Kata BEI Terkait Pembukaan Suspensi Saham Garuda Indonesia

Manajemen Garuda Indonesia (GIAA) telah gelar paparan publik insidentil dan ada putusan PKPU. Lalu kapan suspensi saham dibuka?

oleh Agustina Melani diperbarui 29 Okt 2022, 08:33 WIB
Diterbitkan 29 Okt 2022, 08:33 WIB
Garuda Indonesia
Ilustrasi maskapai penerbangan Garuda Indonesia saat berhenti di apron Bandara Adi Soemarmo.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Liputan6.com, Jakarta - Manajemen Bursa Efek Indonesia (BEI) menanggapi mengenai pembukaan suspensi atau penghentian sementara perdagangan saham PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Hal itu mengingat Garuda Indonesia telah menyelenggarakan paparan publik insidentil dan ada keputusan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan, pihaknya suspensi saham GIAA seiring perseroan gagal membayar kupon sukuk global pada Juni 2021. Berdasarkan perjanjian perdamaian, perseroan akan menerbitkan sukuk baru dengan skema baru setelah ada putusan pengesahan perjanjian perdamaian berkekuatan hukum tetap.

“Apabila perseroan telah menerbitkan sukuk dengan skema baru tersebut dan telah memenuhi seluruh kewajiban, bursa dapat mempertimbangkan pembukaan suspensi saham perseroan,” ujar dia kepada wartawan, dikutip Sabtu (29/10/2022).

Sebelumnya, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) gelar paparan publik (public expose) insidentil pada Kamis 20 Oktober 2022 di Hotel Borobudur, Jakarta. Upaya ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk pencabutan suspensi saham oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).

Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk, Irfan Setiaputra berharap, suspensi dapat dicabut jelang aksi korporasi berupa penambahan modal baik dengan maupun tanpa hak pemesanan terlebih dahulu serta konversi OWK yang akan digelar pada Desember 2022.

"Kita berharap pencabutan suspensi ini terjadi bersamaan dengan rights issue atau saat eksekusi rights issue. Kita koordinasi terus dengan pihak bursa. Kami sepakat bahwa kepentingan publik harus dipastikan tidak terganggu dengan proses right issue ini,” kata Irfan dalam paparan publik insidentil di Jakarta, Kamis, 20 Oktober 2022.

 

Saham GIAA Masih Disuspensi

Frekuensi Penerbangan Garuda Indonesia Berangsur Pulih
Pesawat Garuda saat di landasan Terminal 3 Bandara Soekarno - Hatta, Tangerang (8/4/2022). Maskapai penerbangan Garuda Indonesia mencatatkan pertumbuhan frekuensi penerbangan yang semakin positif hingga 30% pada akhir Maret 2022 dibandingkan dengan periode awal Maret 2022. (Liputan6.com)

Saat ini Bursa Efek Indonesia (BEI) masih melakukan penghentian sementara (suspensi) terhadap saham GIAA. Saham berpotensi delisting jika masa suspensi mencapai 24 bulan yakni pada 18 Juni 2023.

Bursa mengenakan sejumlah syarat agar suspensi GIAA bisa dicabut. Salah satunya perjanjian perdamaian telah berkekuatan hukum tetap, dalam artian perusahaan suda mengantongi salinan putusan kasasi.

Garuda Indonesia mendapat dua permohonan kasasi atas putusan homologasi Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 27 Juni 2022.

Gugatan itu diajukan oleh Greylag Goose Leasing 1410 Designated Activity Company dan Greylag Goose Leasing 1446 Designated Activity Company di Supreme Court of New South Wales. Kasasi tersebut sudah ditolak oleh Mahkamah Agung. Teranyar, Irfan mengatakan perseroan juga telah mengantongi salinan putusan kasasi tersebut.

“Salinan putusan MA mengenai kasasi kreditur baru saja diterima,” kata Irfan saat dikonfirmasi Liputan6.com.

Konsultasi dengan Bursa

Garuda Indonesia Tutup 97 Rute Penerbangan
Pesawat Garuda terparkir di landasan pacu Terminal 3, Bandara Soekarno Hatta, Banten, Rabu (17/11/2021). Maskapai Garuda Indonesia akan menutup 97 rute penerbangannya secara bertahap hingga 2022 mendatang bersamaan dengan proses restrukturisasi yang tengah dilakukan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia, Prasetio menambahkan, pencabutan suspensi diharapkan bisa dilakukan sebelum pertengahan Desember 2022 saat memasuki jadwal penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (PMTHMETD) atau private placement.

“Kami konsultasi dengan bursa untuk kiranya bisa dilakukan pencabutan suspensi saham semoga syarat kasasi sudah ditolak dan result disetujui dan disampaikan,” kata dia.

Pembukaan suspensi saham GIAA setali dengan rencana aksi korporasi perseroan. Meliputi, penambahan modal dengan hak memesan efek (HMETD) atau rights issue sebanyak-banyaknya Rp 12,4 triliun, penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (PMTHMETD) atau rights issue sebanyak-banyaknya Rp 4,2 triliun dan konversi obligasi wajib konversi (OWK) sebesar Rp 1 triliun.

Garuda Indonesia Rights Issue, Minimal Kantongi Rp 7,5 Triliun

Garuda Indonesia Tutup 97 Rute Penerbangan
Pesawat Garuda berada di landasan pacu Terminal 3, Bandara Soekarno Hatta, Banten, Rabu (17/11/2021). Maskapai Garuda Indonesia akan menutup 97 rute penerbangannya secara bertahap hingga 2022 mendatang bersamaan dengan proses restrukturisasi yang tengah dilakukan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) berencana gelar penambahan modal di tengah hiruk pikuk potensi resesi global. Aksi ini ditempuh sebagai salah satu upaya pemulihan keuangan Garuda Indonesia melalui restrukturisasi utang.

Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra mengaku cukup optimistis penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue akan dieksekusi oleh pemegang saham perseroan. Di sisi lain, Irfan nampak cukup lega lantaran Garuda Indonesia akan mengantongi Rp 7,5 triliun dari rights issue pemerintah selaku pemegang saham pengendali dengan porsi 60,54 persen.

"Jika optimismenya diasumsikan dengan semuanya melakukan haknya, kami belum bisa simpulkan saat ini. Tapi minimal Rp 7,5 triliun (PMN) bisa masuk dalam dana perusahaan dan bisa kami sesuaikan dengan business plan yang kami rencanakan,” kata Irfan dalam paparan publik insidentil di Jakarta, Kamis (20/10/2022).

Dana PMN senilai Rp 7,5 triliun itu rencananya 60 persen dialokasikan untuk restorasi pesawat. Sisanya akan digunakan untuk pemeliharaan dan modal kerja perseroan. Lebih lanjut, Irfan menjelaskan ekonomi Indonesia disebut masih cukup resilien meski digempur krisis beberapa waktu terakhir.

Dalam catatannya, bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyebutkan Indonesia sebagai salah satu negara di emerging market yang tahan uji selama pandemi COVID-19hingga krisis baru-baru ini.

"Beberapa emerging countries akan cukup aman dari resesi dan beberapa negara tersbeut disampaikan oleh Menkeu di satu kesempatan, antara lain Brazil, India dan Indonesia. Jadi kami tetap optimis walaupun tetap waspada khususnya dalam pembukaan rute terbaru yang internasional,” imbuh Irfan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya