Gamahumat, Pupuk Alami dari Limbah Batu Bara Kalori Rendah Karya Peneliti UGM

Peneliti Universitas Gadjah Mada berhasil melakukan inovasi batu bara kalori rendah yang tidak dapat digunakan sebagai feed coal di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi bernilai guna tinggi bernama Gamahumat.

oleh Yanuar H diperbarui 02 Nov 2024, 08:00 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2024, 08:00 WIB
Tambang Batubara
Pertambangan batu bara di Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. (Liputan6.com/ Abelda Gunawan)

Liputan6.com, Yogyakarta - Peneliti UGM menemukan cara bagaimana limbah tambang batu bara dapat bermanfaat sebagai pembenah tanah atau soil stabilizer yang diberi nama Gamahumat. Gamahumat adalah senyawa humat berupa asam humat dan asam fulvat yang berasal dari ekstraksi batu bara dengan kalori rendah sehingga mampu menjadi pendamping pupuk sehingga proporsi penggunaan pupuk dapat dikurangi.

Ketua tim peneliti Gamahumat Ferian Anggara mencontohkan, dalam demplot padi yang diujicobakan di kawasan persawahan Bimomartani cukup menggunakan 15% NPK dan urea dari jumlah yang seharusnya. Menggunakan prosentase 15% Gamahumat, memiliki andil 80% hasil yang seperti full NPK-urea sehingga pupuk bisa dikurangi menjadi 15% sampai 20% dari takaran normal. “Hasil panen dapat mendekati layaknya produktivitas padi yang sepenuhnya menggunakan NPK dan urea,” kata Ferian kepada wartawan, Rabu 30 Oktober 2024.

Ferian menyebut Indonesia memilik sumberdaya batu bara kalori rendah mencapai 30%, sehingga ia menggandeng PT. Bukit Asam yang memiliki batu bara peringkat rendah dan teruji sesuai untuk memproduksi Gamahumat demi ketersediaan bahan baku. Kerja sama yang sudah terjalin sejak 2018 dengan pemberian research funding dan pada tahun 2023, PT. Bukit Asam memberi dana padanan dalam skema matching fund Kedaireka untuk melakukan analisis laboratorium guna mendapat proses ekstraksi yang paling optimal dan membuat prototipenya. “Saat ini, alat tersebut mampu memproduksi 20 liter senyawa humat basah per hari dari 5 kg batu bara umpan,” kata Guru besar termuda Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM ini.

Ferian mengaku dirinya tengah melakukan Gamahumat ke level pilot project dan akan melakukan fabrikasi alat di Jogja. Kemudian, tahun 2025 akan dioperasikan di Peranap, Riau, tepatnya di lokasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Bukit Asam yang mempunyai cadangan batu bara mencapai 600 juta ton. Nantinya, pabrik ini akan berskala komersial dengan kemampuan produksi mencapai 60 ton senyawa humat per tahun. ”Obsesi kami sebagai peneliti adalah bagaimana kami bisa mengoptimalkan pemanfaatan limbah hasil pertambangan sehingga memiliki nilai tambah tinggi dengan konsep ekonomi sirkular,” tuturnya.

Pemerintah melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Tinggi (LPDP) dengan skema penelitian INSPIRASI juga mendukung pengembangan produk ini dengan memberikan pendanaan selama 3 tahun hingga tahun 2026 mendatang. Selain Gamahumat, dukungan ini dialokasikan juga untuk mengembangkan inovasi, yakni produk nanosilika berukuran kurang dari 10 mikron yang dibutuhkan tanaman dengan keunggulan mudah untuk diserap. “Penggabungan produk ini menyasar pada lahan yang kekurangan unsur hara agar dapat ditanami dan ditingkatkan produktivitasnya,” terangnya.

Ferian mengatakan ada pula produk hidrogel yang digunakan sebagai media tanam dengan diberi air di dalamnya, asam humat, dan nanosilica. Hidrogel ditempatkan di lahan yang sulit air seperti lahan reklamasi tambang atau tadah hujan sehingga awal masa tanam tidak perlu rutin disiram. “Saat akar tanaman sudah kuat, tanaman dapat mencari air secara mandiri. Ketiga produk itu dihasilkan sebagai salah satu luaran penelitian yang didanai LPDP Inspirasi dengan topik circular economy,” ujarnya.

Ia berharap, Gamahumat ini mampu mendukung terciptanya swasembada pangan yang sejalan dengan misi pemerintahan Prabowo Subianto.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya