Dari Joget Sadbor ke Jualan Online, Warga Desa Bisa Sukses Pakai AI

Di saat desa-desa memiliki kekayaan berupa hasil pertanian, produk kerajinan tangan, dan cerita budaya yang unik, justru yang berkembang adalah konten viral kosong tanpa nilai ekonomi berkelanjutan. Sebuah opini.

oleh Liputan6dotcom Diperbarui 25 Mar 2025, 21:31 WIB
Diterbitkan 25 Mar 2025, 20:37 WIB
Joget Sadbor Bantu Ekonomi Warga Desa di Sukabumi
Joget Sadbor Bantu Ekonomi Warga Desa di Sukabumi... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena Joget Sadbor di TikTok bukan sekadar tren hiburan. Ia mencerminkan realitas mengkhawatirkan: anak muda di desa lebih memilih menjadi seleb TikTok dadakan ketimbang bekerja di ladang. Sementara itu, nilai ekonomi dari pertanian, peternakan, atau kerajinan desa dianggap tak cukup menjanjikan untuk masa depan.

Ini bukan sekadar persoalan pilihan, tapi cermin dari kegagalan sistem dalam menghubungkan potensi lokal dengan peluang digital.

Di saat desa-desa memiliki kekayaan berupa hasil pertanian, produk kerajinan tangan, dan cerita budaya yang unik, justru yang berkembang adalah konten viral kosong tanpa nilai ekonomi berkelanjutan. Bukannya mengangkat potensi desa, tren digital ini malah membuat generasi muda makin jauh dari akar ekonomi lokal.

Padahal, teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan live shopping bisa menjadi jembatan emas untuk mengangkat kembali ekonomi desa. AI dapat membantu warga desa memahami tren pasar, menyusun naskah promosi, hingga merekomendasikan harga jual yang kompetitif.

Live shopping bisa menjadi panggung bagi petani untuk menjual hasil panennya langsung ke konsumen, atau pengrajin menampilkan produknya dengan cerita yang menyentuh.

Pemerintah Tiongkok telah membuktikan bahwa dengan pelatihan digital, infrastruktur internet pedesaan, dan kemitraan dengan platform e-commerce, petani bisa menjadi pelaku ekonomi digital yang tangguh.

Salah satu contohnya adalah platform Taobao Live milik Alibaba yang antara 24 Oktober hingga 11 November 2022 telah menjadi tuan rumah lebih dari 100.000 sesi livestreaming dari para pedagang desa, termasuk banyak petani (sumber: Alizila.com).

Bahkan menurut data dari China Internet Network Information Center (CNNIC), pada 2022 terdapat lebih dari 50 juta pengguna internet di pedesaan yang terlibat dalam aktivitas ekonomi digital seperti e-commerce pertanian dan live commerce.

Keberhasilan ini menunjukkan bahwa jika diberikan akses teknologi, pelatihan, dan konektivitas yang memadai, masyarakat desa bisa menjadi pemain utama dalam pasar digital. Di Indonesia, program Koperasi Desa Merah Putih seharusnya bisa diarahkan untuk menjadi enabler dari tren ini. Bukan hanya koperasi simpan pinjam, tapi koperasi digital berbasis live streaming dan e-commerce.

Pemerintah menargetkan pembentukan 80.000 Koperasi Desa Merah Putih di seluruh Indonesia. Program ini seharusnya tak hanya fokus pada produksi dan permodalan saja, tetapi juga perlu memiliki turunan program yang mengatasi masalah distribusi dan penjualan secara langsung yang menguntungkan masyarakat desa sebagai produsen. Live shopping dan pemanfaatan AI bisa menjadi bagian penting dari strategi ini.

Dengan demikian, masyarakat desa akan memiliki akses pasar yang lebih luas dan adil, serta bisa hidup lebih layak tanpa harus meninggalkan profesi sebagai petani, pengrajin, dan pelaku usaha lokal lainnya. Karena faktanya, kita tetap membutuhkan petani dan pengrajin untuk menjaga ketahanan pangan dan memperkuat ekonomi lokal.

 

Promosi 1

Literasi Digital Rendah

Namun, tentu saja tantangan besar tetap ada. Pertama adalah rendahnya literasi digital, khususnya dalam memahami dan memanfaatkan teknologi AI secara tepat. Banyak warga desa belum memiliki pemahaman dasar tentang bagaimana AI bekerja dan bagaimana teknologi ini bisa membantu kehidupan sehari-hari mereka.

Kedua, infrastruktur internet yang belum merata juga menjadi hambatan. Masih banyak wilayah pedesaan yang belum memiliki akses jaringan stabil yang mendukung kegiatan live streaming atau pengelolaan bisnis digital. Ketiga, harga bandwidth internet yang masih tinggi di banyak wilayah pedesaan membuat masyarakat enggan untuk aktif secara online.

Live shopping bukan ancaman, ia adalah peluang. Yang dibutuhkan adalah visi dan intervensi strategis: pelatihan, infrastruktur, dan ekosistem pendukung. Anak muda desa harus diyakinkan bahwa mereka tak perlu meninggalkan kampung halaman untuk sukses. Cukup dengan sinyal kuat, kamera ponsel, dan kreativitas lokal, mereka bisa mengubah ladang menjadi ladang cuan.

Sudah saatnya kita menggeser dari "joged sadbor" ke "goyang ekonomi". Dari konten viral tanpa arah menjadi konten bermakna yang membawa kesejahteraan. Karena masa depan desa bukan diabaikan, tapi diberdayakan.

Tentu, untuk mewujudkannya, dibutuhkan kolaborasi berbagai pihak. Program CSR dari perusahaan swasta dan BUMN, program KKN mahasiswa, serta kegiatan community service dari kampus perlu memasukkan pemberdayaan masyarakat desa melalui Live Shopping dan AI sebagai bagian dari agendanya.

Selama ini, banyak program hanya berhenti pada pelatihan pemasaran digital dasar atau sekadar membuka lapak di e-commerce, tanpa mendorong inovasi dalam cara menjual dan berinteraksi dengan konsumen. Kini saatnya program-program tersebut berevolusi lebih jauh.

Edukasi mengenai pemanfaatan teknologi ini juga bisa dilakukan oleh pemilik platform digital yang memiliki jangkauan dan sumber daya, termasuk menggandeng konten kreator yang sudah mapan untuk berbagi pengalaman dan inspirasi. Dengan pendekatan yang lebih kreatif dan kontekstual, masyarakat desa dapat mengembangkan model pemasaran yang sesuai dengan karakter lokal dan daya saing global.

Hasilnya, masyarakat desa tidak hanya menjadi pelaku ekonomi yang tangguh, tetapi juga memiliki kontrol lebih besar terhadap distribusi dan keuntungan dari produk yang mereka hasilkan.

Kuncinya adalah mengajarkan mereka bagaimana membuat storytelling yang menarik audiensnya. Storytelling bukan hanya soal bercerita, tapi menciptakan koneksi emosional yang dapat membangun kepercayaan, memperkuat identitas produk, dan meningkatkan daya tarik di tengah banjir konten digital. Pendekatan ini juga akan mendorong terciptanya konten yang lebih inovatif, berkelanjutan, dan etis.

Dengan demikian, storytelling menjadi lebih dari sekadar alat pemasaran—ia menjadi fondasi budaya digital yang inklusif, yang merangkul nilai lokal dan memberdayakan komunitas untuk membangun narasi mereka sendiri dalam ekonomi digital. Jika teknologi bisa mengubah cara kita tertawa, maka sudah seharusnya ia juga mampu mengubah cara kita bertani dan berdagang—dengan lebih cerdas, bermartabat, dan berkelanjutan. Teknologi tak bisa dihindari, tapi harus dimanfaatkan dengan positif.

Tuhu Nugraha / Digital Business & Metaverse Expert, Principal Indonesia Applied Digital Economy & Regulatory Network (IADERN)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya