagi sampai selesai sekitar jam 4 sorean. Kerja full enggak libur," ujar Sumarna.
Kesejahteraan Petugas
Mendengar itu Dedi Mulyadi pun kaget. Seharusnya setelah enam tahun ditinggal olehnya minimal para pengangkut sampah bisa menikmati kenaikan gaji Rp 3-4 juta per bulan.
"Dulu awal gaji mereka hanya Rp 500 ribu, terakhir oleh saya naik ada yang Rp 2,1 juta ada yang Rp 2,5 juta. Sekarang sudah enam tahun tidak naik-naik," ucap Kang Dedi.
Kang Dedi pun sontak merasa miris dengan potret kehidupan para petugas kebersihan tersebut. Terlebih para pengangkut sampah tidak bisa diangkat menjadi PNS/ASN atau P3K karena keterbatasan mereka mengikuti seleksi berbasis digital. Padahal, kata dia, yang benar-benar dibutuhkan negara adalah orang-orang seperti mereka terutama di daerah.
"Kalau tenaga administrasi sudah sangat banyak, yang sulit itu mencari yang bekerja seperti ini, tukang sapu, tukang pengangkut sampah. Mereka adalah kelompok yang tak terperhatikan selama ini," seloroh dia.
Keprihatinan Kang Dedi bertambah, saat dirinya turut terlibat dalam kegiatan petugas sampah yang ia temui itu. Dalam satu truk terdapat seorang sopir dan tiga pengangkut sampah.
Pola kerja mereka selama ini, yakni mobil berjalan pelan kemudian dua orang berlari mengambil sampah di setiap titik. Selanjutnya sampah di lempar ke dalam bak truk dan ditata oleh satu pekerja lainnya.
"Ya Allah, sampai segitunya bekerja apalagi tanpa perlindungan begitu. Ada yang tidak pakai alas kaki dan tidak pakai kaos tangan," ujar KDM saat melihat para pekerja mengangkut sampah.
Saat Dedi menjabat bupati, pola pengangkutan sampah dilakukan dengan menggunakan titik kumpul. Sampah di lingkungan RW dibawa menggunakan roda, selanjutnya di tingkat desa diangkut menggunakan mobil atau cator.
Melihat para pekerja saat ini, KDM menilai akan sangat cape. Mereka harus berlari dengan rute yang cukup panjang mengambil satu per satu sampah yang dibuang di depan rumah warga.
"Kalau begini capek, tidak berkeprimanusiaan. Ini orang yang benar-benar mengabdi pada bangsa dan negara sampai begini," ucapnya.
Kang Dedi Mulyadi menyatakan akan terus memperjuangkan nasib para pekerja seperti pengangkut sampah agar bisa menikmati upah dan hidup yang layak sesuai dengan beban kerja yang mereka lakukan.
Advertisement