Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan rental mobil, Hertz, segera ajukan initial public offering atau penawaran umum pertama (IPO) lagi setelah diambang kebangkrutan.
Pada awal pandemi, perusahaan rental mobil ini ajukan kebangkrutan. Hertz segera bangkit dan lakukan pengajuan dokumen ke Securities and Exchange Commission untuk penawaran umum perdana.
Isyarat rencana Hertz menuju IPO pada Agustus ketika melaporkan hasil keuangan kuartal II. Di dalamnya memuat pendapatan yang hampir kembali ke tingkat pra-pandemi bahkan laba operasional menguat.
Advertisement
Baca Juga
Dengan begitu, kerugian bersih menjadi USD 168 juta atau Rp 2,3 triliun (estimasi kurs Rp 14.085 per dolar AS). Resesi tersebut disebabkan membengkaknya biaya reorganisasi senilai USD 633 juta atau setara Rp 8,9 triliun.
Berdasarkan Historical Standards, perusahaan diuntungkan dari kekurangan mobil sewaan sehingga tarifnya meningkat tajam. Pandemi COVID-19 mengakibatkan perjalanan udara hampir terhenti.
Perusahaan penyewaan mobil pun lebih banyak memiliki mobil yang terparkir dari biasanya. Sehingga harus menyewa tempat parkir tambahan untuk memarkir armadanya.
Pandemi COVID-19 membuat orang jarang berpergian. Yang mana berdampak pada rental-rental mobil. Mau tidak mau, perusahaan harus menjual mobil ke pasar mobil bekas guna mengumpulkan uang agar perusahaan tetap kokoh.
Ketika permintaan mobil untuk perjalanan mulai menggeliat kembali, para produsen mobil dilanda kekurangan chip komputer. Jumlah mobil baru pun terbatas. Penyewaan mobil tidak dapat memperkuat armadanya dengan "barang baru”. Terhambat rantai pasokan menyebabkan harga sewa melonjak menciptakan rekor.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Perjalanan IPO
US Consumer Price Index (Indeks Harga Konsumen AS) mencatat tarif sewa mobil melemah 15 persen dari rekor tertinggi yang di capai Juni.
Namun, angkanya masih 51 persen lebih tinggi pada September 2020 dibandingkan September 2019 sebelum ada pandemi COVID-19. Beberapa produk atau layanan lainnya masih jauh di atas level pra-pandemi.
Sebelumnya, para pemegang saham Hertz terdampak oleh kebangkrutan. Investor Carl Icahn (pemegang saham terbesar) kehilangan USD 2 miliar setara Rp 28,1 triliun.
Hal ini terjadi ketika Icahn menjual sahamnya di Hertz setelah perusahaan lakukan pengajuan kebangkrutan.
Dalam waktu singkat, saham Hertz bergejolak dengan banyak investor ritel mendekat. Saham Hertz ini pernah menjadi saham meme, sebelum GameStop (GME).Kenaikan saham Hertz mendorong perusahaan memasarkan penjualan saham tambahan.
Tujuannya untuk mengumpulkan uang tunai demi berjuang mengatasi penurunan dan mendanai operasional selama pandemi.
Rencana tersebut dibatalkan ketika Komisi Sekuritas dan Bursa. Dasar penolakan berkaitan dengan alasan perushaaan yang menyatakan kemungkinan pemegang saham akan memiliki saham yang tidak berharga pada akhir proses kebangkrutan.
Reporter: Ayesha Puri
Advertisement