Liputan6.com, Jakarta - Emiten-emiten produsen makanan yang menggunakan gandum sebagai bahan baku dinilai perlu waspada. Hal ini mengingat lonjakan harga gandum di pasar global seiring kebijakan Rusia yang menghentikan ekspor biji-bijian.
Di atas kertas, kenaikan harga gandum dan produk turunannya dapat mempengaruhi bisnis emiten produsen makanan seperti mi instan dan roti.
Walau demikian, Head of Research Mega Capital Sekuritas, Cheril Tanuwijaya menilai, emiten produsen mi instan dan roti telah menjalin kerja sama dengan pemasok bahan baku dalam kontrak jangka panjang sekitar 3 - 6 bulan, sehingga lonjakan harga komoditas bahan baku tidak berdampak signifikan bagi kinerjanya.Â
Advertisement
"Apalagi, emiten tersebut juga melakukan hedging atau lindung nilai untuk meminimalisir dampak fluktuasi harga bahan baku," ujar dia, Sabtu (22/7/2023).
Prospek saham emiten produsen makanan pengguna gandum pun masih cukup cerah. Selain didukung oleh perbaikan daya beli masyarakat, keberadaan tahun politik juga diyakini akan mendongkrak permintaan terhadap konsumsi makanan. Hal ini bisa saja terjadi mengingat anggaran pemilu tahun depan naik lebih dari 100 persen, sehingga kegiatan berkaitan dengan politik juga akan lebih marak.
Cheril menilai emiten seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR) layak dipertimbangkan oleh para investor. Selain punya kapitalisasi pasar yang besar, ketiga saham emiten itu dipandang memiliki valuasi saham yang menarik. Contohnya, INDF Memiliki price earning to ratio (PER) rendah yakni 8,16 kali.
Sementara itu, Pengamat Pasar Modal Desmond Wira mengatakan, emiten produsen makanan berbahan baku gandum maupun turunannya seperti tepung terigu masih memiliki prospek yang positif. Ini mengingat, kondisi fundamental emiten tersebut masih terbilang solid.
"Dampaknya kalau benar harga terigu dunia naik, baru terasa di kuartal III dan IV mendatang," kata Desmond.
Â
Strategi Saham
Perlu dicatat, impor terigu Indonesia kebanyakan bukan dari Ukraina, melainkan dari Australia, Kanada dan Amerika Serikat. Walau begitu, tindakan penyetopan ekspor biji-bijian Rusia tetap saja berpotensi mengurangi suplai gandum dunia.Â
Hal tersebut akhirnya akan menaikkan harga gandum dunia. Harga gandum futures di awal Juli masih di angka USD 641, terakhir 19 Juli sudah mencapai USD 727 yaitu sudah naik sekitar 13 persen.Â
"Yang pasti kemungkinan besar biaya operasi emiten mi akan naik seiring meningkatnya harga gandum dunia," kata dia.
Bagi para investor yang sudah memiliki saham emiten produsen makanan pengguna gandum atau tepung terigu, maka disarankan agar tetap mengoleksinya dalam portofolio investasinya. Namun, investor tetap harus memperhatikan kinerja laporan keuangan emiten tersebut untuk kuartal III dan IV.Â
"Kalau masih positif atau hanya turun sedikit, kemungkinan masih bisa hold. Untuk yang belum punya sahamnya, disarankan hindari saja. Dengan potensi kenaikan harga terigu dunia mendatang, kemungkinan masih terlalu riskan dan lebih baik cari saham lain," imbuhnya.
Â
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Advertisement
Harga Gandum Cs Meroket Usai Rusia Tarik Diri dari Perjanjian Ekspor
Sebelumnya, dikutip dari Kanal Bisnis Liputan6.com, meski inflasi di berbagai negara sudah menunjukkan penurunan, ketegangan geopolitik masih mendorong kenaikan bahan makanan, salah satunya gandum.
Melansir CNN Business, Kamis (20/7/2023) harga gandum secara global melonjak hampir 9 persen pada hari Rabu (19/7), dan berada di jalur untuk mencapai level tertinggi dalam tiga pekan mendatang.
Hal ini dikarenakan ketegangan di Eropa meningkat menyusul keputusan Rusia untuk menarik diri dari kesepakatan penting yang memungkinkan ekspor biji-bijian dari Ukraina.
Selain harga gandum, harga jagung berjangka juga naik hampir 2 persen lebih tinggi karena para pedagang khawatir akan krisis pasokan makanan pokok yang akan datang.
Di sisi lain, kesepakatan itu "penting" untuk menurunkan harga pangan di seluruh dunia, yang melonjak setelah perang Rusia Ukraina pecah pada Februari tahun 2022 lalu.
"Keputusan Rusia untuk menangguhkan partisipasi dalam Black Sea Grain Initiative akan memperburuk kerawanan pangan dan membahayakan jutaan orang yang rentan di seluruh dunia," kata Adam Hodge, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS.
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina juga meningkat pada hari Rabu (19/7), membatasi kemungkinan kesepakatan untuk mengekspor komoditas penting melintasi Laut Hitam untuk dimulai kembali.
Sebagai informasi, kesepakatan Laut Hitam – awalnya ditengahi oleh Turki dan PBB tahun yang lalu, memastikan jalur yang aman bagi kapal yang membawa biji-bijian dari pelabuhan Ukraina.
Namun, kesepakatan itu akan berakhir hari ini (tengah malam waktu setempat di Istanbul, Kyiv dan Moskow).
Sejauh ini, kesepakatan tersebut memungkinkan ekspor hampir 33 juta metrik ton makanan melalui pelabuhan Ukraina, menurut data PBB.
Â
Rusia Putuskan Tidak Perbarui Kesepakatan Laut Hitam
Sebelumnya, kesepakatan Laut Hitam telah diperbarui tiga kali, tetapi Rusia telah berulang kali mengatakan akan menarik diri, dengan alasan terhambat dalam mengekspor produknya sendiri.
Selama akhir pekan, Presiden Rusia Vladimir Putin mengindikasikan bahwa dia tidak akan memperbarui pakta tersebut, dengan mengatakan bahwa tujuan utamanya - untuk memasok biji-bijian ke negara-negara yang membutuhkan - "belum terealisasi".
Gagalnya kesepakatan itu kemungkinan akan berdampak jauh di luar wilayah tersebut.
Sebelum perang, Ukraina merupakan pengekspor gandum terbesar kelima secara global, terhitung 10Â persen dari ekspor, menurut Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan.
Â
Advertisement