Menakar Dampak Invasi Rusia ke Ukraina terhadap Negara Berkembang

Ada secercah harapan untuk negara berkembang yang lebih independen pada sumber energinya dan didorong komoditas.

oleh Agustina Melani diperbarui 13 Mar 2022, 09:58 WIB
Diterbitkan 13 Mar 2022, 09:58 WIB
FOTO: IHSG Akhir Tahun Ditutup Melemah
Papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (30/12/2020). Pada penutupan akhir tahun, IHSG ditutup melemah 0,95 persen ke level 5.979,07. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Aliran dana investor asing diprediksi masuk ke pasar saham negara berkembang di tengah sentimen invasi Rusia ke Ukraina.

Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, saat ini menjadi momen untuk menyeimbangkan kembali portofolio di tengah ketegangan geopolitik Rusia ke Ukraina berdampak ke Eropa dan banyak negara maju.

"Kami percaya bahwa tidak ada waktu yang lebih baik bagi investor untuk menyeimbangkan kembali portofolio di negara berkembang. Meskipun ini adalah untuk panggilan jangka panjang," demikian mengutip riset tersebut, Minggu (13/3/2022).

Ashmore melihat saat ini ekonomi makro tidak menarik di negara maju untuk investasi ketimbang negara berkembang. Hal ini setelah krisis energi yang mendorong banyak negara untuk diversifikasi dari inisiatif energi hijau. Invasi Rusia ke Ukraina memperburuk kondisi dan mendorong harga energi terutama harga minyak.

"Kombinasi potensi inflasi yang tinggi dan risiko defisit perdagangan meningkat untuk negara maju (karena statusnya sebagai importir energi dapat mempercepat kenaikan suku bunga acuan dan menimbulkan risiko stagflasi,” tulis riset tersebut.

Namun, pasar berkembang pasti tidak sepenuhnya terlindung dari ketegangan, terutama di pasar obligasinya. Hal ini seiring investor asing keluar dari pasar obligasi dan kembali ke aset safe haven di surat berharga Amerika Serikat (AS).

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Aliran Dana Asing Bergeser ke Negara Berkembang

Pergerakan IHSG Turun Tajam
Pengunjung melintas di papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta, Rabu (15/4/2020). Pergerakan IHSG berakhir turun tajam 1,71% atau 80,59 poin ke level 4.625,9 pada perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Di sisi lain, ada secercah harapan  untuk negara berkembang yang lebih independen pada sumber energinya dan didorong komoditas. Indonesia alami siklus super komoditas sehingga perkuat pertumbuhan ekonomi pada 2010-2013. “Saat ini banyak dari harga komoditas telah melampaui tingkat itu.

Tak hanya itu, dibandingkan beberapa tahun lalu, Indonesia sudah mulai terintegrasi rantai pasokan yang meningkatkan kualitas ekspornya,” demikian mengutip riset itu.

Dengan kenaikan harga komoditas saat ini, ekonom mulai prediksi transaksi berjalan surpluss pada 2022. Demikian juga surplus fiskal.

"Dengan skenario itu, kita bisa mengharapkan stabilitas mata uang dan kemampuan bank sentral mempertahankan suku bunga acuan pada tingkat ini,”

Di sisi lain, pasar obligasi menawarkan valuasi yang menarik, selama siklus super komoditas. Selain itu, pasar saham Indonesia mampu menawarkan tingkat pengembalian 20 persen pada saat itu.

Investor asing menilai, meski inflasi berpotensi tinggi dan fluktuasi rupiah rendah membuat tingkat pengembalian investasi tetap menarik.

“Dengan demikian, aliran dana global kemungkinan akan bergeser ke negara berkembang, kami merekomendasikan untuk kembali meninjau portofolio pada 2022,dan jika diperlukan untuk keluar dari negara maju ke negara berkembang,” demikian mengutip riset tersebut.

Selain itu, dengan Rusia dihapus sementara dari indeks MSCI Emerging Market, Ashmore melihat aliran dana asing masuk ke negara berkembang lebih kuat.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya