FGD Ikadin Legal Update: Pemerintah Diminta Tidak Tebang Pilih dalam Penagihan Utang

Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) melanjutkan rangkaian kegiatan Ikadin Legal Update melalui penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Mengungkap Misteri Piutang Negara melalui Pendekatan Multidimensi” di Hotel Morrissey Menteng, Jakarta.

oleh Tim Regional diperbarui 18 Sep 2024, 23:49 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2024, 23:49 WIB
Ikadin
Ikadin Legal Update melalui penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Mengungkap Misteri Piutang Negara melalui Pendekatan Multidimensi" di Hotel Morrissey Menteng, Jakarta

Liputan6.com, Jakarta Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) melanjutkan rangkaian kegiatan Ikadin Legal Update melalui penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Mengungkap Misteri Piutang Negara melalui Pendekatan Multidimensi" di Hotel Morrissey Menteng, Jakarta.

FGD sekaligus menutup rangkaian kegiatan Ikadin Legal Update. Membuka diskusi, Ketua Umum DPP Ikadin, Maqdir Ismail, membagikan pengalaman-pengalaman buruk ketika berlawanan dengan Pemerintah dalam kasus yang berkaitan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Banyak ketentuan terkait piutang negara dan pemberian BLBI yang juga banyak bermasalah. Banyak aset yang sebenarnya sudah diserahkan sebagai jaminan, tetapi tidak dihitung untuk mengurangi utang," ucap Maqdir, dalam keterangan diperoleh Rabu (18/9/2024).

Maqdir juga menyoroti tebang pilih penegakan hak Pemerintah di banding kewajiban-kewajibannya. Menurutnya, meskipun hukum terkadang bau, tapi itu yang harus ditaati. Di satu sisi, masyarakat dituntut untuk patuh pada hukum yang berlaku.

"Namun di sisi lain, Pemerintah justru mengabaikan hak tagih warga negaranya kepada Pemerintah. Sayangnya, tidak pernah ada perlindungan soal itu. Pemerintah tidak pernah melunasi kewajibannya," Maqdir menuturkan.

 

Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Perdata

Ikadin
Kegiatan FGD ini merupakan penghujung rangkaian kegiatan Ikadin Legal Update yang berfokus pada hukum penagihan piutang negara, yang diselenggarakan pada tanggal 10, 11, 17, dan 18 September 2024 di Jakarta

Mengawali paparan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Makassar, Rafael Tunggu, menegaskan kedudukan Pemerintah dalam hukum perdata. Pemerintah harus patuh pada asas-asas dalam hukum perdata, termasuk asas pacta sund servanda, perjanjian mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

"Penggunaan instrumen hukum publik dalam rangka penagihan utang merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Seharusnya yang menilai ada tidaknya pelanggaran perjanjian itu pengadilan, bukan pemerintah sendiri," ucapnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dian Puji Simatupang, menyoroti adanya permasalahan dalam Perppu No. 49 Tahun 1960 (Perppu 49/1960) yang menjadi dasar penggunaan surat utang.

Menurutnya, Perppu tersebut sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan perkembangan hukum keuangan negara. Seyogianya dilakukan pembedaan tata kelola dan mitigasi risiko sesuai dengan jenis piutangnya.

"Kalau bersumber dari perjanjian, seharusnya diselesaikan melalui jalur hukum perdata sebagaimana diatur dalam UU Perbendaharaan Negara," terangnya.

Dian juga memaparkan permasalahan dari pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 (PP 28/2022). Saat dirinya diundang dalam penyusunan, sudah mengingatkan agar penagihan dilakukan sesuai dengan kaidah UU Administrasi Pemerintah.

"Saya juga sudah membuatkan checklist agar seluruh prosedur dalam UU Administrasi Pemerintahan dilaksanakan. Tapi ternyata tidak ada yang masuk," ungkapnya.

Kecacatan Materi PP 28/2022

Ilustrasi Utang atau Pinjaman. Foto: Freepik
Ilustrasi Utang atau Pinjaman. Foto: Freepik

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, juga mengomentari kecacatan dari materi PP 28/2022. Menurutnya, peraturan ini memungkinkan Pemerintah untuk menagih secara sepihak dan tidak dapat disanggah.

"Benar-benar merupakan pelanggaran hak asasi manusia," ujarnya.

Arsil berpandangan, terjadi kesalahan Pemerintah dalam memahami maksud Perppu 49/1960. Surat paksa merupakan mekanisme eksekusi khusus, dan diterbitkan apabila debitur mengakui kebenaran utang dalam suatu Pernyataan Bersama yang sepadan dengan Surat Pengakuan Utang grosse acte.

"Hal Ini berarti terdapat kesepakatan dari debitur, bukan agar Pemerintah dapat menerbitkan Surat Paksa secara sepihak," paparnya.

Arsil juga menyoroti risiko dari besarnya wewenang Panitia Urusan Piutang Negara dalam PP 28/2022. Dia khawatir ini berpeluang disalahgunakan oleh oknum-oknum yang nakal.

"Kita tentu tidak asing dengan adagium power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely," sebutnya.

Soroti Pelanggaran Prinsip

terbebas utang
Ilustrasi./Copyright unsplash.com/rawpixel

Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, juga menyoroti adanya pelanggaran prinsip due process of law dalam Perppu 49/1960. Dia menilai, PUPN ini dibentuk dari cabang eksekutif, namun bertindak sebagai lembaga yudisial dengan menerbitkan produk yang menyerupai putusan hakim.

Aan Eko merujuk pada keberadaan irah-irah dalam Surat Paksa yang umumnya digunakan dalam putusan pengadilan. Aan Eko juga menyoroti pembatasan upaya hukum dalam Pasal 77 PP 28/2022 yang melanggar undang-undang.

"Pasal 4 UU Kekuasaan Kehakiman sudah menegaskan bahwa pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan. Tetapi Peraturan ini justru membatasi," ucapnya.

Turut berbagi ilmu dalam kegiatan ini, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof Suteki, yang mengingatkan pentingnya kebahagiaan manusia sebagai tolok ukur dari pembuatan dan penegakkan hukum.

"Yang harus menjadi fokus adalah tujuan yang hendak dicapai, harus goal-oriented. Jika hukum yang ada dan pelaksanaannya justru menimbulkan kesengsaraan, seharusnya hal tersebut tidak dilakukan," terangnya.

Penagih Utang Seperti Debt Collector

Ilustrasi Utang atau Pinjaman. Foto: Freepik
Ilustrasi Utang atau Pinjaman. Foto: Freepik

Suteki menilai, komposisi PUPN yang beranggotakan pegawai pemerintah tidak cukup untuk memberikan perlindungan kepada debitur. Perlu ada penyeimbang seperti advokat atau unsur perwakilan rakyat agar penyelesaiannya tidak otoriter.

Suteki mengibaratkan penagihan utang saat ini seperti debt collector. Sekarang, siapa yang mengawasi debt collector ini? Kesalahan-kesalahan Pemerintah tidak boleh dibiarkan, karena justru menjadi bibit-bibit masalah di masa depan

Suteki juga menekankan pentingnya penyelesaian yang berkeadilan bagi debitur. Diperlukan restorative justice system. Jadi, debitur yang tidak lagi mampu membayar dapat diberikan pengampunan atau permaafan.

"Tidak melulu ditagih ketika sudah tidak punya uang," tandasnya.

Kegiatan FGD ini merupakan penghujung rangkaian kegiatan Ikadin Legal Update yang berfokus pada hukum penagihan piutang negara, yang diselenggarakan pada tanggal 10, 11, 17, dan 18 September 2024 di Jakarta.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya