Harga Minyak Tembus USD 82 per Barel, Waktunya Berburu Saham-Saham Ini

Analis menilai, kenaikan harga minyak berpotensi memberikan sentimen positif jangka pendek bagi emiten produsen migas dan penunjang migas.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 17 Jan 2025, 06:00 WIB
Diterbitkan 17 Jan 2025, 06:00 WIB
Harga Minyak Tembus USD 82 per Barel, Waktunya Berburu Saham-Saham Ini
Harga minyak Brent untuk kontrak Maret 2024 naik 2,64% ke level USD 82,03 per barel pada perdagangan Rabu malam, 15 Januari 2025 mencapai level tertinggi sejak Agustus 2024. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak Brent untuk kontrak Maret 2024 naik 2,64% ke level USD 82,03 per barel pada perdagangan Rabu malam, 15 Januari 2025 mencapai level tertinggi sejak Agustus 2024.

Kenaikan harga minyak tersebut terjadi seiring penurunan signifikan pada stok minyak mentah AS sebesar 2 juta barel ke level 412,7 juta barrel per 10 Januari 2024. Sebagai perbandingan, ekspektasi konsensus hanya memperkirakan penurunan sebesar 992.000 barel.

Penurunan signifikan pada stok minyak mentah AS didorong oleh penurunan net impor minyak mentah AS sebesar 1,3 juta bpd ke level 2,05 juta bpd, sementara ekspor minyak mentah AS naik 1 juta bpd ke level 4,08 juta bpd.

Dinamika tersebut terjadi seiring potensi gangguan pasokan akibat sanksi baru yang diberlakukan pemerintah AS terhadap sektor minyak Rusia. Di sisi lain, pengumuman gencatan senjata antara Israel dan Hamas pada Rabu, 15 Januari 2025  membatasi kenaikan harga minyak.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengatakan, rincian gencatan senjata masih sedang dibahas dan akan efektif berlaku per Minggu, 19 Januari 2025.

"Kenaikan harga minyak berpotensi memberikan sentimen positif jangka pendek bagi emiten produsen migas dan penunjang migas, seperti MEDC, ENRG, WINS, ELSA, dan LEAD," ulas Investment Analyst Stockbit, Hendriko Gani, Jumat (17/1/2025).

Amerika Serikat (AS) telah menjatuhkan sanksi pada industri minyak Rusia, termasuk sektor jasa, dua perusahaan minyak (yaitu Gazprom Neft & Surgutneftegas), dan kapal tanker minyak Rusia (+180 kapal) yang menyebabkan harga minyak Brent naik.

Sanksi tersebut akan mengganggu India, yang saat ini sedang mencari alternatif dari Timur Tengah dan AS. Menariknya, sanksi tersebut dijatuhkan oleh pemerintahan Biden, untuk memenuhi komitmen G7 dengan menurunkan pendapatan energi Rusia.

"Kami pikir pergerakan naik harga minyak mentah baru-baru ini terutama didorong oleh sanksi terhadap Rusia. Hasilnya, kami menyoroti beberapa risiko yang dapat mengakibatkan pembalikan harga minyak mentah," ulas Analis Indo Premier Sekuritas Ryan Winipta dan Reggie Parengkuan dalam risetnya.

 

Prediksi Harga Minyak

Ilustrasi Tambang Minyak (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi Tambang Minyak (Liputan6.com/M.Iqbal)... Selengkapnya

Risiko dimaksud, antara lain termasuk pelonggaran sanksi Rusia setelah Trump menjabat, mirip dengan sanksi Biden & Iran. Kemudian kapasitas cadangan OPEC+ hingga 4 juta barel minyak per hari untuk menangkap peluang harga minyak yang lebih tinggi.

Serta, potensi rekonsiliasi antara Rusia dan Ukraina. Namun, hingga reaksi potensial ini terwujud, diperkirakan minyak Brent dapat bergerak lebih tinggi, hingga level USD 90/bbl. Selain itu, pelepasan SPR (cadangan minyak strategis) adalah kemungkinan jika harga minyak naik melampaui level harga USD 90-100/bbl.

"Secara fundamental, kami melihat bahwa fundamental minyak saat ini tetap netral. Tidak bearish tetapi juga tidak bullish," kata mereka.

Di sisi positif, cuaca yang lebih dingin dari perkiraan di AS & UE baru-baru ini, yang dipicu oleh munculnya pusaran kutub selain kebakaran hutan baru-baru ini di Los Angeles (LA) telah menyebabkan permintaan energi yang lebih tinggi & sedikit gangguan pasokan, yang menyebabkan harga WTI menutup selisih dengan Brent sebelum reli harga terkait sanksi.

Posisi persediaan komersial global juga lebih rendah dari posisi rata-rata 5 tahun, sementara pertumbuhan produksi minyak serpih di AS telah terhenti.

Kapasitas cadangan OPEC+ & potensi peningkatan produksi Hambatan terbesar terhadap harga minyak adalah produksi yang lebih tinggi dari kapasitas cadangan OPEC+ (~4 juta barel minyak per hari atau sekitar 4% dari pasokan global) dengan Arab Saudi – sekutu kuat AS, yang memiliki kapasitas cadangan hingga sekitar 3 juta barel minyak per hari (sekitar 3% dari pasokan global).

 

Sentimen Harga Minyak

Ilustrasi Harga Minyak Dunia Hari Ini. Foto: AFP
Ilustrasi Harga Minyak Dunia Hari Ini. Foto: AFP... Selengkapnya

Oleh karena itu, ada kemungkinan bagi Saudi untuk meningkatkan produksi setelah harga minyak mencapai level tertentu yang tinggi. Selain itu, OPEC+ juga dapat mengakhiri pemotongan produksi mereka di tengah lingkungan harga minyak yang lebih tinggi.

"Kami mempertahankan sikap Netral kami pada sektor oil & gas, meskipun kami masih melihat peluang taktis dalam memperdagangkan MEDC (buy) karena memiliki korelasi positif dengan harga minyak Brent, tetapi pembalikan harga merupakan kemungkinan besar dalam jangka menengah," ulas Tim Riset IPO.

Pendorong lain dalam minyak adalah potensi sanksi Iran (~1 juta barel minyak per hari dapat terganggu), tetapi karena harga minyak sudah berada pada level tinggi, jadwal sanksi terhadap Iran dapat berubah karena pemerintahan Trump mungkin menginginkan lingkungan harga minyak yang lebih rendah pada awal masa jabatan keduanya.

 

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global
Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global. (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya